Ini adalah kisah perjalanan kami, tiga pendaki yang mendambakan berdiri di Puncak Sejati 3344 mdpl. Saya—Etzar, Sherly, dan Dimas. Kami bertiga berasal dari daerah yang berbeda, saya berasal dari Jakarta Selatan, Sherly dari Sukabumi dan Dimas dari Tangerang. Perkenalan kami dimulai ketika bertemu di jalur pendakian Gunung Semeru pada Oktober 2018 silam. Sebenarnya bukan hanya bertiga yang ingin mendaki ke Gunung Raung, ada lebih dari 8 orang. Hanya saja, dikarenakan teman-teman yang lain sibuk dengan aktivitas masing-masing, maka hanya kami yang siap bertualang di gunung yang terkenal dengan jalur terekstrim tersebut.
Setelah beberapa lama menunggu di Stasiun Pasar Senen, Sherly dan Dimas pun tiba, kami segera masuk ke dalam stasiun untuk menunggu kereta yang akan membawa kami ke Stasiun Gubeng, Surabaya. Estimasi perjalanan kurang lebih 9 jam. Setelah tiba di stasiun yang dituju, kami masih harus menunggu kereta menuju Stasiun Kalibaru, stasiun terdekat basecamp pendakian Raung. Dikarenakan keterangan waktu di arloji yang setia melingkar di pergelangan tangan masih menunjukkan pukul 2 pagi, maka kami segera keluar dari Stasiun Gubeng untuk mencicipi jajanan lokal di warung yang kebetulan buka sepanjang hari.
Pukul 5 pagi, kereta yang ditunggu telah tiba. Dengan suka cita kami kembali ke dalam Stasiun Gubeng untuk melanjutkan perjalanan ke Kalibaru. Entah bagaimana, saya pikir dekat. Tapi ternyata, ini kisah petualangan saya paling lama dan terpanjang menggunakan kereta api.
Kereta tiba pada pukul 10:30 waktu setempat. Di stasiun kecil tersebut dari jauh terlihat bukan hanya Gunung Raung yang gagah, tetapi terlihat beberapa orang lelaki, tukang ojek, yang siap mengantar kami ke pasar untuk berbelanja segala kebutuhan dan pergi ke basecamp Alas Raung.
Gunung Raung berjenis Stratovolcano atau gunung berapi kerucut, tercatat terakhir meletus pada tahun 2015 lalu. Secara geografis Gunung Raung tercatat masuk dalam wilayah 3 kota di Jawa Timur, yakni Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember. Sejak tahun 2018, tepatnya setelah insiden seorang pendaki terjatuh dari tebing dan meninggal dunia, pendakian Gunung Raung wajib menggunakan jasa pemandu.
Kami berangkat selepas salat jumat dengan didampingi 2 pemandu, yaitu Bejo dan Rio. Dari basecamp, kami berlima melakukan pendaftaran sebelum naik ojek menuju Pos 1. Kami melewati 30 menit awal perjalanan pertama di perkebunan kopi dan kakao. Perjalanan pun dimulai, benar-benar jalan kaki. Ya namanya juga mendaki gunung.
Pos 1 dikenal dengan nama lain Pos Mbah Sunarya. Pos ini berupa sebuah rumah kayu sederhana milik Mbah Sunarya yang merupakan rumah terakhir di kawasan tersebut. Begitu tiba, kami disuguhi minuman selamat datang, adalah kopi khas Raung yang diolah sendiri oleh Mbah Sunarya. Beliau juga menjual versi bubuknya seharga Rp20 ribu dalam wadah plastik.
Pukul 09:30 kami memulai pendakian. Perjalanan dari rumah Mbah Sunarya ke Pos 4 memakan waktu setidaknya 5 jam. Selama perjalanan kami melewati perkebunan kopi dan kakao yang dikelola warga, hingga tengah perjalanan antara Pos 3 ke Pos 4 ada sebuah gerbang pembatas alami dari dua buah pohon untuk menandakan masuk kawasan hutan, saya menyebutnya “pintu rimba”.
Di wilayah ini kekayaan flora dan fauna masih beragam. Kami menemukan buah juwet/jamblang, atau jambu keling (Syzygium Cumini) hampir di sepanjang jalan Pos 3 ke Pos 4. Kami juga bisa mendengar suara burung-burung endemik, kotoran luwak pemakan kopi di tengah jalan setapak.
Umumnya, pendaki mendapat pilihan bermalam di Pos 4 atau Pos 7. Mereka yang sudah terlatih dan punya stamina prima akan membangun tenda di Pos 7 dan bermalam di sana. Namun, seperti yang saya tahu, lebih banyak pendaki yang memilih bermalam di Pos 4. Kedua lokasi ini dipilih karena punya ruang cukup luas untuk mendirikan tenda.
Ketika tiba di Pos 4 hujan menyambut rombongan kami, saya menggigil, lalu teman-teman segera membangun tenda dan kami bermalam di situ. Porter tenda dan logistik pun mendirikan tenda.
Singkat cerita, besoknya pukul setengah 8 pagi kami bergerak menuju Pos 5, Pos 6 dan Pos 7 dengan jarak tempuh lebih kurang 3,5 jam. Pos 7 dipilih sebagai camp transit terakhir sebelum summit attack. Kami bertemu pendaki lain di sini, baik yang berangkat hampir bersamaan atau yang baru turun dari arah puncak.
Tak sedikit pendaki bermalam lagi di sini usai kembali dari puncak untuk menghimpun tenaga atau sekadar menikmati pemandangan. Kata Mas Rio, nama “Raung” diilhami bunyi angin yang meraung-raung bak suara mobil balap di lintasan sirkuit.
Normalnya pendakian menuju puncak, dimulai jam 1 atau 2 dini hari. Sekitar jam 8 malam, badan yang lelah segera membuat kami terlelap meskipun suhu udara sangatlah dingin. Bunyi alarm membangunkan kami pukul 12 malam. Kami bergegas memasak air, menyeduh segelas kopi, dan membuat makanan ringan. Setelah berdoa bersama, kami pun siap memulai perjalanan ke puncak.
Dini hari itu, Mas Bejo dan Mas Rio menyarankan kami untuk segera memakai helm, headlamp, dan jaket dengan windstopper karena di angin berhembus kencang. Tepat 5 menit sebelum sunrise kami tiba di Pos 9, batas vegetasi terakhir. Di sini kami bertemu dengan rombongan open trip lain sebanyak 7 orang.
Setelah memasang perlengkapan mountaineering seperti body harness, figure of 8, dan carabiner, kami berjalan mendaki menuju puncak pertama, Puncak Bendera. Di puncak ini terdapat sebuah bendera merah putih yang tiang besinya usang. Di sini, kami menikmati matahari pagi yang baru saja memperlihatkan dirinya, ditemani hembusan angin.
Saya segera mencium bendera itu, ada tetesan air mata ketika mengecupnya. Entahlah, saya menganggap puncak tersebut merupakan titik sejati dari pendakian ini. Atau, bisa jadi hanya euforia. Kalau cuaca cerah, dari sini para pendaki bisa melihat Gunung Semeru dan Gunung Argopuro.
Tujuan kami selanjutnya adalah Puncak Tusuk Gigi dan Puncak Sejati. Gunung Raung sebenarnya memiliki 4 puncak. Satu puncak yang lain adalah Puncak 17 yang berlokasi di antara Puncak Bendera dan Puncak Tusuk Gigi. Berhubung belum turun kabut dan angin tidak begitu kencang, bersama pendaki lain kami segera bergegas ke Puncak 17. Di sini kami hanya sebentar.
Dari Puncak 17, kami kemudian melewati Jembatan Shiratal Mustaqim, banyak orang menyebutnya jalur maut karena jurang dalam berada di sisi kanan-kirinya. Kunci untuk berjalan di sini adalah fokus memperhatikan jalan berpasir dengan kerikil vulkanik yang bisa jadi membuat kita terpeleset. Selain itu kita juga harus menunduk ketika angin kencang menerpa. Di rute inilah skill dan kematangan emosi kita diuji. Tak jarang nyawa kita hanya bergantung pada peralatan mountaineering yang digunakan.
Kami harus disiplin mematuhi arahan Mas Bejo, kapan harus memasang carabiner di tali karmantel yang telah dipasang oleh pemandu saat membuka jalan sebelumnya, kapan harus rappelling turun dan naik, dan bagaimana posisi badan kita saat melewati tebing yang curam. Termasuk bagaimana koordinasi kaki dan tangan saat memanjat tebing berbatu bak bouldering. Hal yang tak dapat saya lupakan, dari jauh terlihat awan yang sangat indah di bawah kami.
Setelah berjalan, mendaki, dan memanjat bebatuan terjal selama 2,5 jam kami sampai di Puncak Tusuk Gigi. Di titik ini, saya kembali teringat ketika pada pendakian ke Puncak Mahameru setahun yang lalu, perbedaannya hanya di estimasi waktu saja. Benar-benar melelahkan.
Di sini banyak bebatuan vulkanik lancip berukuran besar, menjulang ke segala sisi bak tusuk gigi jika dilihat dari kejauhan. Sebenarnya antara Puncak Tusuk Gigi dan Puncak Sejati hampir berada pada ketinggian yang sama dan saling berdekatan. Sehingga para pendaki dapat memilih puncak mana duluan yang mau didaki.
Sepuluh menit kemudian akhirnya kami menginjakkan kaki di puncak tertinggi Gunung Raung, yakni Puncak Sejati (3344 mdpl). Di puncak ini kami melihat kaldera kering seluas 750 x 2250 meter berbentuk elips dengan kedalaman 500 meter dan berwarna gelap. Di tengahnya masih terdapat lubang besar menganga dengan kepulan asap yang menunjukkan bahwa gunung ini masih aktif. Kaldera ini merupakan yang kaldera kering terbesar kedua se-Indonesia setelah Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat.
Puas rasanya setelah susah payah mendaki akhirnya tiba juga di puncak tertinggi Gunung Raung. Kami pun bersantai, berswafoto, dan menikmati makanan ringan sambil beristirahat. Tanpa pikir panjang, aku langsung berteriak di bibir puncak tersebut. Tentu setelah mendapat izin dari Mas Bejo, hanya tiga kali, yaitu takbir. Di titik ini, suara saya meraung di ruang Raung.
Tak berapa lama, kami masih harus turun kembali menuju Pos 7 dan bermalam di sana. Normalnya paket perjalanan ke Gunung Raung dari jalur Kalibaru, Banyuwangi, ditempuh selama 3 hari 2 malam. Namun bagi yang sudah terlatih dengan energi prima dapat menempuhnya dengan 2 hari 1 malam.
Tak sedikit pula yang memilih pendakian selama 4 hari 3 malam. Hal terpenting yang harus kita perhatikan adalah ketersediaan logistik terutama air, mengingat di jalur ini tidak terdapat sumber mata air sama sekali. Perlengkapan mountaineering dan arahan pemandu akan sangat berguna terutama sepanjang Pos 9 menuju Puncak Sejati. Juga perlengkapan yang mumpuni mulai dari jaket technical outdoor yang layak hingga sleeping bag dan tenda yang sanggup menahan terpaan angin yang meraung-raung.
Gunung membuat kita sadar bahwa jalan yang kita tempuh tidak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Mendaki gunung itu tidak mudah, butuh mental dan fisik yang kuat. Semua perjuangan, usaha, dan kerja keras tidak akan sia-sia setelah kita berhasil mencapai puncak, melihat pemandangan yang sangat indah dan mengagumi ciptaan Tuhan. Meski begitu, puncak bukan segalanya.
Perjalanan ini memberikan kami banyak pengalaman dan pelajaran berharga. Mendaki gunung adalah saat kita berjuang melawan diri kita sendiri. Saat kita memutuskan untuk menyerah di tengah jalan dalam kondisi tersulit, atau melanjutkan apa yang telah kita rencanakan jauh hari. Dan saat kita berhasil mengalahkan segala keluh kesah, ego, rasa ingin menyerah hingga tiba di puncak dan terpenting kembali lagi ke rumah dengan selamat, saat itulah kita merasa menang. Karena rumah merupakan puncak yang sesungguhnya.
Seorang penulis yang lahir di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Selain sebagai pegiat Sastra, ia merupakan alumni dari MASTERA atau Majelis Sastra Asia Tenggara 2019 dan MUNSI III atau Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 2020.