PHOTO ESSAY

Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai

Berada di ketinggian 2.944 meter di atas permukaan laut (mdpl), Goa Walet selalu mengundang penasaran pendaki yang melewatinya. Namun, tidak banyak yang mampir karena letak gua tidak berada persis di jalur pendakian.

Teks & foto: Mochamad Rona Anggie


Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Pendaki mengintip ke arah Goa Walet/Mochamad Rona Anggie

Para pendaki Gunung Ciremai yang naik via Palutungan (Kuningan) dan Apuy (Majalengka) bakal melintasi Pos 9 Goa Walet. Sampai pos ini, kondisi pendaki biasanya sudah kelelahan. Medan berbatu menguji mental dan ketahanan fisik. Dalam beberapa situasi, ada saja pendaki yang menyerah. Memilih tak meneruskan ke puncak. Takluk oleh tanjakan Goa Walet.

Semakin tinggi, jalur memang bertambah terjal. Belum lagi rimbunnya pepohonan cantigi, membuat pendaki mesti tetap fokus menentukan langkah. Jangan sampai salah jalur karena bisa terperosok ke jurang.

Sebenarnya, jarak dari Goa Walet ke titik tertinggi Jawa Barat tinggal 280 meter. Tapi, ya, itu tadi. Lutut ketemu dagu ketika menaiki bebatuan besar dengan kemiringan 60–75 derajat. Kalau kalah mental, selesai. Puncak tak tergapai.   

Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Jalur terjal berbatu dari Goa Walet menuju puncak Ciremai/Mochamad Rona Anggie

Dekat di Mata, Jauh di Kaki

Perjalanan summit attack (menuju puncak) dari transit camp (TC) terakhir di Pos 6 Pasanggrahan, saya melewati Pos 7 Sanghiyang Ropoh dan Pos 8 Simpang Apuy sebelum tiba di Goa Walet. Pos 7 adalah batas vegetasi. Pepohonan besar khas hutan hujan tropis dengan kanopi rapat, berganti tanaman perdu (rerumputan) serta bunga edelweis. 

Pemandangan selepas Sanghiyang Ropoh semakin terbuka. Kalau cerah, puncak terlihat jelas. Menambah semangat untuk segera sampai. Namun, jalur konstan menanjak. Medan tanah-berakar antara Pos 6 ke Pos 7, berubah bebatuan dan kerikil. Pendaki rentan merosot. Harus pandai memilih pijakan. 

Menuju Simpang Apuy, kita bakal tersadar, ternyata puncak begitu dekat di mata, jauh di kaki. Ya, begitulah kalau sudah berada di medan terbuka. Target perjalanan seolah sebentar lagi tergapai, tetapi nyatanya masih harus berjuang sekuat tenaga mewujudkan keinginan muncak.   

Kiri: Area Pos 8 Simpang Apuy. Ketika turun ke kiri rute Palutungan, ke kanan Apuy. Kanan: Rimbun habitat cantigi di sekitar Pos 9 Goa Walet, menambah tantangan tersendiri agar jangan salah jalur saat menuju puncak/Mochamad Rona Anggie

Dulu, Boleh Buka Tenda di Goa Walet

Pada pendakian 9 April 2025, saya naik Ciremai bareng Evan Hrazeel Langie (Ali). Saya mendampingi salah satu anak kembar saya itu, dalam upayanya menggapai puncak untuk keempat kalinya. Ali mau menyamai capaian saudara kembarnya, Rean Carstensz Langie (Zaid) dan adiknya, Muhammad, yang berhasil keempat kalinya menapaki atap Jawa Barat pada 6 Oktober 2024. Sementara pendakian perdana mereka ke Ciremai berlangsung 15–16 Agustus 2022. Waktu itu Muhammad kelas 1 SD, Zaid dan Ali kelas 6. Alhamdulillah, berhasil muncak dan turun dengan selamat.

Sebelumnya, saya terakhir mendaki Ciremai pada 31 Mei 2012, bersama sohib SMAN 3 Kota Cirebon yang kini berdomisili di Yogyakarta, Peri Surya Febianto, plus seorang rekan anggota Himapala STT Mandala Bandung, Yudi Marsahid. Ketika itu saya dan Peri sudah bekerja, sedangkan Yudi baru lulus kuliah di usia 27 tahun. Kami mendaki via Palutungan dan menyempatkan turun ke Goa Walet. Zaman itu gunung belum seramai sekarang. Hanya ada kami bertiga di Goa Walet. Pun saat tiba di puncak, tak ada pendaki lain.

Kiri: Jalan setapak di atas awan, mengarah ke Goa Walet sebelum berbelok turun. Kanan: Muhammad (7 tahun), scrambling mendekati pucuk Ciremai pada pendakian perdananya, 16 Agustus 2022/Mochamad Rona Anggie

Tahun 2002, saya pernah berkemah di depan Goa Walet. Gunung Ciremai belum berstatus taman nasional. Belum ada larangan buka tenda di sana. Kalau sekarang, dilarang camping di area Goa Walet. Menghindari potensi sampah dan bahaya kebakaran. Sebab, lazimnya saat memutuskan berkemah di tengah pendakian—terlebih di ketinggian lebih dari 2.000 mdpl—pendaki akan membuat perapian untuk menghalau dingin dan binatang yang coba mendekat.

Saat berkemah di Goa Walet itu, saya mendaki bersama tiga orang teman via Apuy. Di Goa Walet sudah ada tim pendaki lain dari perkumpulan pencinta alam Curah Rimba yang berbasis di Pangandaran, Ciamis.

Saya ingat betul “hantu” dingin leluasa menggigit tubuh kami. Perlengkapan masih terbatas. Kami bawa tenda prisma yang biasa dipakai pramuka, bukan tenda dome. Tak punya kantung tidur, hanya pakai sarung. Kaus kakinya tipis. Dingin menyerbu masuk tenda. Saya bungkus kedua kaki pakai kresek dan diikat sebisanya. Tubuh menggelepar sepanjang malam, bertarung melawan dingin.   

Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Rupa mulut Goa Walet dan vegetasi rimbun di sekitarnya pada 2022/Mochamad Rona Anggie

Memasuki Goa Walet bersama Ali

April lalu, saya dan Ali sampai di titik tertinggi Ciremai (3.078 mdpl) pukul 06.00 WIB. Cuaca cerah. Pemandangan tak tertutup kabut. Setengah jam menikmati suasana puncak sudah cukup buat kami. Sebotol susu cokelat dan sekerat roti, mengisi tenaga untuk kembali bergerak.

Perjalanan turun selalu ditempuh lebih cepat. Namun, tetap harus waspada, jangan terlena. Turunan curam mengadang. Melangkah perlahan saja, tak perlu buru-buru. Hindari banyak melompat. Khawatir persendian lutut cedera karena entakan berlebih.

Hari masih pagi. Langit biru menaungi. Begitu sampai Pos 9 Goa Walet, saya ajak Ali turun melihat langsung gua. Awalnya Ali menolak. Ia ingin cepat sampai tenda lagi di Pos 6, lalu berkemas pulang. Tapi saya yakinkan, waktu sangat memungkinkan. Tidak akan kesorean di jalan. Dan, kapan lagi bisa mampir Goa Walet? Akhirnya Ali mengikuti langkah saya menuju gua.

Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Beberapa pendaki terlihat memasuki Goa Walet saat kami tiba setelah turun dari puncak, 10 April 2025/Mochamad Rona Anggie

Dari jalur naik, mau ke Goa Walet belok kanan. Sementara yang turun dari puncak, ikuti setapak ke kiri. Jalannya terlihat jelas. Tidak tertutup semak. Usai setapak landai, jalur menurun hingga tiba di pelataran depan mulut gua. Kalau dihitung vertikal dari atas ke Goa Walet sekitar 50 meter. Adapun jaraknya kurang dari seratus meter. 

Pendaki lain ada yang turun juga ke Goa Walet. Mereka mau mengisi perbekalan air. Dulu, tahun 2002 saat saya masuk ke gua, banyak bekas botol air mineral menampung tetesan air dari stalaktit yang menggantung di langit-langit gua. Banyak air terisi dalam botol-botol itu. Para pendaki memanfaatkannya untuk keadaan darurat (kehabisan air saat perjalanan naik atau turun dari puncak). 

Tapi kemarin, botol-botol itu sudah tidak ada. Berganti sebuah gentong plastik berisi air, sementara di satu sudut gua ada cerukan tergenang air. Para pendaki mengambil air dari cerukan.

Kiri: Pendaki yang kehabisan air, memanfaatkan genangan air dalam gua untuk mengisi ulang botol minum mereka. Kanan: Bunga edelweis yang sedang mekar di area Pos 9 Goa Walet/Mochamad Rona Anggie

Sudah Dikunjungi sejak Hampir 100 Tahun Lalu

Mengutip akun Instagram resmi Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) di @gunung_ciremai, penampakan Goa Walet dari atas seperti cekungan menyerupai kawah. Di dinding barat cekungan, terdapat lubang besar yang disebut Goa Walet, karena konon tempat bersarang burung walet.

Seorang peneliti Belanda, Van Gils mengungkapkan, Goa Walet merupakan kawah yang tercipta akibat erupsi gunung Ciremai kisaran 1917. Di sekitar Goa Walet tumbuh flora edelweis (Anaphalis javanica), cantigi (Vaccinium varingifolium), dan sengon gunung (Albizia montana). TNGC melarang pendaki camping di kawasan Goa Walet demi menjaga keasriannya.

Tangkapan layar Instagram TNGC yang membandingkan foto Goa Walet tahun 1929 dan 2022. Nyaris seabad silam, gua di bawah puncak Ciremai ini sudah dikunjungi manusia

Selepas menziarahi Goa Walet, saya dan Ali melanjutkan perjalanan turun gunung. Kami tiba di Pos 6 pukul 09.00, rehat sejenak lalu melipat tenda. Target kami zuhur sampai Pos 1 Cigowong dan lanjut berjalan menuju titik finis basecamp Cadas Poleng, Palutungan, pukul 13.45. Kami kembali ke rumah di Cirebon pukul lima sore. 

Pendakian yang menyenangkan. Semoga Gunung Ciremai senantiasa lestari.


Foto sampul:
Perlu keberanian menziarahi Goa Walet. Tampak pendaki keluar dari mulut gua yang berada di bawah jalur pendakian Apuy dan Palutungan, 10 April 2025/Mochamad Rona Anggie


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Mochamad Rona Anggie

Mochamad Rona Anggie tinggal di Kota Cirebon. Mendaki gunung sejak 2001. Tak bosan memanggul carrier. Ayah anak kembar dan tiga adiknya.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Berenang di Kiara Danu Majalengka, Menikmati Sumber Air Alami