Itinerary

Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933

Waduk Pacal seolah memiliki magnetnya tersendiri, bahkan sebelum saya berkunjung. Cerita mitos dan sejarahnya yang menyelimuti hingga kini, menjadi dominasi kuat sebagai salah satu destinasi menarik di Bojonegoro. 

Tetangga dan saudara saya bahkan tidak berani berkunjung ke tempat tersebut. Alasannya pun beragam, salah satunya karena tempat ini angker. Dulunya saat waduk dibangun, banyak warga setempat dipekerjakan secara paksa, hingga berujung meninggal dunia.

Namun, terlepas dari cerita dan berbagai mitos yang beredar di masyarakat, Waduk Pacal menjadi tujuan wisata yang paling membuat saya penasaran. Saya bersama keluarga pun langsung pergi ke waduk yang dibangun pemerintah Hindia Belanda pada 1927 dan diresmikan tahun 1933 tersebut.

Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933
Perbukitan hijau yang mengelilingi Waduk Pacal/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Perjalanan Menuju Waduk Pacal 

Kami berangkat hari Jumat pagi waktu itu. Perjalanan terbilang sebentar, hanya setengah jam saja dari rumah. Sepanjang perjalanan menuju Waduk Pacal tidak terasa membosankan. Kondisi jalan sudah beraspal atau cor.

Jalanan menuju Waduk Pacal melewati hutan jati dan tebing-tebing yang digunakan sebagai ladang oleh masyarakat setempat. Tidak banyak warga yang tinggal di daerah yang dilalui. Ini terlihat dari jumlah rumah di sepanjang jalan yang bisa dikatakan tidak terlalu padat. 

Sesampainya di waduk, kami membayar tiket masuk Rp5.000 per orang dan parkir roda empat sebesar Rp5.000. Terbilang cukup murah untuk kawasan objek wisata. Menurut juru parkir, tempat ini biasanya akan ramai pengunjung pada hari Sabtu dan Minggu saja. Selebihnya, hanya nelayan dan pemancing yang berkunjung dari dalam maupun luar kota. 

Kami harus sedikit berjalan kaki sedikit menanjak ke area waduk yang berlokasi di Dusun Tretes, Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang itu. Bagi orang tua maupun lansia, bisa menyewa tukang ojek yang ada di area parkir dengan membayar Rp5.000 sekali jalan menuju lokasi tepat di depan waduk. 

Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933
Sudut pohon di tepi waduk tempat nelayan bersiap memancing/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Dibangun Sebelum Indonesia Merdeka

Waduk ini dibangun untuk menampung air dari Sungai Pacal, dan menjadi bendungan beton pertama di Indonesia pada tahun 1933. Dibangun sebelum Indonesia merdeka.

Pembangunan waduk terjadi pada masa malaise, yakni situasi dan kondisi di mana depresi ekonomi sedang melanda Indonesia. Dimulai pada tahun 1929 hingga 1930–an akhir. Pada masa tersebut juga kesengsaraan dan kelaparan terjadi karena daya beli masyarakat semakin melemah akibat krisis ekonomi. 

Oleh sebab itu, saat pembangunan waduk, pemerintah Belanda mengerahkan banyak tenaga kerja dari masyarakat sekitar agar bisa meningkatkan sumber penghasilannya. Sebagai bangunan bersejarah peninggalan kolonial, waduk ini masih berfungsi hingga kini sebagai irigasi lahan pertanian di Bojonegoro. Bahkan, air dari waduk ini bisa mengalir hingga jembatan Kedungjati yang berlokasi di Kecamatan Temayang.

Menyusuri Waduk Pacal dengan Perahu

Keindahan alam di sekitar waduk menjadikannya lebih dari sekadar tempat penampungan air semata. Pepohonan rindang dan perbukitan kecil yang mengelilingi waduk ini menambah suasana asri dan kesejukan bagi para pengunjung. 

Kami duduk di depan warung yang berada di dekat waduk sembari menikmati suasana. Udara segar menyeruak, kami melepaskan penat sejenak. Tak lama seorang bapak menawarkan jasanya pada kami untuk menyusuri waduk menggunakan perahu miliknya yang tengah bersandar. Tanpa pikir panjang, kami bersedia. Cukup membayar Rp10.000 per orang, kami bisa menyusuri Waduk Pacal lebih dekat.

Mengunjungi Waduk Pacal pada pukul 10 pagi terbilang panas. Namun, akhirnya tetap menjadi pilihan tepat karena langit sedang cerah. Terlihat beberapa pemancing melemparkan kail mereka ke waduk setelah memasang umpan. Ada juga beberapa nelayan yang memancing dari atas perahu, sambil menjelajahi lokasi-lokasi potensial untuk mendapatkan ikan. Sementara jaring-jaring nelayan terlihat dengan adanya botol plastik sebagai pelampung untuk memberi tanda lokasi perangkap ikan berada.

Para pemancing bisa menyewa perahu milik warga dengan tarif sekitar Rp20.000 selama setengah hari. Sementara nelayan biasanya mulai berdatangan ke waduk setelah subuh. Sebelum berangkat dengan perahunya, mereka memastikan memantau kondisi air terlebih dahulu. Jika kondisi air tenang, maka para nelayan memutuskan untuk mencari ikan.

Menurut Pak Samin, pemilik perahu yang kami sewa, banyak pengunjung memanfaatkan Waduk Pacal ini untuk memancing. Terutama ikan nila, dengan menggunakan umpan lumut. Jika menggunakan umpan cacing, kemungkinan besar yang didapat adalah ikan bloso atau betutu. 

Selain dua jenis tersebut, ikan lainnya yang biasa ditangkap oleh para nelayan di waduk ini antara lain wader dan udang. Para nelayan biasanya menjual hasil tangkapan mereka ke pengepul yang terletak di sisi selatan waduk, atau langsung menawarkannya ke warung makan sekitar waduk.

Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933
Kuliner khas di warung sekitar Waduk Pacal/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Mencicipi Kuliner Khas Waduk Pacal

Setelah berkeliling dengan perahu, kami pun bergegas untuk mencicipi ikan bloso yang menjadi kuliner khas dari Waduk Pacal. Kami memutuskan untuk mampir ke Warung Makan Ikan Kali. Lokasinya tidak jauh dari area waduk.

Selain bloso, beragam menu lainnya antara lain ikan wader, udang, dan nila. Ada pilihan nasi putih dan nasi jagung yang bisa diambil sesuai porsi yang diinginkan. Untuk harga seporsi berkisar Rp25.000 sudah termasuk paket nasi, ikan, tempe, tahu, dan sambal. 

Daging ikan bloso terkenal dengan tekstur lembut dan tidak berserat. Sebenarnya saya sendiri sedikit kurang suka. Padahal ikan ini memiliki kandungan protein yang tinggi. Untungnya, masih ada pilihan ikan wader yang gurih dan crispy dipadu dengan sambal tomat matang.

Mengunjungi Waduk Pacal menjadi momen berkesan saya saat berada di Bojonegoro. Terlepas dari cerita mitos yang beredar turun-temurun hingga sekarang, waduk ini memiliki daya tarik tersendiri, termasuk kisah sejarahnya, yang akan tetap abadi.


Referensi:

Kemdikbud. Malaise. Ensiklopedia Sejarah indonesia. Diakses pada 27 Juni 2024, https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Malaise.
Putri, J. R. (2019). Pembangunan Waduk Pacal dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Masyarakat Bojonegoro Tahun 1927–1998. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. https://lib.unnes.ac.id/35453/1/3111413014_Optimized.pdf.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Seorang pekerja konten biasa yang menyukai lagu-lagu John Mayer.

Seorang pekerja konten biasa yang menyukai lagu-lagu John Mayer.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura