Perlawatan ke Semarang merupakan hal perdana bagi saya. Tak ayal ketika mendengar nama jantung ibu kota Jawa Tengah tersebut, benak saya mengembara ke deretan nama yang pernah saya baca seperti, Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Lama, Simpang Lima, Klenteng Sam Poo Kong dan wilayah yang pernah dijajaki Laksamana Cheng Ho pada ekspedisinya ke Nusantara.
Meski perdana, saya bersyukur masih ada kawan satu organisasi yang merespon niat baik persinggahan saya dan Ali—kawan perjalanan kali ini. Tersebutlah sekretariat hijau hitam yang dihuni oleh mahasiswa tingkat akhir dari beberapa universitas di Semarang, sebagai rumah singgah di mana kami bermalam dan rehat sejenak.
Dalam obrolan malam ketika di sekretariat terbesitlah pertanyaan “Di mana letak Lawang Sewu yang sudah cukup sohor dikenal oleh berbagai pelancong sebagai bangunan cagar budaya plus wisata sejarah itu?” Lalu salah seorang kawan bernama Ikhsan menjawab, “Letaknya tidak jauh dari sekretariat ini.”
Saya dan Ali bersepakat akan mengunjungi Lawang Sewu esok hari. Sebelum pagi tiba, malam itu juga saya langsung mengabari Mas Andy, kawan saya yang berdomisili di Kendal. Saya menyampaikan kedatangan saya dan meminta kerelaan untuk memandu perlawatan ke beberapa titik wisata.
Sesuai kesepakatan tepat jam 10.00 WIB Mas Andy tiba. Selain teman satu pendakian, ia juga alumnus Universitas Diponegoro yang membuat saya berkesimpulan, bahwa ia sudah mengetahui seluk-beluk Kota Semarang. Sehingga tak perlu lagi kebingungan mengenali jalanan kota yang sepintas lalu di beberapa titik mirip Sao Paulo, Brazil, ujar Ali serampangan.
Rencana telah disusun sedemikian rupa seperti terlebih dahulu mengunjungi Gedung SI atau Sekolah Rakyat Tan Malaka, lalu ke Masjid Besar Kauman, Kota Lama, Klenteng Sam Poo Kong dan berakhir di Lawang Sewu. Dari sekian banyak pilihan, saya menimbang dua tempat apakah masuk ke Klenteng Sam Poo Kong atau Lawang Sewu. Hal ini karena mempertimbangkan harga tiket pasca lebaran yang melonjak drastis.
Akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi kawasan cagar budaya Lawang Sewu dengan harga yang tiket, Rp20.000,-. Maka ketika tengah berada di halaman klenteng, kami hanya berswafoto saja dan menengok sekilas bagaimana tampak dalam dari kawasan yang dahulunya adalah bangunan masjid. Memasuki muka gerbang Lawang Sewu, petugas mengarahkan untuk memindai kartu vaksin di aplikasi PeduliLindungi. Selanjutnya dipersilahkan menuju loket dan membeli tiket yang bertanda logo KAI (Kereta Api Indonesia). Sedikit membaca beberapa peraturan yang terpampang di samping loket, lalu kami berjalan sedikit ke arah dalam yang langsung disambut oleh hiruk pikuk pengunjung dan pelapak musik.
Selayang Pandang Lawang Sewu
Bangunan yang dirancang dengan gaya Hindia Baru tersebut bernama Lawang Sewu atau dalam bahasa Indonesianya “Pintu Seribu”. Meskipun secara nyata tidak berjumlah seribu, banyaknya “pintu-pintu” yang menghiasi hampir seluruh ruangan dalam kemasan wisata kemudian dinarasikan menjadi seribu.
“Pintu-pintu” tersebut sebenarnya adalah jendela yang hanya saja dalam rancangan Belanda dibuat lebih besar dari ukuran jendela biasa. Hal itu dimaksudkan agar angin leluasa masuk ke dalam ruangan karena berangkat dari iklim di Semarang yang panas dan ruang bangunan Lawang Sewu yang sekarang, dahulu pernah difungsikan sebagai kantor pusat Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappij (NIS).
Awalnya saya bertanya-tanya tentang jumlah jendela yang banyak ini. Mengapa bangunan kantor harus ada dan di bangun tepat di jantung Kota Semarang yang letaknya tak jauh dari Tugu Muda sekarang. Pertanyaan tersebut akhirnya terjawab satu persatu ketika dengan khidmat, saya, Mas Andy, keponakannya, dan Ali, menyusuri serta membaca setiap narasi dan potret yang tersedia.
Sebelum melangkah ke depan, saya kebingungan hendak memulai dari mana. Namun di sini saya membuat pola, mula-mula ke lantai dua bangunan A, menyapu pandang ke seluruh bagian kawasan Lawang Sewu. Masuk ke bilik-bilik ruangan, melewati jendela dan pintu yang tersusun indah, yang dalam estetikanya memikat wisatawan untuk tak sabar memotret.
Tak ketinggalan saya pun turut memotret, lalu mengamati sepenuhnya setiap sudut bangunan yang telah dipugar sejak 2009, 2011 hingga 2013 lantaran Lawang Sewu ditetapkan sebagai cagar budaya. Setiap polesan cat dinding hingga perbaikan lantai, kusen pintu dan jendela, serta langit-langit ruangan dengan amat detail dipugar habis oleh pihak pemerintah demi menghilangkan kesan seram.
Dari bangunan A kami menuju ruang lain, yakni museum kecil yang menghadirkan deretan foto perjalanan proses pemugaran bangunan. Selain itu ada juga puing-puing bangunan mulai dari yang asli hingga replika. Di sana pun tertulis narasi lengkap dengan bukti penguat sehingga memudahkan akses informasi bagi wisatawan.
Dari bangunan A selanjutnya kami menuju bangunan B. Pada ruangan pertama, saya bersama wisatawan lain menyaksikan tayangan pendek video dokumenter tentang sejarah perkeretaapian di Indonesia. Ke ruang sebelah, narasi panjang terkait sejarah kereta api di Indonesia mulai menyala, dan saya cukup lama di sini untuk membaca satu persatu bagian menarik guna menambah wawasan.
Ternyata dalam beberapa ulasan, terdapat sekelumit sejarah kereta api di Sawahlunto—kota asal saya—yang menjelaskan bahwa jalur kereta api masa itu, dibangun sebagai akses untuk membawa batu bara dari Sawahlunto menuju pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) melewati Solok, Padang Panjang, Tanah Datar, Padang Pariaman dan Padang.
Kemudian di ujung lorong yang menghubungkan bangunan B dan C, terdapat pal bertuliskan huruf kapital “G. C. DAUM”, tepat berada sejajar dengan tangga dan kaca patri Lawang Sewu. Seterusnya saya berbelok ke kanan menuju pintu keluar, sebab sepertinya tidak ada lagi hal yang menarik dari bangunan C.
Di luar saya menghampiri lokomotif kereta uap berkode (C 23 01) yang juga tersimpan di Museum Kereta Api Ambarawa dan Museum Kereta Api Sawahlunto. Kereta tersebut mengingatkan saya semasa SD di mana lokomotif uap di tahun-tahun 2007-an, pernah difungsikan sebagai kereta wisata. Tapi kini justru tenggelam sebab jalur yang sudah lama ada terbengkalai.
Menutup Perlawatan
Dari sekian banyak wisatawan yang silih berganti memasuki ruang hingga sudut bangunan. Saya jadi ingin bertanya, apakah objek yang tersedia hanya sebatas formalitas arsip dokumentasi untuk konsumsi publik maya atau betul-betul dipelajari sebagai sarana informasi dan pengetahuan umum sejarah.
Namun saja pertanyaan ini saya pendam ketika meninggalkan kawasan dan menjadi bahan renungan. Beralih kembali, Mas Andy dan keponakannya setelah dari Lawang Sewu berniat akan segera ke Kendal, “Jaraknya tidak jauh, cukup 30-45 menit saja,” tuturnya ketika saya menanyakannya. Tetapi sebelum berangkat, kami terlebih dahulu mencari tempat makan untuk mengisi perut yang keroncongan.
Pilihan jatuh kepada warung nasi padang. Kami sembari beristirahat setelah seharian penuh mengunjungi objek wisata sejarah di Semarang yang berakhir di Lawang Sewu. Di samping itu, kami pun akan menutup perlawatan dengan tak lupa mengucap sepatah perpisahan dan menghaturkan rasa terima kasih.
Hingga nasi tandas habis, malam pun datang dan hujan mulai membasahi kota yang berjuluk “kota atlas” tersebut. Untuk mengisi waktu, kami banyak berbincang sejarah dan perjalanan. Mulai dari bagaimana menentukan pilihan destinasi ketika berada di suatu kota persinggahan hingga cara bijak agar perlawatan agar tidak sia-sia. Yang secara keseluruhan dibahas secara bebas pandangan sebagai ruang bertukar pikiran.
Namun di sisi lain, tetap saja ada pokok nilai yang menjadi refleksi saya, Ali, Mas Andy dan keponakannya. Sumber refleksinya itu terpatri dari rasa kenyang nasi padang. Lantaran pikiran dianggap sudah cemerlang, maka kami berkesimpulan ke depan ada baiknya pilihan destinasi ditetapkan untuk tujuan mengedukasi sekaligus menambah wawasan.
Kemudian ketika hujan sudah benar-benar reda. Kami mulai beranjak hendak bersiap-siap pulang setelah sebelumnya menunaikan salat terlebih dahulu di masjid al-Fath Universitas Diponegoro. Sementara Mas Andy akan kembali ke Kendal, saya dan Ali kembali ke tempat inap di sekretariat yang berlokasi tak jauh dari Universitas Negeri Semarang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa disapa Raja, kini ia berdomisili di Jogja sebagai mahasiswa. Kadang suka jalan-jalan, kadang menulis cerita perjalanan. Di sela-sela kesibukan, Raja menekuni dunia kepenulisan di ruang kreatif Jejak Imaji dan tengah mengembangkan Komunitas Kolam Baca di kampung halaman.