Travelog

Menyusuri Jejak Kolonial di Kawasan Braga dan Asia Afrika Kota Bandung

Tempo hari setelah menapak jejak Freemason di Kota Bandung, kini tiba saatnya bersantai dan menikmati kehidupan warga setempat. Berbekal tekad melihat kawasan dan bangunan peninggalan kolonial Kota Bandung, kami putuskan berjalan-jalan di kawasan Braga dan Jalan Asia Afrika. 

Sebenarnya, di pinggiran kota pun banyak bangunan kolonial. Karena keterbatasan waktu, lain kesempatan saya akan mengunjungi lebih jauh. Setelah berpamitan dengan Kang Rizky dan rekan lain di Museum Kota Bandung, perjalanan kami lanjutkan bersama Marcelia Ananta. Ia adalah pemandu tur kali ini.

“Langsung mau kembali ke Jawa Tengah atau bermalam di Kota Bandung dulu, Mas?” tanya warga asli Cimahi itu sambil bergurau.

“Kalau langsung, bisa-bisa kita langsung periksa ke dokter saking capeknya, Teh,” canda saya.

Tidak lama kemudian, ia menawari kami berkeliling Kota Bandung untuk menghabiskan waktu. Tentu ini kesempatan besar. Tidak perlu waktu lama buat kami menerima tawarannya.

Perjalanan kami kira-kira akan memerlukan waktu 19 menit, jika berjalan tanpa henti dari Museum Kota Bandung melalui Jalan Braga hingga tiba di simpang Asia Afrika. Fakta di lapangan, waktu yang kami habiskan sekitar 1,5 jam karena kerap berhenti mengabadikan momen kehidupan sekitar.

Menyusuri Jejak Kolonial di Kawasan Braga dan Asia Afrika Kota Bandung
Salah satu bangunan peninggalan kolonial di kawasan Braga yang kini menjadi bank swasta/Ibnu Rustamadji

Warisan Sang Arsitek Hindia Belanda

Selamat datang di Kota Tua Bandung. Begitu kira-kira ungkapan pertama ketika  menginjakkan kaki ibu kota Jawa Barat ini. Sepanjang sisi kanan dan kiri trotoar berdiri megah bangunan kolonial abad ke-18 dan ke-19. Saking banyaknya tidak semua saya tunjukkan di sini, hanya landmark yang kasatmata saja.

Sebelum beranjak menuju Braga, kami menyempatkan mampir di sebuah resto BMC (Bandoengsche Melk Centrale) 1928. Tidak jauh dari Museum Kota Bandung dan Masjid Al Ukhuwwah.

“Gedung ini dahulunya salah satu aset usaha pemerahan susu sapi milik keluarga Ursone dari Lembang, yang mausoleumnya di makam Pandu, Mas,” jelas Marcelia. 

Mausoleum keluarga Ursone terletak di pemakaman Pandu Bandung, berdampingan dengan pusara Ben Strasters dan arsitek kenamaan Hindia Belanda, yakni Ir. Charles Prosper (C. P.) Wolff Schoemaker.

Langkah kaki kami berlanjut menyusuri Jalan Wastukencana menuju Jalan Braga. Pandangan pertama saya tertuju pada Gereja Bethel Bandung karya Ir. C. P. Wolff Schoemaker di depan taman Balai Kota Bandung. Tampak plakat nama sang arsitek di bagian bawah kanan pintu masuk utama. Selepas mendapat izin melihat ke dalam dan mengabadikan setiap sudut gereja, penelusuran kami berlanjut.

  • Menyusuri Jejak Kolonial di Kawasan Braga dan Asia Afrika Kota Bandung
  • Menyusuri Jejak Kolonial di Kawasan Braga dan Asia Afrika Kota Bandung

Tepat di seberang Gereja Bethel terdapat bangunan berwarna putih dua lantai yang tidak asing bagi saya, yakni Bank Indonesia cabang Bandung. Menurut Marcelia, gedung Bank Indonesia Bandung atau De Javasche Bank dibangun mulai tahun 1915 dan selesai 1918. Ia menambahkan, “Perancangnya biro arsitek Hulswit, Fermont en Edward Cuyper, berdiri di atas Kerkplein atau Taman Gereja.”

Kerkplein kala itu merupakan lapangan terbuka untuk kegiatan masyarakat Kota Bandung. Puas mengabadikan tampak luar, langkah kami berlanjut menyeberang rel kereta api yang membelah Jalan Wastukencana dan Jalan Braga. 

Tibalah kami akhirnya di Jalan Braga Bandung. Di tengah asyik mengabadikan ujung Jalan Braga, mata saya tertuju pada rumah toko (ruko) berbalut kaca patri berwarna biru pada fasad depan. “Wah keren, ruko menggunakan kaca patri,” gumam saya.

Menyusuri Jejak Kolonial di Kawasan Braga dan Asia Afrika Kota Bandung
Gedung Landmark dengan relief Batara Kala di kedua sisi pada fasad depan/Ibnu Rustamadji

Gedung Landmark, begitu inskripsi yang tertulis pada inskripsi fasad depan. Menurut Marcelia, bangunan yang kami sambangi ini dahulunya Toko Buku Van Dorp. “Salah satu toko buku berbahasa Belanda legendaris di Kota Bandung. Berdiri tepat di jantung perekonomian Bandung kala itu, Mas,” jelasnya. 

Gedung Landmark atau Toko Buku Van Dorp berdiri pada 1922. Didesain oleh Ir. C. P. Wolff Schoemaker bergaya art deco. Sisi menarik lainnya bagi saya adalah fasad depan selain berhias kaca patri. Di kedua sisinya tampak relief Batara Kala seperti relief candi Hindu di Jawa.

Sang arsitek tampaknya menaruh perhatian terhadap kebudayaan Jawa dan ia realisasikan untuk Gedung Landmark Braga. Tentu ini bukan gedung sembarangan. Sebelum dinyatakan bangkrut, Toko Buku Van Dorp menerbitkan buku botani berjudul Indische Tuinbloemen yang ditulis M. L. A. Bruggeman, seorang botanikus di Kebun Raya Bogor dan bekerjasama dengan Ojong Soerjadi.

Pasca toko buku tersebut tutup di medio 1970, gedung beralih fungsi menjadi tempat pagelaran pameran dan kesenian. Tidak jauh dengan tujuan awal gedung Landmark dibangun.

Lorong Waktu Jalan Braga

Langkah kaki berlanjut menyusuri Jalan Braga. Seketika imajinasi langsung masuk menembus lorong waktu kehidupan Braga tempo dulu. 

Menurut catatan sejarah yang Marcelia miliki, kawasan Braga dahulu merupakan jalan setapak berlumpur. Hanya bisa dilalui pedati, sehingga tak ayal nama awal Jalan Braga bernama Pedatiweg atau Karrenweg. 

“Jalan Braga, awalnya jalan penghubung antara gudang kopi milik Andreas de Wilde yang kini menjadi Balai Kota Bandung dan Jalan Raya Pos atau Groote Postweg yang saat ini menjadi Jalan asia Afrika,” ungkapnya. 

Menyusuri Jejak Kolonial di Kawasan Braga dan Asia Afrika Kota Bandung
Hotel Savoy Homman di tepi Jalan Raya Pos Kota Bandung/Ibnu Rustamadji

Braga terus berkembang. Dari semula jalur penghubung menjadi pusat perbelanjaan elit warga Belanda di Kota Bandung dan sekitarnya. Perkembangan makin melesat, ketika pengusaha perkebunan teh Priangan menjajakan produknya di kota ini.

“Posisinya sangat strategis karena dekat groote postweg, pasti menjadi tujuan pelancong,” saya menimpali.

“Tetapi, buat orang Bandung asli kelahiran tahun 1960-an, yang berduit saja yang kuat belanja di sini, Mas,” sambung Marcelia.

Sepanjang jalan, mata saya dimanjakan dengan jajaran bangunan peninggalan kolonial yang tak lekang oleh waktu. Meski kini berubah fungsi menjadi kafe atau rumah makan.

Ragam bangunan peninggalan kolonial di kawasan Braga sampai simpang Asia-Afrika, lebih didominasi bangunan bergaya art deco. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari hubungan benang merah antara  Ir. C. P. Wolff Schoemaker dan Kota Bandung.

Selama menikmati perjalanan, saya dikejutkan seorang perempuan muda menyeberang jalan depan Gedung De Majestic Braga. Ternyata dia tengah melakukan jajak pendapat mengenai kedua kawasan di atas, kepada pejalan dari luar kota. Termasuk saya.

De Majestic, begitu kira-kira ejaan di atas fasad depan gedung. Awalnya gedung ini merupakan bioskop pertama Kota Bandung, bernama Concordia Bioscoop, karya Ir. C. P. Wolff Schoemaker yang bergaya Indo-Europese Stijl (Indo-Eropa).

Menyusuri Jejak Kolonial di Kawasan Braga dan Asia Afrika Kota Bandung
Gedung De Majestic atau Bioskop Concordia di Braga/Ibnu Rustamadji

Gaya tersebut muncul dalam ukiran wajah Batara Kala layaknya di Gedung Landmark. Sebagai gedung bioskop, film yang diputar mayoritas dari Eropa. Hal ini tidak lepas dari fungsi pendirian bioskop, yaitu memenuhi hiburan elit Belanda di Kota Bandung. 

Film Eropa yang diputar sebagian besar diproduksi Metro Goldwyn Mayer, sedangkan film Hindia Belanda pertama yang diputar adalah produksi N. V. Java Film Compagne pimpinan G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film pertamanya berjudul Loetoeng Kasaroeng, tayang perdana pada malam tahun baru 31 Desember 1926. Pemain merupakan warga pribumi dan anak bupati pertama Bandung. 

“Sebenarnya ada beberapa film Hindia Belanda kala itu yang diputar di sini, tetapi yang paling terkenal, ya, Lutung Kasarung ini,” jelas Marcelia.

Menariknya, selama film diputar, iringan musik dimainkan grup orkes yang telah disediakan pihak bioskop. Para pemain berasal dari golongan Eropa, Tionghoa, dan pribumi Kota Bandung.  

Meski begitu, jangan kaget jika tidak semua warga Bandung dapat menyaksikan film. Selain harga tiket yang tidak semua orang bisa beli, di sisi kiri dan kanan pintu masuk terdapat larangan berbunyi “Verboden voor Honder en Inlander”. Saya menjumpai tulisan larangan itu tertutup cat tembok warna putih. Terlarang untuk anjing dan pribumi memasuki gedung bioskop. 

Bioskop baru terbuka untuk semua warga pascakemerdekaan hingga berhenti beroperasi sekitar medio 1980. Puas menikmati kemewahan De Majestic, perjalanan kami sampai di titik akhir, yakni persimpangan Jalan Asia Afrika dan Jalan Braga. 

“Kalau kita lanjutkan, bisa setahun baru selesai menyusuri setiap jalan di Kota Bandung ini, Teh,” canda saya.

Sebelum kami berpisah, Marcelia menunjukan gedung De Vries yang menjadi landmark setempat. Gedung yang berseberangan dengan Gedung Merdeka dan Museum Konferensi Asia Afrika ini dikenal sebagai toko serba ada milik Andreas de Vries.

Menyusuri Jejak Kolonial di Kawasan Braga dan Asia Afrika Kota Bandung
Toko serba ada De Vries di simpang Asia Afrika dan Jalan Braga/Ibnu Rustamadji

Ia diketahui tinggal di Bandung pada 1899, di sebuah kios kelontong tepi Jalan Raya Pos Daendels yang kini menjadi areal Bank BRI Kota Bandung. Setelahnya ia menyewa rumah perkumpulan atau societeit Concordia, tempat Toko De Vries berdiri saat ini. 

Marcelia mengungkapkan, societeit Concordia adalah tempat kumpul pengusaha perkebunan Priangan dan para elit.  Tahun 1895, societeit pindah ke Gedung Merdeka saat ini dan gedung lama diubah menjadi toko oleh Andreas de Vries. “Sigaren, Landbouwbenodigdheden, Import, Commissionairs, Venduhouders, Warenhuis De Vries, Export, Kunst Boek – Papierhandel”, begitu bunyi inskripsi yang membaluti fasad depan toko De Vries.

Puas menyaksikan sedikit peninggalan kolonial Kota Bandung, kami pun berpisah. Waktu satu minggu tidaklah cukup untuk melihat peninggalan kolonial di Kota Bandung. Kini saatnya menikmati hujan dan segelas kopi panas legendaris dari Toko Purnama, Bandung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ibnu Rustamaji

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura