Mendengar kata bunker, mungkin bagi sebagian warga merupakan tempat persembunyian darurat prajurit untuk merencanakan strategi peperangan. Namun, berbeda dengan yang saya kunjungi di Laweyan, kampung lawas di Kota Surakarta atau Solo. Akrab disebut Kampung Batik Laweyan..

Hilir mudik warga Kampung Laweyan tidaklah sesering warga Kampung Banaran Sukoharjo, yang melalui Laweyan untuk bekerja di Solo. Keramaian Kampung Laweyan dimulai menjelang senja. Mereka lebih memilih beraktivitas di sore hari. Sekadar melepas lelah setelah bekerja mbatik (membuat batik) dengan bercengkerama di pinggir jalan kampung.

Berbeda dengan mbok mase—sebutan untuk saudagar batik Kampung Laweyan—lebih memilih bersantai di kediamannya yang bergaya indis, di balik tembok tebal setinggi empat meter. Hal ini lazim karena pabrik batik tulis Laweyan ada di belakang kediaman mbok mase. Para saudagar tidak perlu setiap hari keluar rumah untuk mengontrol produksi batik.

Masing-masing saudagar Laweyan memiliki ciri khas batik tulis dengan kerumitan pola yang berbeda. Ada satu saudagar Laweyan yang cukup mentereng di abad ke-18 hingga namanya berkibar di Eropa, yakni Tiga Negeri. Di kawasan Tiga Negeri Laweyan inilah tempat bunker Setono berada dan akan saya jelajahi.

Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
Bocah-bocah bersepeda di gang sempit Kampung Laweyan/Ibnu Rustamadji

Mencari Bunker Setono

Deretan tembok tebal dan tinggi Laweyan senantiasa menemani sepanjang perjalanan. Hanya tampak satu pintu regol kayu jati sebagai akses masuk utama. Namun, jika mendapat izin menengok ke dalam, kita bakal menjumpai kediaman bergaya indis lengkap dengan kemewahannya. 

Tidak semua saudagar Laweyan membuka pintu untuk berkunjung secara bebas. Harus izin dahulu meski sekadar ingin melihat. Tidak boleh asal menyelonong masuk dan wajib menghormati tuan rumah. Mereka juga butuh kenyamanan dan privasi untuk keluarga, sehingga harus saling memahami. Hal inilah yang menjadikan Kampung lawas Laweyan menarik untuk dijelajahi.

Setibanya di Jalan Tiga Negeri Laweyan, saya dikejutkan delapan anak berkumpul memenuhi “gang senggol” kampung. Awalnya saya kira ada kegiatan warga, ternyata tidak. Mereka tengah sibuk berboncengan sepeda ontel. Saya mengobrol sambil memotret kekocakan mereka dalam lensa kamera.

Tidak banyak warga, hanya sepeda motor yang terparkir mepet di dalam gang yang saya jumpai. Gang di dalam Kampung Laweyan sejatinya dibangun hanya sebagai penghubung antarkediaman saudagar. Tak ayal jalanan hanya bisa dilalui dua orang berjalan kaki.

Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
Gapura regol kayu berwarna kuning di ujung gang Jalan Tiga Negeri/Ibnu Rustamadji

“Oh, ikut gang ini terus mentok ada regol kayu kuning. Sebelahnya ada gang ke selatan, ikuti terus nanti rumahnya di barat jalan,” begitu kiranya arahan warga menuju rumah bunker Setono. 

Di ruas jalan yang sama, tepatnya RT 02 RW 11, rumah bunker Setono yang tersisa di kampung lawas ini ada di hadapan mata. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengetuk pintu untuk izin berkunjung.

Tampak pria paruh baya dengan ramah membukakan pintu sembari mempersilakan masuk. Beliau adalah Harun Mulyadi, pewaris rumah bunker Setono. Sembari menunjukan lokasi ndalem ageng dan bunker, ia banyak bercerita mengenai masa lalunya selama mendiami rumah keluarganya ini. 

Ia bercerita, jika rumahnya merupakan warisan Bei Kertoyudo, seorang priyayi Kerajaan Pajang di Kartasura. Namun, ia tidak tahu persis kebenaran maupun kapan rumah tersebut dibangun. Ia menambahkan, kedua orang tuanya pun tidak tahu-menahu sosok Bei Kertoyudo. Ia menduga, Bei Kertoyudo adalah kakek buyutnya.

Sejarah Bunker Setono sebagai Jalur Perdagangan Opium di Solo

Sembari asyik mengobrol, sampailah kami di pintu bunker Setono. Tepat di depan krobongan ndalem ageng. Tampak meja bundar dengan alas kayu persegi panjang, sebagai kamuflase pintu masuk bunker. Perlahan kami pindahkan meja dan papan guna melihat bunker lebih dekat.

Tampak dari atas, pijakan tangga batu merah siap menyambut di tengah kegelapan total. Saya lantas turun ke bawah bunker dan mencari jalur penghubung menuju kediaman lain di sekitarnya. Ada satu bukaan mengarah ke timur, diduga jalur penghubung yang kini telah ditutup tembok. 

Dugaan saya selama ini rupanya benar. Bunker Setono sejatinya dibangun untuk penyelundupan opium dari Bandar Kabanaran di selatan rumah bunker. Saat ini situs Bandar Kabanaran yang terletak di daerah aliran Sungai Bengawan Solo dekat Laweyan tampak memprihatinkan.

  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta

Opium kala itu dibawa pedagang menuju Laweyan dengan kapal jung (sejenis kapal layar) yang berlabuh di Bandar Kabanaran. Rumah bunker Setono adalah pusat transit opium dari dermaga sebelum dikirim kepada para saudagar Laweyan. Penggunanya buruh pekerja batik, sebagai tamba lara atau penyehat setelah lelah bekerja seharian.

Rumah bunker Setono di Laweyan tak ubahnya Rumah Merah Lasem. Sama-sama sebagai pusat perdagangan opium di abad ke-18. Opium dikirim dengan kapal jung supaya terbebas dari pajak pemerintah. Di beberapa sudut Kota Solo, terdapat opiumverkooplast atau tempat penjualan opium. Kampung Laweyan merupakan salah satu pusat perdagangan opium yang menjadi komoditas tersohor di Solo saat itu. 

Sekadar informasi, opium atau candu merupakan bagian dari narkotika dan obat berbahaya. Tidak disarankan untuk mencari atau mengonsumsi bunga opium. Narkotika, obat berbahaya dan sejenisnya menjadi legal ketika digunakan untuk keperluan medis dan kimiawi. Menjadi ilegal, ketika diedarkan dan disalahgunakan. 

  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta

Puas mengabadikan detail bunker, saya putuskan kembali ke atas. Sebab, jika terlalu lama semakin pengap. Setibanya di atas bunker, Harun menambahkan sejatinya bunker ini saling terhubung ke beberapa rumah saudagar di sisi utara. Fakta yang saya temukan dengan cerita Harun Mulyadi memiliki kecocokan. Hanya saja, sudah banyak bunker di rumah lain yang ditutup. Selama ini Harun Mulyadi mewarisi dan merawat semampunya.

Kurangnya literasi dan data pendukung membuatnya kesulitan untuk bercerita lebih banyak. Ia hanya bisa berbagi pengalaman dan cerita kehidupannya bersama rumah bunker Setono. Menurut cerita tutur keluarga, bunker Setono sudah ada sejak tahun 1625 atau mungkin lebih tua. Saya menduga, dari sisi desain, bunker ini dibangun pada awal 1810 sebagai pendukung perdagangan di Bandar Kabanaran.

Menurut Harun, bunker dibangun untuk menyimpan harta, seperti emas dan kain batik tulis supaya tidak dicuri, terutama oleh saudagar batik lain. Dikhawatirkan adanya penjiplakan motif batik tulis.

Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
Tampak jalur penghubung di dalam bunker Setono yang kini ditutup/Ibnu Rustamadji

Bagi saya, informasi tersebut kurang masuk akal. Alasan pertama, kain batik tulis tidak mungkin disimpan di bunker dengan kelembapan tinggi. Kain tersebut pastinya rusak dan mengurangi nilai jual ke Eropa kala itu. Alasan kedua, setiap saudagar batik tulis memiliki ciri khas dan kerumitan berbeda. Sedikit kemungkinan mereka akan mencuri. Tembok setinggi empat meter menjadi pertanda jelas jika mereka semaksimal mungkin melindungi karyanya tanpa harus menyimpannya di dalam bunker.

Berbeda cerita, jika para saudagar berkolaborasi menciptakan kain jarik Tiga Negeri. Jarik Tiga Negeri merupakan hasil karya saudagar Lasem sebagai pewarna merah darah ayam, Pekalongan sebagai penyedia kain mori dan pewarna biru,  dan Laweyan sebagai pusat pewarna cokelat sogan.

Bunker Setono kemudian beralih fungsi sebagai jalur pelarian pejuang ketika agresi militer Belanda di Solo. Pascakemerdekaan, banyak bunker mulai ditutup lantaran marak terjadi perampokan melalui bawah rumah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar