Sejak 2018 hingga 2022, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung memperkenalkan beragam program pemerintah yang dirancang untuk menjawab banyaknya persoalan pangan dan lingkungan di Kota Bandung.
Pada 2018 misalnya, Pemkot Bandung mengenalkan program bernama Kang Pisman, yang merupakan singkatan dari kurangi, pisahkan, dan manfaatkan. Program ini berusaha mengajak masyarakat untuk turut serta mengelola sampah rumah tangga mereka secara bertanggung jawab dan dapat dikelola dengan baik. Dalam visi jangka panjang “Bandung Kota Jasa yang Kreatif, Agamis, Maju, dan Berkelanjutan” menuju 2045, program ini dianggap masih relevan, terutama di tengah persoalan sampah dan pangan yang kian mendesak.
Setelahnya, program Buruan Sae diperkenalkan kepada publik pada 2020. Buruan Sae merupakan program pertanian perkotaan (urban farming) yang bertujuan untuk menanggulangi ketimpangan permasalahan pangan di Kota Bandung. Program ini mendorong masyarakat untuk memanfaatkan pekarangan dan lahan terbatas guna memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Lalu pada 2022, program Dashat atau Dapur Sehat diluncurkan. Program ini berfokus pada penyediaan makanan bergizi bagi bayi, ibu hamil, dan keluarga berisiko stunting. Ketiga program tersebut dirancang untuk menjawab berbagai masalah pangan dan lingkungan dengan dukungan dari anggaran pemerintah daerah.
Salah satu permasalahan yang coba dijawab oleh program-program tersebut adalah darurat sampah. Seperti kota-kota besar lain di Indonesia, Bandung juga menghadapi kondisi darurat sampah. Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Sarimukti di Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, yang menampung sampah dari Kota Bandung dan sekitarnya, telah lama mengalami kelebihan kapasitas. Dampaknya tidak hanya berupa penumpukan sampah, tetapi juga risiko longsor dan kebakaran. Pada musim kemarau 2023 tercatat, kebakaran besar sempat melanda TPPAS Sarimukti, hal ini diduga dipicu oleh bara puntung rokok dan akumulasi gas metana hasil tumpukan sampah.


Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup pada 2024, Kota Bandung menghasilkan 546.151 ton timbulan sampah per tahun, dengan timbulan harian hampir 1.500 ton. Angka ini jauh melebihi kapasitas TPPAS Sarimukti yang hanya 1.200 ton per hari, dan pada 2025 dibatasi menjadi 981 ton per hari. Artinya, akan ada 200-300 ton sampah yang tidak bisa terangkut, dan diperkirakan terjadi penumpukan mencapai 4.000 ton sampah di sejumlah titik di Kota Bandung.
Sebagian besar sampah itu berasal dari aktivitas rumah tangga (60%), disusul fasilitas publik (13,3%), pasar (10%), perniagaan (6%), dan perkantoran (4%). Dari sisi komposisi, sisa makanan mendominasi dengan porsi (44,52%), diikuti plastik (16,7%), dan kertas-karton (13,12%). Dominasi sampah makanan atau food waste inilah yang kemudian menggunung di TPPAS Sarimukti.
Dalam catatan United Nation Environment Programme (UNEP), Indonesia menjadi penghasil sampah makanan terbesar di Asia Tenggara. Jumlahnya mencapai 14-73 juta ton pada 2024. Angka ini berdampak serius pada sektor kesehatan dan ekonomi. Sementara itu, kajian Bappenas pada 2021 mencatat, kerugian ekonomi akibat food waste mencapai 213-551 triliun rupiah per tahun. Ironisnya, jumlah makanan terbuang tersebut sejatinya cukup untuk memberi makan 61-125 juta orang, atau hampir separuh populasi Indonesia.
Pemkot Bandung juga mulai menerapkan inovasi teknologi. Salah satunya adalah penggunaan biodigester untuk mengolah sampah organik menjadi biogas dan pupuk cair. Pasar Gedebage dipilih sebagai lokasi percontohan karena tingginya volume sampah organik yang dihasilkan setiap hari.
Namun, penerapan biodigester bukan tanpa tantangan. Pemilihan bahan reaktor, baik dari beton, fiberglass, maupun plastik, harus disesuaikan dengan kebutuhan, biaya, dan daya tahan. Pelatihan serta pendampingan bagi pengelola menjadi kunci untuk mencegah kegagalan fungsi akibat kesalahan manusia.
Di luar aspek teknis, pengelolaan sampah yang efektif membutuhkan kolaborasi lintas sektor. Konsep pentahelix, yang melibatkan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, masyarakat sipil, media, serta organisasi non pemerintah, menjadi pendekatan yang tak terelakkan. Keterlibatan generasi muda juga dinilai penting untuk menjangkau kelompok masyarakat yang belum tersentuh edukasi pengelolaan sampah, baik melalui pendekatan konvensional maupun digital.

Peran Anak Muda dan Media Sosial
Upaya pelibatan orang muda itu terlihat dalam Lokakarya Simpang Belajar Bandung: Workshop Content Creator atau Lokakarya Pembuatan Konten yang diselenggarakan di Bandung pada 25-27 Oktober 2025 lalu. Sebanyak 15 orang muda terlibat dalam kegiatan yang merupakan bagian dari program global Urban Futures yang diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis) ini. Dalam kegiatan itu, para peserta dilibatkan untuk memproduksi konten media sosial sebagai respons atas persoalan pangan dan sampah di Kota Bandung.
Salah satu narasumber, Novia Arifin, seorang kreator konten dan aktivis lingkungan, menggunakan akun Instagram Cerita Nupi untuk menyuarakan keresahannya terhadap food waste dan gaya hidup minim sampah. Melalui kegiatan tersebut Novia mengajak para peserta untuk melihat lebih dalam kondisi permasalahan lingkungan di Kota Bandung, salah satunya melihat kondisi TPPAS Sarimukti yang kian memprihatinkan dan bagaimana dampaknya terhadap kelangsungan hidup masyarakat di sekitarnya.
Riset kolaboratif Monash University dan RMIT University berjudul “Exploring the application of social media in food waste campaigns and interventions: A systematic scoping review of the academic and grey literature (2022)” menunjukkan, media sosial merupakan sarana komunikasi yang relatif sederhana dan efektif untuk meningkatkan kesadaran publik dalam mengurangi limbah makanan. Kebebasan berekspresi di ruang digital memungkinkan siapa pun menjadi agen perubahan, dimulai dari kebiasaan paling sederhana di rumah seperti mengubah pola makan dan minum menjadi lebih berkesadaran. Artinya, makan dan minum secukupnya, sehingga tidak menyisakan makanan dan minuman agar potensi food waste bisa ditekan.
Program Dashat, Buruan Sae, Kang Pisman, hingga biodigester patut diapresiasi sebagai langkah konkret Pemkot Bandung. Namun, inisiatif tersebut tidak seharusnya berhenti sebagai capaian administratif semata. Tantangan sesungguhnya adalah menjadikannya kebiasaan baru yang berkelanjutan di tengah masyarakat.
Geliat orang muda dan kolaborasi lintas komunitas menghadirkan energi segar dalam mewujudkan Bandung minim sampah. Target nol sampah mungkin masih terasa jauh, tetapi upaya meminimalkan timbulan sampah, baik organik maupun anorganik, sudah menjadi langkah maju. Setidaknya, itu jauh lebih berarti daripada diam dan membiarkan krisis terus menggunung.
Artikel ini dapat tersusun berkat dukungan dari Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial Melalui Program Urban Futures
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.


