INTERVAL

Menyemai Perjalanan Tanpa Jejak Digital

Di era digital yang serba cepat saat ini, sebuah perjalanan sering kali dianggap “sah” hanya bila telah dibagikan ke jejaring media sosial. Unggahan di Instagram, video pendek di TikTok, atau kisah bersambung di X (dulu Twitter) menjadi semacam validasi bahwa kita memang sedang atau telah berada di suatu tempat.

Akan tetapi, benarkah perjalanan akan kehilangan maknanya jika tak sempat dibagikan ke jagad virtual? Apakah pengalaman perjalanan kita itu menjadi kurang berharga dan kurang bermakna hanya karena tidak terdokumentasikan di akun media sosial kita dan di-like oleh pengikut kita?

Pertanyaan tersebut agaknya semakin relevan di tengah kecenderungan masyarakat kiwari yang mengukur kualitas perjalanan dari banyaknya likes dan jumlah tayangan (views). Padahal, nilai sejati dari sebuah perjalanan kerap terletak pada keterlibatan langsung dan kehadiran penuh, bukan dalam dokumentasinya.

Mengalami Momen Paling Autentik

Ketika kita terputus dari jaringan internet—entah itu karena sinyal hilang, baterai habis, atau pilihan secara sadar untuk tidak terhubung—justru saat itulah sesungguhnya kita mengalami momen paling otentik dan bermakna.

Sebuah kajian yang dilakukan Wang, Xiang, dan Fesenmaier (2014) mengungkap dinamika menarik antara penggunaan ponsel dan pengalaman wisata. Kajian ini menyoroti bagaimana perangkat yang semula dirancang untuk membantu mobilitas dan konektivitas justru dapat mengganggu kualitas keterlibatan wisatawan selama perjalanan.

Dalam kajian tersebut, para peneliti menemukan bahwa penggunaan ponsel secara berlebihan dapat menginterupsi alur alami pengalaman wisata. Alih-alih tenggelam dalam suasana, budaya, atau interaksi lokal, wisatawan sering kali teralihkan perhatiannya oleh notifikasi, media sosial, atau kebiasaan digital sehari-hari yang dibawa ke dalam konteks perjalanan.

Sebaliknya, mereka yang mampu mengurangi ketergantungan pada ponsel selama bepergian cenderung mengalami perjalanan yang lebih atentik dan memuaskan. Tanpa gangguan digital, wisatawan dapat lebih fokus menikmati lanskap, budaya, maupun momen-momen kecil yang sering terlewatkan ketika perhatian terpecah atau terdistraksi.

Menyemai Perjalanan Tanpa Jejak Digital
Sejumlah wisatawan menikmati panorama alam di kaki Gunung Puntang/Djoko Subinarto

Kehilangan Keindahan

Bayangkan kita sedang berada di puncak gunung menjelang fajar. Alih-alih larut dalam keheningan dan warna langit yang perlahan berubah, kita justru malah sibuk memilih angle terbaik dan mengatur filter di ponsel kita.

Bahkan, saat koneksi internet tidak tersedia dan unggahan tertunda, yang muncul bukan rasa kehilangan akan keindahan alam, melainkan kegelisahan karena tak segera mendapat validasi. Dalam hal ini, kita menjadikan pengalaman sebagai komoditas visual. Setiap momen dikurasi, setiap ekspresi disusun. Seolah perjalanan kita tak cukup berharga bila tak ada yang melihat.

Padahal, justru saat tidak bisa memperbarui status, kita justru punya peluang untuk sungguh-sungguh hadir. Tidak sekadar mengunjungi tempat, tetapi benar-benar menghayatinya.

Salah satu kawan saya, Leon, pernah melakoni perjalanan selama sepuluh hari ke pedalaman Kalimantan. Tanpa sinyal, tanpa listrik. ”Gue lupa notifikasi,” katanya ketika pulang. “Tapi, gue ingat aroma tanah basah dan bagaimana rasanya makan talas bakar di pinggir api unggun.”

Dan Leon pulang tanpa oleh-oleh visual yang memukau. Namun, ia membawa pulang sesuatu yang lebih abadi, yakni keheningan yang menyadarkan, dan kesadaran yang menyegarkan.

Pengalaman seperti itu mengajarkan bahwa makna perjalanan tak selalu hadir dalam bentuk foto-foto yang estetik atau video yang viral. Makna perjalanan bisa hadir dalam bisikan angin, dalam kehangatan interaksi, dan dalam perasaan yang tumbuh perlahan.

Menyemai Perjalanan Tanpa Jejak Digital
Aktivitas wisata menyusuri jalan desa di sisi selatan Gunung Malabar/Djoko Subinarto

Perjalanan adalah Tentang Proses

Musisi John Mayer pernah menulis lagu berjudul 3×5. Potongan liriknya berbunyi: “Didn’t have a camera by my side this time / Hoping I would see the world through both my eyes.”  Melalui lirik itu, Mayer mengingatkan bahwa kadang kita baru benar-benar melihat ketika kita tidak sedang sibuk memotret.

Kita mungkin kerap lupa bahwa perjalanan adalah tentang proses, bukan tentang pertunjukan. Ia bukan panggung untuk menampilkan diri, melainkan ruang untuk menyimak dunia luar dan mengenali diri sendiri.  Ketika tidak bisa update status lewat gawai, kita berhenti menjadi penyunting kisah dan mulai menjadi penghayatnya. Tak ada tuntutan untuk tampil ceria sepanjang waktu. Kita bebas mengalami rasa takut, lelah, dan rindu—emosi yang kerap kita sembunyikan demi narasi yang terlihat ideal di linimasa. 

Maka, perjalanan pun berubah. Ia bukan sekadar pencarian, melainkan penerimaan. Kita tak lagi menjadi tokoh dalam cerita orang lain, tetapi penulis bagi narasi kita sendiri. Dengan begitu, perjalanan menjadi lebih jujur. Lebih manusiawi. Kita tidak lagi perlu menciptakan versi terbaik dari diri sendiri, karena kita sudah merasa cukup dengan versi yang sebenarnya.

Apa artinya menjejak tanah Toraja bila yang kita bawa pulang hanyalah filter “nostalgia”, bukan pemahaman tentang filosofi kehidupan dan kematian dari masyarakat di sana? Apa makna berdiri di Gong Perdamaian Ambon bila satu-satunya yang kita cari hanyalah tempat swafoto yang ikonis?

Tatakala koneksi digital terputus, kita dihadapkan pada koneksi yang lebih dalam berupa keterikatan dengan tempat, orang, dan batin sendiri. Banyak yang justru menyadari ihwal siapa diri mereka sebenarnya saat tidak ada yang menonton.

Menyemai Perjalanan Tanpa Jejak Digital
Para pesepeda singgah di Pabrik Teh Ortodoks Montaya/Djoko Subinarto

Pengalaman adalah Sumber Kebahagian

Sejatinya, pengalaman adalah salah satu sumber kebahagiaan jangka panjang yang paling konsisten. Sebagian dari kita mungkin takut lupa bila tidak mendokumentasikan. Namun, sebenarnya, kenangan yang paling dalam justru tertanam di lubuk hati, bukan di galeri ponsel. Kita ingat suara jangkrik yang menemani malam. Kita ingat tawa anak kecil yang kita temui di terminal desa. Kita ingat ketakutan tersesat, dan rasa lega saat akhirnya menemukan jalan.

Lagu bertajuk Simple Man dari Lynyrd Skynyrd menyimpan pesan kontemplatif. “Forget your lust for the rich man’s gold / All that you need is in your soul.” Begitu sebagian bunyi liriknya. Barangkali dalam konteks perjalanan, pesan dalam lirik tersebut bisa kita maknai ulang bahwa semua yang paling berarti sering kali tidak bisa dibagikan, tapi selalu bisa dirasakan.

Maka, bila suatu saat kalian berada di tempat terpencil dan tiba-tiba sinyal menghilang, tak usah panik. Anggaplah itu sebagai undangan untuk hadir seutuhnya. Lepaskan keinginan untuk mengabadikan, dan biarkan momen itu mengabadikanmu. Karena yang tersisa dari perjalanan sejati bukan jumlah follower medsos kalian yang bertambah, melainkan pemahaman yang tumbuh dan hati yang lebih luas. Bukan karena orang lain melihat ke mana kita pergi, melainkan karena kita sendiri sungguh melihat ke dalam dan menemukan sesuatu yang berharga di sana.

Sebab, dalam sunyi dan terputusnya koneksi digital, perjalananmu boleh jadi justru malah menemukan makna yang paling utuh dan tak tergantikan oleh apa pun.


Referensi:

Wang, D., Xiang, Z., & Fesenmaier, D. R. (2014). Smartphone Use in Everyday Life and Travel. Journal of Travel Research, SAGE Publications, Vol. 55(1):52-63. DOI: 10.1177/0047287514535847.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Avatar photo

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara