TRAVELOG

Menjemput Hadiah Sejati di Puncak Pawitra

Pagi itu, udara masih lembap di kaki Gunung Penanggungan. Sebagian orang menyebutnya Pawitra, nama yang sarat makna spiritual. Gunung setinggi 1.653 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini berada di utara Mojokerto, Jawa Timur. Dari kejauhan bentuknya menyerupai kerucut sempurna, seakan jadi kembaran kecil Gunung Semeru.

Saya berdiri di base camp Desa Kedungudi, salah satu jalur resmi. Memanggul carrier di punggung dengan sebotol air di tangan, dan secercah niat sederhana: ingin sampai puncak dan merasakan hening yang hanya bisa ditemukan di ketinggian.

“Sendirian, Mas?” tanya penjaga base camp sambil mencatat nama saya di buku tamu.

“Iya, solo hiking,” jawab saya singkat. Solo hiking memang jadi semacam terapi pribadi ketika riuh dunia terlalu bising. Ada kebebasan yang tak tergantikan saat melangkah seorang diri hanya ditemani desir angin, aroma tanah basah, dan detak jantung yang berpacu.

Menjemput Hadiah Sejati di Puncak Pawitra
Candi Guru, salah satu situs bersejarah yang bertebaran di lereng barat Gunung Penanggungan. Difoto saat turun/M. Hikmal Yazid

Menyusuri Jalur Bersejarah

Langkah dimulai dengan jalur tanah berbatu, menanjak perlahan. Penanggungan tak hanya gunung, tapi juga museum terbuka peninggalan Majapahit. Di lereng-lerengnya tersebar situs-situs purbakala: candi, petirtaan, pertapaan, goa. Konon, para resi zaman dulu mencari kesunyian di sini untuk menata batin diri.

Di Pos 1, medan masih landai. Vegetasi bambu dan semak belukar mengiringi perjalanan. Sesekali saya melihat papan petunjuk menuju situs-situs bersejarah, sebagian tertutup semak. Ada rasa haru sekaligus miris, warisan masa lalu tersimpan di sini, tapi belum semua terawat dengan baik.

Naik ke Pos 2, napas mulai terengah. Jalur makin menanjak, tanah merah licin sisa hujan malam sebelumnya. Di sela kelelahan, saya membayangkan para leluhur yang rela berjalan jauh tanpa perlengkapan modern, hanya berbekal tekad mencari makna hidup. Bukankah pendakian zaman kini, meski penuh alat canggih, tetap tak bisa menghapus rasa letih yang sama?

Di sela kelelahan itu, pikiran saya melayang pada para leluhur mereka yang dulu menapaki jalur serupa tanpa sepatu gunung, tanpa jaket antiair, tanpa peta digital. Mereka berjalan dengan keyakinan dan doa, berbekal naluri dan bintang, menantang alam bukan untuk menaklukkannya, melainkan agar memahami diri sendiri. Barangkali di setiap langkah mereka, ada semacam percakapan sunyi antara manusia dan alam; sebuah dialog yang kini sering hilang di tengah suara notifikasi dan lampu-lampu layar.

Menjemput Hadiah Sejati di Puncak Pawitra
Pemandangan Mojokerto saat malam hari/M. Hikmal Yazid

Menyatu dengan Kedamaian di Puncak

Selepas Pos 3, jalur semakin menantang. Batu-batu besar jadi pijakan. Saya berhenti sejenak, meneguk air, dan membiarkan angin mengelus wajah. Tidak ada suara selain kicau burung dan gesekan daun. Kesunyian yang tidak menakutkan, justru mengundang damai.

Di sinilah bedanya mendaki seorang diri. Tak ada obrolan remeh, tak ada musik yang memecah hening. Hanya percakapan lirih antara tubuh dan alam: “Mampukah aku terus melangkah?”

Sampai di Pos 4, vegetasi mulai menipis. Pandangan lebih terbuka. Di kejauhan terlihat Gunung Arjuno-Welirang berdiri gagah, juga hamparan wilayah Mojokerto yang kerlip-kerlip. Saya menoleh ke bawah, sadar sudah cukup jauh meninggalkan riuh kota.

Perjalanan ke puncak Penanggungan selalu disebut sebagai “bonus penderitaan”. Tanjakan terakhir benar-benar curam. Jalurnya berupa batuan agak besar dengan kemiringan tajam, sehingga langkah harus diangkat setinggi dada. Tangan mesti bekerja meraih pijakan, menjaga keseimbangan.

Peluh bercucuran, napas kian memburu. Tapi setiap kali kepala menengadah, biru pekatnya langit memberi semangat. Gemerlapnya bintang membuat saya sadar kehidupan tanpa lampu itu seperti ini. Dalam hati saya berkata, “Tak ada puncak tanpa perjuangan.”

Setelah hampir tiga jam dari base camp, akhirnya saya sampai di bibir puncak. Sebuah dataran kecil menyambut, dipagari jurang di sisi kiri dan kanan. Angin kencang berembus, membawa aroma belantara.

Duduk di atas batu, saya membiarkan tubuh rebah sejenak. Di hadapan mata terbentang pemandangan luar biasa: lautan awan bergulung, perbukitan menghijau. Saya mengeluarkan bekal roti dan meneguk sisa air. Tidak ada makanan mewah, tapi rasa syukurnya berlipat.

Di puncak, sederhana justru terasa paling nikmat. Pendirian tenda saya lakukan sendiri. Mungkin ini kesulitan ketika solo hiking, memakan waktu banyak untuk kegiatan ini. Sambil makan roti, saya mencoba membuka HP. Ternyata sinyal sudah hilang di sini.

Sesaat kemudian, kabut datang silih berganti. Kadang pemandangan tersaput putih, lalu tiba-tiba tersibak lagi, memperlihatkan panorama luas. Seperti tirai teater alam yang tahu kapan harus menutup dan membuka panggung. Di momen ini, saya merasa benar-benar damai. Dunia di bawah sana dengan segala hiruk-pikuk politik, pekerjaan, dan masalah pribadi seakan menguap bersama kabut. Yang tersisa hanya saya, langit, dan Pawitra itu sendiri.

Prasasti kuno menyebut Penanggungan sebagai “Pawitra” yang berarti suci. Nama yang masih lestari hingga kini. Pada masa Majapahit, Pawitra diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa. Banyak resi dan brahmana melakukan pertapaan di lerengnya. Bahkan beberapa tokoh pergerakan di abad ke-20 pernah naik ke sini untuk mencari ketenangan batin.

Memandang setapak candi di lereng, saya teringat: mendaki bukan sekadar olahraga atau hobi. Ada dimensi spiritual yang lebih tua dari peradaban modern. Gunung menjadi medium manusia untuk mendekat, bukan hanya kepada alam, tapi juga kepada dirinya sendiri.

Di sela menikmati puncak, rombongan anak muda muncul dari jalur lain menuju arah pulang. Mereka tektok, naik siang tadi—mungkin mencari sunset-nya Mojokerto. Wajah lelah tampak jelas, tapi semangat mereka tak kalah besar. Sambil tertawa, mereka saling memberi semangat.

Hal yang membuat saya adem adalah di setiap kali bertemu seseorang, selalu ada yang menyapa entah itu saya yang memulai atau orang lain. Inilah wajah pendaki zaman sekarang. Penuh ambisi, gairah, dan gaya, tapi tetap mencari arti kebebasan dan ketenangan.

Tak jarang, simbol-simbol budaya pop ikut naik gunung. Ada yang membawa bendera band favorit, ada pula panji tokoh anime, lambang-lambang komunitas hingga open trip. Bagi sebagian orang, itu hanya gaya. Tapi bagi yang lain, itu semacam pernyataan, “Kami bebas mengekspresikan diri.”

Saya tak menilai. Gunung selalu menjadi ruang inklusif. Yang penting, jangan sampai simbol itu menodai kebersihan dan kesakralan alam.

Menjemput Hadiah Sejati di Puncak Pawitra
Menyambut matahari terbit dari puncak Pawitra/M. Hikmal Yazid

Memaknai Hadiah Sejati

Pendakian saya kala itu bertepatan dengan bulan Agustus. Di bawah, masyarakat bersiap merayakan kemerdekaan dengan lomba dan upacara. Di puncak ini, kemerdekaan terasa dalam bentuk yang lain: bebas bernapas lega, menatap cakrawala tanpa sekat.

Saya teringat kata-kata Sutan Sjahrir, bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan, melainkan juga bebas dari ketakutan, kebodohan, dan belenggu batin. Mungkin itulah sebabnya banyak orang memilih mendaki di bulan ini sebagai simbol menaklukkan diri sendiri.

Merah Putih berkibar di beberapa tenda yang sempat saya lewati. Pemandangan sederhana itu membuat dada hangat. Di tengah kabut dan dingin, Sang Saka tetap berdiri. Seakan memberi pesan perjuangan, bahwa para pahlawan juga lahir dari “pendakian” panjang penuh rintangan.

Saya duduk kembali, memandangi lembah di bawah. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan: Mengapa manusia rela bersusah payah mendaki gunung? Apa yang dicari di ketinggian? Apakah sekadar foto indah, atau ada kerinduan yang lebih dalam?

Jawaban datang perlahan di kepala saya, dari otak turun ke hati. Saya yakin setiap orang punya “puncak” masing-masing. Ada yang mencari ketenangan, ada yang ingin menguji diri, ada pula yang sekadar mengikuti tren. Semua sah-sah saja. Yang terpenting, jangan lupa pulang dengan hati yang lebih lapang.

Menjemput Hadiah Sejati di Puncak Pawitra
Menikmati pemandangan di sekitar Gunung Penanggungan sebelum turun/M. Hikmal Yazid

Gunung tidak menuntut kita menjadi siapa-siapa. Ia hanya meminta satu hal, hargai keberadaannya. Jangan meninggalkan sampah, jangan merusak, jangan merasa paling benar.

Sebelum turun, saya menatap sekali lagi panorama dari puncak Pawitra. Angin kencang berdesir, membawa doa dan rasa syukur. Saya meremas tanah, tanda terima kasih pada alam yang telah memberi kesempatan.

Perjalanan turun tak kalah melelahkan, tapi hati terasa ringan. Setiap langkah menuruni jalur adalah proses “kembali” ke dunia nyata. Namun, kali ini dengan sudut pandang yang berbeda: lebih tenang, lebih siap menghadapi riuh hidup.

Damai di puncak bukan sekadar bebas dari bising kota, melainkan juga bebas dari beban batin. Itulah hadiah sejati dari Pawitra.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

M. Hikmal Yazid

Hikmal Yazid, di sela jam mengajar dan belajarnya selalu menyempatkan untuk meramu dan merekam kehidupan dari berbagai sudut pandang dalam tulisan.

M. Hikmal Yazid

M. Hikmal Yazid

Hikmal Yazid, di sela jam mengajar dan belajarnya selalu menyempatkan untuk meramu dan merekam kehidupan dari berbagai sudut pandang dalam tulisan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mencari Udara Segar di Gunung Penanggungan