TRAVELOG

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1)

Keinginan untuk mengunjungi Kota Lama Surabaya sebenarnya sudah lama. Namun, apa daya, hal tersebut hanya bisa dipendam saja, setidaknya hingga menjelang akhir Januari lalu. Bersama sahabat-sahabat yang saya kenal di komunitas heritage, saya akhirnya bisa menuntaskan keinginan tersebut.

Tidak seperti tahun lalu sewaktu mengikuti tur heritage di Kampung Peneleh, saya bersama seorang teman berangkat dari Malang sekitar pukul 04.30 WIB naik kereta api, membuat kami berdua lumayan mengantuk selama perjalanan. Untuk menghindari itu, saya dan lainnya memutuskan mengambil jadwal kereta pukul enam pagi.

Kami tiba di Stasiun Surabaya Kota sekitar pukul 08.30. Selama menjelajahi Kota Lama Surabaya, kami akan dipandu Toufan Hidayat. Ia seorang pegiat sejarah yang tergabung dalam komunitas pegiat sejarah. Beberapa kali ia mengikuti tur heritage di Kota Malang. Dari sinilah, saya mengenalnya. 

Berjarak sekitar 1,5 kilometer dari Stasiun Surabaya Kota, kami memilih berjalan kaki saja daripada naik taksi daring. Hitung-hitung olahraga sembari menikmati bangunan-bangunan tua. Begitu keluar dari stasiun, saya terperangah. Suasana hiruk-piruk menjadi pemandangan utama. Ada pasar baju bekas layak pakai, para pedagang menggelar lapak di tepi jalan raya. Baju-baju tergantung di hanger, ada pula yang menaruhnya begitu saja di bawah. Tak ketinggalan para pedagang kuliner ringan juga meramaikan suasana.

Saat berjalan, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap menemukan penjual nasi. Sayangnya, hanya ada nasi pecel. Sementara yang lain rupanya lebih tertarik meneruskan perjalanan menuju titik pertemuan dengan Toufan. Untuk mengganjal perut, kami sempat berhenti di sebuah minimarket.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Toufan Hidayat, pemandu tur, sedang memberi penjelasan kepada peserta tur/Dewi Sartika

Berkunjung ke Museum Hidup Polisi

“Halo, Mbak, posisi di mana?”

Saya lalu bertanya kepada yang lain sesudah mengangkat telepon dari Toufan sewaktu mengantre di kasir. “Kita di Jalan Veteran,” ucap Vadia, salah satu sahabat yang turut serta dalam tur ini.

Usai mengetahui posisi kami, Toufan kemudian memberitahu titik pertemuan. Tak lagi di Kantin Kasuari sebagaimana rencana awal, tetapi bergeser ke depan Museum Polrestabes Surabaya. Kami pun tak berlama-lama di minimarket. Setelah beristirahat sebentar untuk mengisi perut, kami bergegas melanjutkan perjalanan. 

Pagi itu, Jalan Veteran cukup lengang. Hanya beberapa kendaraan yang lewat. Dari kejauhan sesosok laki-laki bertopi berdiri di depan museum. Kami menghampirinya. Tak berselang lama ia lalu menjelaskan mengenai kawasan kami berada saat itu.

“Jadi, Kota Lama dulu dikelilingi tembok. Temboknya, ya, jalan ini lalu sungainya ada di belakang bangunan-bangunan itu. Sementara di sini juga pintu pos utama keluar Kota Surabaya,” terang Toufan kepada kami. Telunjuknya mengarah kepada jalan di depan kami sewaktu menerangkan bahwa jalan raya tersebut dulunya adalah tembok kota.

Menurut Toufan juga, dahulu permukiman orang-orang Belanda (VOC) bentuknya mengikuti model bangunan di Eropa yang dikelilingi tembok. Saya pun teringat kastil-kastil di Eropa yang pernah muncul di film berlatar abad pertengahan. Sesudah tembok lalu ada sungai yang juga mengelilingi permukiman tersebut, sungai berisi buaya. Baik sungai dan tembok ini berfungsi sebagai benteng pertahanan. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Tampak depan bangunan Museum Hidup Polisi/Dewi Sartika

Sesudah mendengar keterangannya, pandangan saya langsung tertuju ke gedung Museum Polrestabes Surabaya yang tepat di berada di samping kami berdiri. Dari kejauhan, bangunan tersebut seolah-olah sudah menunjukkan keangkuhannya. Gedung museum dihiasi pilar-pilar raksasa putih serta deretan jendela berukuran besar.

Toufan melangkah memasuki kompleks museum. Ia hendak meminta izin agar bisa memasuki gedung, lebih tepatnya dalam istilah Bahasa Jawa, untung-untungan. Bisa masuk, ya, alhamdulillah, tidak bisa masuk juga tidak apa-apa.  Mengingat untuk bisa masuk ke tempat tersebut pengunjung harus meminta izin tiga hari sebelum kunjungan dilakukan.

Sebelum melangkah lebih lanjut, saya baru sadar bahwa tepat di bagian pintu masuk Museum Polrestabes Surabaya inilah pada warsa 2018 lalu terjadi peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan satu keluarga. Setidaknya, itulah yang dikatakan Toufan. Seketika ingatan saya melayang ke beberapa tahun lalu sewaktu kejadian ini menjadi headline pemberitaan di televisi maupun media daring.

Ia kemudian kembali dengan wajah semringah karena izin berhasil ia kantongi. Kami pun membuntutinya dari belakang. Seorang petugas polisi yang semula berjaga di pos mengiringi langkah kami memasuki gedung museum. Makin mendekati bangunan, rasa-rasanya hati saya makin berdecak kagum dengan kemegahannya.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Berbagai jenis seragam polisi/Dewi Sartika

Koleksi Museum Beragam

Gedung ini sendiri dibangun sekitar tahun 1808 sebagai bagian dari rencana Daendels menjadikan Surabaya sebagai pangkalan militer. Mulanya, bangunan ini dipakai untuk barak militer. Selepas Daendels tak berkuasa, fungsinya masih sama, hingga pada 1925 gedung ini dialihfungsikan sebagai kantor kepala komisaris kepolisian Surabaya. Sampai sekarang, bangunan ini juga masih aktif sebagai kantor Polrestabes Surabaya.

Begitu memasuki gedung, berbagai benda pajangan, seperti senjata, seragam polisi, dan sepeda zaman dulu memenuhi bagian dalam bangunan. Semuanya tertata rapi di display. Tak ketinggalan pula terdapat patung M. Jasin yang dikenal sebagai Bapak Brimob Polri.  Tepat di tengah-tengah terdapat sebuah lonceng berwarna keemasan dengan tulisan terukir di bagian badan lonceng.

Dari keterangan yang saya baca, lonceng yang didesain Paul van Vlissingen dan Dudok van Heel ini digunakan sebagai tanda peringatan oleh pemerintah Belanda. Tahun pembuatannya sendiri sekitar 1843 dan terbuat dari bahan besi kuningan. Untuk membawa lonceng ini dari Belanda ke Hindia Belanda—sekarang Indonesia—dibutuhkan waktu sekitar tujuh tahun. Uniknya, lonceng dengan bentuk dan tulisan sama ini tak hanya terdapat di Surabaya saja, tetapi juga ditemukan di Benteng Willem, Ambarawa.

Sempat tebersit di pikiran saya, mengapa museum ini dinamakan museum hidup. Rasa penasaran saya akhirnya terjawab. Alasannya, tak seperti museum pada umumnya yang bisa dikunjungi kapan saja, untuk bisa ke sini harus izin terlebih dahulu mengingat gedung ini masih aktif digunakan untuk pertemuan polisi. Hal ini ditandai dengan sebuah ruang pertemuan yang berisi kursi-kursi.

Selanjutnya, kami juga menyempatkan untuk melihat-lihat bagian samping bangunan yang juga dikenal sebagai gedung Hoofdbureau ini. Di masa kolonial tempat ini memang menjadi kantor pusat polisi di Surabaya.

“Itu meriam asli, ya. Ditemukan tahun 2009 di Kota Lama, tepatnya di gedung Telkom. Dulunya, gedung itu pabrik senjata, awalnya Pindad. Jadi, sebelum pindah ke Bandung, dulu berada di daerah Jembatan Merah. Pabrik tersebut memproduksi meriam, [tetapi] karena panas akhirnya pindah ke Bandung dan Malang karena hawanya lebih dingin. Ada sembilan meriam yang ditemukan,” jelas Toufan sewaktu kami berdiri di dekat meriam yang berada di pojok gedung museum.

Sembari diselimuti kekhawatiran, kamu lalu masuk ke bagian lain kompleks gedung museum. Alasan mengapa kami nekat, tak lain dan tak bukan karena penasaran dengan bungker yang ada di samping gedung. Sayangnya, bungker tersebut terkunci. Kami hanya sebentar saja karena memang izin memasuki kompleks ini sebenarnya hanya untuk ke gedung museum saja, tidak ke bagian yang lain.

Sepertinya, ada banyak sebutan untuk bangunan yang baru saja kami kunjungi. Selain disebut Museum Polrestabes Surabaya dan Museum Hoofdbureau, bangunan ini juga menyandang nama lain, yaitu Museum Hidup Polri.

Beranjak keluar untuk meneruskan perjalanan, di bagian depan kompleks bangunan berdiri dengan gagah patung dengan seragam polisi. Sosok tersebut adalah Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang menjadi Kapolri pertama Republik Indonesia sekaligus Grand Master Freemason di Indonesia.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Dewi Sartika

Dewi Sartika, ibu rumah tangga yang tinggal di Malang. Menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah dan menulis tulisan "historical fiction". Menjadi anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *