Selepas acara di salah satu hotel, Jumat pagi (17/1/25) saya meluncur ke Terminal Tirtonadi, Kota Solo. Kurang dari 15 menit, ojek daring membelah keramaian lalu lintas dan mengantar sampai pintu timur terminal.
Banyak kenek bus jurusan Jawa Timur menghampiri begitu melangkah masuk terminal. “Trans Jateng,” kata saya, membuat mereka lekas menjauh. “Masih terus ke dalam,” ucap salah satu kenek bus tujuan Surabaya.
Guna memastikan, saat melihat petugas berseragam dinas perhubungan (Dishub), saya tak ragu bertanya. “Nanti mentok, melipir ke kanan. Ada ruang tunggu di situ,” ujarnya.
Saya mempercepat langkah, bus berwarna merah melintas dan berhenti. Penumpang dari ruang tunggu antre naik. “Bus ke Sumber Lawang?” tanya saya dari jendela pintu depan bus. “Bukan, tunggu saja nanti datang,” jawab sopir.


Naik Trans Jateng ke Sragen
Saya bertanya langsung pada pengemudi bus, sebagaimana saran Ali—panggilan Evan Hrazeel Langie, anak sulung yang ingin saya kunjungi di salah satu pesantren di Sragen. Ali lebih dulu menjajal Trans Jateng saat berangkat dari Cirebon menuju pondoknya kembali, usai liburan lalu. “Trans Jateng ada yang ke Wonogiri dan Sragen. Abi pastikan dulu, jangan keliru naik,” kata pelajar kelas 3 Mutawasith (SMP) itu via telepon.
Saya pun duduk di ruangan luas berdinding kaca. Baru pukul 08.40. Dua petugas hilir mudik, menanyakan tujuan tiap penumpang. Petugas memberitahu bus yang akan saya naiki, sama dengan rombongan ibu paruh baya berkerudung. “Nanti naik bareng mereka,” jelasnya.
Pukul 08.50, bus yang dinantikan datang. Ibu-ibu bersiap, berkerumun depan pintu ruangan. Begitu pintu bus terbuka, serentak mereka masuk. Saya sempat khawatir tak kebagian tempat duduk, tapi dapat juga di sisi kiri belakang sopir. Posisi duduk penumpang Trans Jateng berhadapan dengan jarak yang cukup. Tidak sempit. Aturannya, penumpang lelaki di bagian depan, yang perempuan mulai tengah hingga kursi paling belakang. Ada tanda pembatasnya.
Tak perlu menunggu penumpang penuh, sopir mengarahkan kendaraan keluar terminal. Melewati jalan di bawah jalan layang tol dalam kota. Termasuk melintasi bawah jembatan rel layang berpagar raksasa warna merah mencolok. Saya berpikir, kenapa Solo identik dengan warna perlambang berani? Baru sadar; mungkin saja karena basis partai politik berbendera merah ada di kota ini.

Kondektur perempuan membuyarkan lamunan saya, lantas menanyakan tujuan dan menagih ongkos. Perempuan bermasker yang oleh sopir dipanggil Okta itu, sigap dengan mesin electronic data capture (EDC) di tangan. Tarif jauh-dekat penumpang umum Rp4.000, sedangkan pelajar, buruh, dan veteran Rp2.000.
“Turun di SMA Sumber Lawang,” kata saya sambil menyerahkan uang sepuluh ribu. Okta memberi kembalian dan struk yang keluar otomatis dari mesin.
Bus Trans Jateng hanya menaikkan dan menurunkan penumpang di titik tertentu. Ditandai rambu khusus atau yang spesifik berupa halte berwarna merah. Total ada 76 lokasi perhentian dengan akhir perjalanan di Terminal Sumber Lawang, Sragen. Rute Solo–Sragen ini juga melewati halte Sangiran, titik turun wisatawan yang mau berkunjung ke Museum Manusia Purba Sangiran. Rombongan ibu-ibu mengakhiri perjalanan di sini.
Setengah jam berlalu. Penumpang sisa sedikit. Sopir membuka obrolan, menanyakan asal dan tujuan saya. “Dari Cirebon, mau nengok anak di Ponpes Darussalaf, Pendem,” ujar saya. “Masih jauh itu,” balasnya.

“Saya juga pernah kerja di Cirebon, dulu tahun 1990-an,” kata si sopir. Kami pun saling bertukar cerita. Sebelum saya turun, dia sempat mengenalkan diri dengan menunjukkan kartu pengenal sopir Trans Jateng yang tergantung di dada. Namanya: Safari. “Wah, yang punya Taman Safari, nih,” gurau saya. Dia tertawa. “Siapa tahu nanti naik Trans Jateng bisa ketemu lagi, ya,” ucapnya hangat.
Sampailah saya di tujuan setelah 45 menit perjalanan. Saya lihat peta jalur Trans Jateng, ternyata dari tempat saya turun, tersisa satu halte lagi (SMP Sumber Lawang), sebelum bus tiba di titik akhir. Saya perkirakan total perjalanannya sekitar satu jam saja.
Ali menyebutkan, dari halte SMA Sumber Lawang ke pesantren berjalan kaki sekitar 700 meter. Tadinya, saya kira akan sore hari datang ke sana. Namun, ada perubahan rencana. Saya berkunjung di pagi menjelang siang. Padahal sudah siap jas hujan, andai turun dari bus disambut hujan. Sebab, kabar terakhir dari Ali, Desa Pendem sedang rutin diguyur air langit saat sore.
Terbukti, persis selesai salat Jumat di masjid pondok, hujan deras. Berangsur rintik, lalu deras kembali sampai malam. Pertemuan ayah dan anaknya pun dibalut kesejukan dalam rindu.

Kejutan, Berjumpa Pak Safari Lagi
Tadinya saya mau pulang hari Minggu. Namun, Sabtunya Ali ada pembelajaran sampai zuhur. Ketimbang sendirian di kamar tamu, saya putuskan pagi itu kembali ke Cirebon. Saya lihat Ali tak berat melepas ayahnya pulang.
Gerimis menemani saat saya diantar musyrif (pengawas santri) naik motor ke halte Simpang Kemukus 2. Lokasi ini berlawanan arah dengan halte SMA Sumber Lawang. Jadi, Trans Jateng koridor Solo–Sragen punya dua titik perhentian berseberangan.
Info dari Pak Safari—dan ternyata ada dalam poster yang ditempel di halte—keberangkatan Trans Jateng mulai pukul 05.00, terakhir pukul 17.30. Beroperasi sekaligus dua bus. Satu start dari Tirtonadi, satu lagi dari Sumber Lawang.
Awalnya saya sendirian menunggu di halte. Tak lama datang seorang pelajar perempuan berpakaian pramuka. “Biasa bus datang jam berapa?” tanya saya. “(Jam) 6.20,” sahutnya. Semenit berselang tampak kotak merah melaju mendekati halte. Saya bersiap naik, pintu bus tepat depan muka halte. Kondektur lelaki mengarahkan duduk di sisa satu kursi dekat sopir. “Mau pulang, Pak?” tanya sopir, yang langsung membuat saya terkejut. “Lho, Pak Safari!”
“Jodoh, ya,” ucapnya lanjut tersenyum.
“Wah, saya enggak nyangka sama sekali, kan busnya ada banyak.”
Karena ramai penumpang, bahkan hingga berdiri, kami belum bisa meneruskan obrolan. Pagi itu di dalam bus penuh pelajar hendak berangkat sekolah. Lalu lintas merayap perlahan. Siswa dan siswi sebagian turun di halte SMKN 1 dan SMPN 1 Kalijambe, dekat halte Sangiran.
Bus Trans Jateng yang saya tumpangi tiba di Tirtonadi pukul 07.15. Durasi 45 menit perjalanan. Alhamdulillah, lancar. Sebelum turun, saya salami Pak Safari. “Sehat-sehat, ya, Pak! Terima kasih,” kata saya.
“Kapan ke sini lagi?” tanyanya. “Paling nanti pas jemput anak, libur bulan puasa,” sahut saya sambil melangkah keluar bus. Jujur saja, saya masih kaget campur senang bisa bertemu Pak Safari lagi. Tak terbayangkan sebelumnya. Takdir.



Menuju Stasiun Solo Balapan via Sky Bridge
Masuk area terminal, saya celingukan. Di manakah Sky Bridge? Ah, tanya petugas saja. “Lurus terus, dekat masjid,” sebut lelaki berseragam Dishub, menunjuk selasar di depan sana. Saya melangkah perlahan. Tengok kanan-kiri, lalu ketemu tangganya. Terbagi dalam dua undakan. Saya hitung ada 40 anak tangga, lantas tembus ke atap terbuka yang jadi tempat parkir mobil. Lorong masuk Sky Bridge ada di sebelah kanan.
Benar kata Ali, sepi! Saya berjalan semakin dalam dan jauh. Tak ada siapa-siapa. Setelah agak lama, baru berpapasan dengan seorang ibu ke arah Tirtonadi. Saya sempatkan melihat pemandangan perkampungan warga, jalan raya, hingga kubah dan menara putih Masjid Sheikh Zayed—ikon religi teranyar Kota Solo.
Di situs web resmi Pemkot Surakarta, dijelaskan Sky Bridge dibangun sejak tahun 2017 dan resmi beroperasi 2022. Awalnya hanya penumpang yang sudah memiliki tiket kereta api saja yang bisa mengakses Sky Bridge dari Tirtonadi. Jam buka jembatan melayang dengan desain tertutup kaca dan beratap itu juga dibatasi pukul 04.00–18.30 WIB. Namun, mulai Februari 2024, Sky Bridge beroperasi untuk umum selama 24 jam.
Kehadiran Sky Bridge memudahkan penumpang luar kota seperti saya dan yang lainnya. Kita tak perlu keluar terminal atau stasiun jika mau berganti moda transportasi. Memang, agak lumayan jalan kakinya. Saya perkirakan hampir satu kilometer. Tapi ternyata, di situs web tadi disebutkan Sky Bridge memangkas jarak Stasiun Solo Balapan–Terminal Tirtonadi menjadi hanya 650 meter saja. Sementara kalau lewat jalan raya di luar stasiun atau terminal, lebih dari 1,5 kilometer.


Menjelang ujung lorong, jalur Sky Bridge lantas menanjak. Terlihat lintasan rel kereta api di bawah. Sepertinya sudah masuk kawasan stasiun. Selasar lalu mengarah ke ruangan-ruangan berkaca. Saya masuki salah satu pintu, menuju sebuah konter. Salah! Bukan tempat membeli tiket kereta api jarak jauh. “Ini loket untuk kereta api ke bandara,” kata petugas perempuan.
Saya kemudian diarahkan keluar ruangan, berjalan terus hingga menemukan eskalator turun dan sampailah di area parkir stasiun. Di loket penjualan tiket luring, saya pilih naik KA Mataram tujuan Pasar Senen. Saya akan turun di Stasiun Kejaksan Cirebon, dengan jadwal keberangkatan pukul 08.50.
Masih ada waktu, saya sempatkan sarapan soto depan stasiun. Selebihnya menikmati suasana hilir mudik sepur dari Solo Balapan. Tiba-tiba, di antara peluit petugas stasiun dan klakson khas “ular besi”, seolah terdengar Didi Kempot bersenandung: ning Stasiun Balapan, Kuto Solo sing dadi kenangan…
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.