Konferensi Keanekaragaman Hayati atau COP16 usai digelar di Cali, Kolombia dan menghasilkan keputusan penting bagi Indonesia. Peluang baik sekaligus tantangan besar bagi pelestarian ekosistem hutan dan masyarakat adat, khususnya di Papua.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda
Orang-orang Papua menyebut, paru-paru Indonesia terakhir berada di tanah adat mereka, setelah Sumatra dan Kalimantan kian tertekan deforestasi akibat alih fungsi lahan dan pembalakan liar. Keistimewaan hak ulayat jadi landasan dasar untuk menjaga kawasan hutan dan perairan sebagai sumber daya penghidupan masyarakat adat Papua.
“Klaim” masyarakat adat Papua tersebut sebenarnya cukup berdasar. Menilik data terakhir, bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang diolah oleh Auriga Nusantara dalam Menatap ke Timur: Deforestasi dan Pelepasan Kawasan Hutan di Tanah Papua (2021), hampir 40% dari total 88 juta hektare (ha) luas tutupan hutan alam nasional berada di Papua. Tercatat 33.847.928 ha menyelimuti Tanah Papua, jauh di atas gabungan luas hutan di Kalimantan Tengah (7.278.678), Kalimantan Timur (6.494.977), Kalimantan Utara (5.663.890), Kalimantan Barat (5.516.651), Maluku–Maluku Utara (4.988.917), dan Sulawesi Tengah (3.807.331).
Meski tren deforestasi menurun sejak tahun puncak 2015, tapi angkanya masih tinggi. Di Kabupaten Jayapura saja, meski KLHK sudah memberi surat keputusan (SK) pengakuan empat hutan adat di Lembah Grime, kawasan adat suku Namblong, perusahaan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masih beroperasi di lahan konsesi yang izinnya sudah dicabut KLHK sejak 2022. Alih fungsi lahan oleh industri ekstraktif semacam ini jelas merenggut ruang penghidupan masyarakat dan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Seperti di Jayapura dan bagian wilayah Papua lainnya, hutan-hutan alam merupakan rumah bagi aneka flora dan fauna endemik, termasuk burung cenderawasih. Jika kondisi tingginya tingkat biodiversitas tiada banding ini tidak terlindungi dengan baik, nasib serupa yang telanjur terjadi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku bisa dialami Papua, cepat atau lambat.
Konservasi berbalut adat dan ekowisata
Praktik konservasi untuk menjaga keanekaragaman hayati di alam sejatinya telah berlangsung di Papua dari generasi ke generasi. Selain aturan adat yang ketat, pendekatan ekowisata belakangan juga dipilih menjadi jalan tengah untuk mencari manfaat ekonomi berkelanjutan sekaligus keseimbangan ekologis.
Salah satu daya tarik ekowisata yang sedang naik daun adalah wisata pengamatan burung (birdwatching). Orang sudah banyak tahu, cenderawasih merupakan spesies endemik yang selalu berkaitan erat dengan Papua. Beberapa pengamat burung (birder) menyebutnya burung surga (birds of paradise) karena keunikan sifat dan morfologinya. Bulu, tarian, dan kicauannya dianggap eksotis.
Di pedalaman Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, masyarakat Malagufuk menawarkan kegiatan eksplorasi pengamatan lima spesies cenderawasih di Hutan Klaso, belantara yang mengepung kampung mereka. Para pegiat ekowisata Malagufuk telah memetakan lokasi birding yang memungkinkan fotografer lintas negara melihat cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleucus), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus).
Burung-burung penghuni teduhnya Hutan Klaso di Kampung Malagufuk. (Dari kiri) cenderawasih raja, toowa cemerlang, dan julang papua/Deta Widyananda
Statistik perjumpaan dengan burung-burung tersebut telah banyak tercatat di eBird. Platform daring yang memuat data-data spesies burung dari para fotografer atau ilmuwan tersebut dikelola oleh Cornell Lab of Ornithology, lembaga penelitian di bawah Cornell University, Amerika Serikat. Misinya adalah menafsirkan dan melestarikan keanekaragaman hayati burung melalui penelitian, pendidikan, dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Sejak 2016, saat awal-awal Malagufuk mulai mendunia, lebih dari 185 spesies burung berhasil terpotret—termasuk cenderawasih. Beberapa spesies burung populer di antaranya julang papua (taun-taun), mambruk, kasuari, dan cekakak (raja-udang). Tidak hanya burung, sejumlah satwa endemik juga mudah ditemukan di Malagufuk, seperti ekidna (babi duri) dan kanguru tanah. Mengingat pentingnya keberlanjutan rantai makanan alami, masyarakat adat suku Moi di Malagufuk pun mulai membatasi perburuan babi hutan dan hewan lain untuk menjaga biodiversitas yang ada.
Begitu halnya terjadi di wilayah adat suku Namblong, Kabupaten Jayapura. Alex Waisimon, pendiri Isyo Lodge dan perintis birdwatching di kampung wisata Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, menawarkan kegiatan pengamatan burung di hutan yang tak jauh dari penginapan miliknya itu. Cenderawasih menjadi objek utama incaran para fotografer maupun pegiat birdwatching dunia. Data-data perjumpaan dengan burung endemik ini tercatat pula di eBird, tak terkecuali burung-burung lainnya. Di Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, masyarakat telah memetakan satu lokasi potensial untuk melihat cenderawasih kuning-kecil dan julang papua di dekat hutan mereka.
Ekowisata memang menjadi salah satu program unggulan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua, selain pengembangan vanili dan perdagangan karbon. Wisata susur sungai di Kali Biru, Kampung Berap, menjadi destinasi pelengkap. Tujuan utamanya semata mencari manfaat ekonomi tanpa harus mengganggu ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Sistem bisnis berbasis adat yang diperkuat 44 Iram (pemuka marga) sebagai pemilik saham menjamin kelangsungan BUMMA sebagai tumpuan ekonomi masyarakat suku Namblong.
Inisiatif-inisiatif lokal inilah yang mesti didukung para pemangku kepentingan (stakeholders) di Indonesia. Pengelolaan sumber daya alam berbasis adat, disertai pendampingan manajemen yang baik terbukti konkret dalam melindungi keanekaragaman hayati di dalamnya. Masyarakat sejahtera, hutan terjaga.
Seruan dari Cali
Berjarak sekitar 19.000 km dari Indonesia, sekitar 200 negara berkumpul dalam The 2024 United Nations Biodiversity Conference of the Parties (COP16) to the UN Convention on Biological Diversity (CBD), pada 21 Oktober–1 November 2024 di Cali, Kolombia. Konferensi internasional ini merundingkan upaya dan pernyataan bersama kepada dunia agar menghentikan perusakan alam yang mengakibatkan kepunahan keanekaragaman hayati. Salah satunya adalah dengan mengakui peran masyarakat adat dan komunitas lokal dalam konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan.
Mulanya, seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia yang hadir di Cali untuk mendorong pembentukan Subsidiary Body on Article 8j (SB8j) atau badan permanen untuk pengakuan kontribusi masyarakat adat—yang bertujuan untuk menguatkan pengetahuan lokal, warisan adat, dan praktik-praktik tradisional dalam melindungi keanekaragaman hayati—sempat ditolak perwakilan delegasi pemerintah Indonesia. Indonesia juga tidak menghendaki sistem pendanaan langsung untuk pekerjaan-pekerjaan konservasi yang dapat dijangkau masyarakat adat dalam melindungi keanekaragaman hayati di daerahnya.
Cindy Julianty, perwakilan dari WGII (Working Group on Indigenous and Local Communities-Conserved Areas and Territories Indonesia), menyebut penolakan tersebut sebagai sebuah langkah mundur dan sangat disayangkan. Sebab, COP16 mestinya menjadi momentum penting untuk mengimplementasikan Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dua tahun lalu.
Eustobio Rero Renggi, juru bicara dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang juga hadir pada COP 16 CBD tersebut, mengungkap pentingnya sistem pendanaan langsung kepada komunitas atau masyarakat adat. Meksiko, Namibia, Swiss, bahkan Uni Eropa memberikan dukungan langsung terhadap skema ini. Ia beranggapan masyarakat adat merupakan penyandang hak utama yang telah menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati secara turun temurun, bahkan jauh sebelum negara berdiri.
Suasana haru menyelimuti peserta Sidang Pleno COP16 di Cali, Kolombia, saat Presiden COP16 Susana Mohamad (foto kiri, memegang tongkat) menyatakan persetujuan pembentukan Subsidiary Board on Article 8j/UN Biodiversity
Namun, setelah perundingan yang alot, kabar baik tersiar di pengujung konferensi pada 1 November 2024 waktu setempat. Seperti dikutip Betahita (4/11/2024), perwakilan pemerintah Indonesia dan sejumlah negara berubah sikap, mendorong Sidang Pleno CBD menetapkan keputusan bersejarah untuk menyetujui pembentukan Subsidiary Body Article 8j. Lu’lu’ Agustiana, Analis Kebijakan Ahli Madya Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik KLHK, salah satu delegasi pemerintah Indonesia, mengakui kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal. Pihaknya hanya membutuhkan kejelasan secara proporsional terkait mekanisme atas amanah tersebut berjalan di Indonesia.
Langkah tersebut mesti disambut dengan komitmen kuat di negeri sendiri. Terutama mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat oleh DPR RI yang tersendat sejak 2012. Berbagai usulan penetapan hutan adat, baik di Papua maupun luar Papua, mesti segera ditindaklanjuti untuk mendapatkan pengakuan negara. Dalam catatan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dari luas wilayah adat yang sudah terpetakan seluas 30,1 juta ha, baru sekitar 16 persen saja yang telah diakui secara hukum.
Situasi ekstremnya perubahan iklim terkini, serta laju deforestasi yang masih masif karena industri ekstraktif atau program lumbung pangan yang kurang tepat sasaran, mendesak penyelamatan masa depan ruang hidup keanekaragaman hayati yang masih tersisa. Masyarakat adat, diyakini punya peran krusial untuk pelestarian alam dan tradisi lokal. Jangan sampai cenderawasih dan burung-burung ikonis kehilangan rumahnya sendiri. (*)
Foto sampul:
Burung cenderawasih kuning-kecil di hutan Kampung Malagufuk, Sorong, Papua Barat Daya (Deta Widyananda)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.