Menjaga Irung-irung, Sumber Air yang Menghidupi Warga Cihideung

Mendengar kata Cihideung, yang terlintas di pikiran sebagian orang boleh jadi adalah bunga. Begitulah. Cihideung yang berlokasi di kawasan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, memang sudah lama identik dengan bunga. 

Betapa tidak. Sekitar 85 persen penduduk Desa Cihideung saat ini adalah para petani bunga, dengan rincian 35 persen petani bunga potong dan 50 persen petani bunga hias. Bunga hias merupakan bunga yang digunakan untuk memperindah taman, sedangkan bunga potong merupakan bunga yang biasa digunakan untuk keperluan dekorasi, seperti untuk dekorasi di pesta pernikahan atau acara-acara seremonial lainnya. 

Konsumen bunga di Cihideung/Djoko Subinarto

Untuk menuju Desa Cihideung, kita bisa menggunakan rute Jalan Sersan Bajuri, yang berada persis di seberang Terminal Ledeng, yang menghadap ke Jalan Setiabudi, tak jauh dari gerbang utara Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dulu bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Bisa juga kita menggunakan jalur Cihanjuang, Kota Cimahi. Ikuti saja jalan Raya Cihanjuang sampai Universitas Advent. Ambil jalan yang ke kanan, yang ke arah Lembang. Di persimpangan jalan yang mau ke arah Lembang, kembali ambil jalan ke kanan, yang menuju Cihideung.

Sepanjang jalan menuju Desa Cihideung, mata kita bakal dimanjakan dengan aneka tanaman bunga yang dipajang di kanan kiri jalan. Di hari-hari libur, tak sedikit warga luar kota yang menyambangi kawasan Cihideung dengan tujuan utama membeli bunga. Boleh dibilang tanaman bunga adalah yang selama ini menghidupi sebagian besar penduduk Desa Cihideung. Hidup matinya sebagian besar penduduk desa ini bergantung pada budidaya bunga.

Akan tetapi, sesungguhnya ada hal yang lebih penting yang menentukan denyut nadi kehidupan Desa Cihideung. Jika ditelisik lebih jauh, sesungguhnya bukan bungalah yang semata-mata menghidupi sebagian besar penduduk Desa Cihideung. Namun, sebuah mata air yang dinamai sebagai Irung-irung.

Pertanyaannya adalah: “Apa istimewanya Irung-irung?” Dalam Bahasa Sunda, irung bermakna hidung. Maka Irung-irung berarti (1) hidung-hidung, (2) menyerupai hidung. Sumber mata air di Desa Cihideung dinamai Irung-irung karena sumber air itu keluar dari dua buah lubang batu cadas yang selintas mirip hidung.

Lokasi Irung-irung ini, berada di sisi barat laut dari arah Desa Cihideung. Untuk bisa sampai Irung-irung, kita harus berjalan menyusuri galengan (pematang) sungai kecil yang berujung pada sebuah sudut di mana Irung-irung ini bisa kita temukan. Air pegunungan yang jernih dan terasa adem tampak memancar dari kedua lubang Irung-irung. Menurut penuturan salah seorang penduduk yang penulis temui ketika sedang menyabit rumput untuk pakan ternak, tidak jauh dari lokasi mata air, gelontoran air dari Irung-irung inilah yang menjadi sumber utama bagi para petani bunga di Cihideung untuk mengairi lahan-lahan bunga mereka.

Keramaian acara/Djoko Subinarto

Jika sampai sumber air ini rusak atau kering, dapat dipastikan seluruh petani bunga Cihideung akan kesulitan untuk mengairi lahan bunga mereka. Artinya, sumber utama penghidupan mereka sebagai petani dan penjual bunga akan mati. Maka, mengingat betapa pentingnya keberadaan Irung-irung ini, secara tradisi dan turun-temurun, penduduk Desa Cihideung rutin menggelar ritual pembersihan irung-irung alias ngalokat Irung-irung.

Ritual ngalokat Irung-irung sudah berlangsung sejak tahun 1938. Ritual ini diawali dengan pembacaan doa oleh salah seorang sesepuh desa yang dilakukan di depan irung-irung dan disaksikan oleh warga sekitar. Setelah itu, bunga tujuh rupa dan air kelapa muda ditumpahkan ke sumber air. Tidak ketinggalan, dalam ritual ini dilakukan pula penyembelihan seekor domba berbulu hitam.

Kemudian, ritual dilanjutkan dengan acara silih simbeuhan yaitu saling siram atau saling guyur air di antara sesama warga. Makna yang terkandung dalam kegiatan silih simbeuhan ini yaitu bahwa manusia harus rela saling berbagi satu sama lain, baik dalam suka maupun dalam duka. Usai silih simbeuhan, biasanya dilanjutkan dengan menampilkan sejumlah kesenian tradisional seperti tari sasapian dan tari ketuk tilu.

Ngalokat irung-irung/Djoko Subinarto

Beberapa hari sebelum acara ngalokat Irung-irung dilaksanakan, dilakukan pula acara bersih-bersih selokan dan saluran air, baik di sekitar Irung-irung maupun di sepanjang jalan Desa Cihideung. Pada intinya, ritual ngalokat Irung-irung bertujuan selain sebagai bentuk rasa syukur kepada Yang Maha Pencipta, juga untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan.

Ritual ngalokat sumber air seperti yang dilakukan warga Cihideung masih pula dipertahankan di sejumlah desa di Jawa Barat. Pada dasarnya, ngalokat sumber air adalah tradisi warisan leluhur di Jawa Barat yang notabene merupakan sebuah bentuk kearifan lokal dalam menjaga, merawat, melindungi dan sekaligus menghargai sumber-sumber air yang ada, khususnya sumber air permukaan. 

Lewat ritual ngalokat, kita semua diingatkan ihwal betapa pentingnya menjaga, merawat, melindungi dan menghargai sumber air permukaan karena tidak ada yang paling penting sesungguhnya bagi kelangsungan kehidupan manusia selain tersedianya pasokan air yang memadai. Kapan pun dan di mana pun.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Leave a Comment