TRAVELOG

Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya

Saat melakukan perjalanan ke kota lain, salah satu tempat yang kerap saya kunjungi adalah alun-alun. Saban kali menyambangi sebuah kota, alun-alun selalu menjadi tujuan pertama saya dalam upaya menyelami denyut nadi kehidupan kota tersebut. 

Di alun-alun, setidaknya saya bisa merasakan esensi dari keberadaan sebuah kota. Bagaimana orang-orangnya berinteraksi, bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari, dan bagaimana ruang publik ini menciptakan hubungan antara individu dengan lingkungan sekitar.

Tentu saja, setiap orang yang datang ke alun-alun memiliki tujuan yang beragam. Namun, semuanya agaknya bertemu dalam satu titik, yakni keinginan untuk merasakan momen yang sederhana tetapi bermakna. 

Contohnya, ada yang datang cuma untuk berolahraga, ada yang sekadar jalan-jalan, ada yang beristirahat sambil menikmati suasana sekitar, dan ada pula yang mencari hiburan. Aktivitas yang beragam ini menunjukkan betapa alun-alun adalah ruang inklusif, yang menerima siapa saja tanpa pandang usia, status, atau latar belakang. 

Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya
Pengendara melintas di depan Alun-alun Manonjaya/Djoko Subinarto

Alun-alun Manonjaya

Begitu pula dengan Alun-alun Manonjaya, di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang saya kunjungi beberapa waktu lalu. Ketika matahari baru saja mulai menampakkan parasanya, Alun-alun Manonjaya mulai dipenuhi oleh warga dari berbagai kalangan.

Suara riuh rendah mereka berbaur dengan derap langkah kaki dan raungan mesin kendaraan, hingga tawa anak-anak yang bercampur dengan udara pagi yang segar. Menciptakan atmosfer pagi tersendiri. Sebagaimana alun-alun pada umumnya, Alun-alun Manonjaya berada di lokasi yang sangat strategis. Ia berada persis di pinggir Jalan Raya Manonjaya–Banjar.

Di sebelah barat alun-alun ini, berdiri Masjid Agung Manonjaya yang legendaris. Masjid Agung Manonjaya bukan sekadar bangunan ibadah, melainkan saksi bisu sejarah panjang Tasikmalaya yang dulunya bernama Sukapura. Berdiri anggun sejak tahun 1837, dengan arsitektur klasiknya, masjid ini kiwari menjadi ikon Manonjaya.

Atapnya bertumpang tiga, menjulang ke langit seolah hendak meraih rahmat Ilahi, dengan mustaka tembaga yang konon berasal dari Masjid Pamijahan peninggalan Syekh Abdul Muhyi. Tiang-tiangnya—dahulu 29 buah, kini menjadi 61—menopang ruang suci seluas hampir seribu meter persegi, tempat doa dan harapan para jemaah bermuara.

Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya
Masjid Agung Manonjaya yang bersejarah/Djoko Subinarto

Dilengkapi Dua Gawang

Alun-alun Manonjaya ini cukup khas. Bagian utama alun-alunnya merupakan lapangan sepakbola berumput alami. Lengkap dengan dua gawang terpasang di sisi barat dan timur. Di depan masing-masing gawang, dominasi tanah tampak lebih menonjol daripada rumput. Buntutnya, saat hujan turun, di depan kedua gawang ini bakal lebih becek ketimbang bagian lain lapang yang lebih berumput.

Track khusus berlapis batu andesit halus mengelilingi lapang sepakbola Alun-alun Manonjaya. Minggu pagi itu, saya melihat lumayan banyak warga yang memanfaatkan track khusus ini untuk melakukan aktivitas jalan pagi maupun joging ringan. 

Di beberapa sudut alun-alun, sejumlah pedagang makanan dan minuman menggelar barang dagangannya. Tak sedikit dari mereka yang baru menyelesaikan jalan kaki maupun joging langsung merapat ke penjual makanan dan minuman.

Sementara itu, di sisi barat alun-alun, tak jauh dari gawang sepakbola, penjaga penyewaan motor dan mobil kecil mainan sibuk melayani anak-anak yang hendak menyewa untuk dipakai wara-wiri di tengah lapangan sepakbola.

Di tengah lapangan, beberapa kelompok anak berlarian. Sebagian anak terlihat sedang bermain bola menggunakan bola plastik. Adapun beberapa anak yang lain asyik bermain kejar-kejaran. Tawa dan teriakan mereka membelah pagi, laksana melodi kebebasan yang tak terganggu oleh gawai atau jadwal padat orang dewasa. Dan di wajah-wajah polos itu, bisa jadi tersimpan ingatan akan masa kecil orang-orang dewasa. Saat kebahagian cukup digenggam dengan tersedianya sebidang tanah lapang dan teman-teman untuk berlari tanpa beban.

  • Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya
  • Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya

Tak Pernah Benar-benar Kosong

Namun, seiring udara pagi yang sejuk mulai berganti menjadi lebih panas lantaran matahari semakin tinggi, satu per satu anak-anak yang bermain di lapangan sepak bola itu orang mulai meninggalkan kawasan Alun-alun Manonjaya. Begitu juga orang-orang dewasa yang berjalan kaki maupun joging mengitari alun-alun, satu per satu mulai beranjak pergi.

Namun, meskipun mulai dihinggapi sepi, Alun-alun Manonjaya ini tak pernah benar-benar kosong tanpa aktivitas. Di beberapa sudut, sejumlah petugas kebersihan berseragam kaus biru mulai bekerja. Mereka berpatroli untuk mengumpulkan sampah demi sampah yang berserakan di sudut-sudut lapangan alun-alun. Pemandangan tersebut adalah gambaran dari peran yang selama ini mungkin tak terlihat dari mereka yang bertugas menjaga agar ruang publik—seperti Alun-alun Manonjaya ini—tetap bersih dan terawat. 

Sebagaimana pepatah kuno Inggris mengatakan, “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others. Dalam hal ini, para petugas kebersihan adalah mereka yang melayani dengan cara yang paling sederhana tetapi penuh makna.

Pada akhirnya, alun-alun—di kota mana pun—adalah ruang yang mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati kerap bersemayam dalam kesederhanaan. Sebagai ruang publik, ia menjadi tempat untuk kembali ke inti kehidupan, yakni dengan menikmati waktu bersama orang-orang terkasih, larut dalam momen tanpa tergesa, dan menemukan kedamaian yang tumbuh dari hal-hal yang tampak remeh tetapi bermakna.

Dalam semangat seperti itulah, kita mungkin teringat pada pesan lembut yang terpatri dalam bait lagu Let It Be dari The Beatles, berupa sebuah ajakan untuk membiarkan segalanya mengalir sebagaimana adanya. Tak perlu dipaksakan, tak perlu diburu-buru. Dan di ruang seperti alun-alun itulah, kita perlahan belajar untuk benar-benar hadir dalam diam, dalam tawa, dan dalam rasa syukur yang tulus.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Avatar photo

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin