Masyarakat Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah akrab dengan jambe atau pinang. Pinang dijadikan sebagai salah satu bahan sekapur sirih, sebuah tradisi yang menjadi syarat dalam upacara-upacara adat seperti pernikahan.

Sekapur sirih adalah tradisi sejak zaman nenek moyang. Ia adalah ramuan penghangat, penguat gigi, sekaligus pengikat tradisi. Berbeda dari Jawa, di mana kebiasaan menyirih sudah mulai hilang ditelan zaman sehingga hanya generasi tua yang melakukan, di Jambi, misalnya di daerah Kerinci dan Merangin, kapur sirih masih digemari, tidak hanya oleh kaum tua melainkan juga kawula muda, baik yang sudah betunak (menikah) atau belum.

Komposisi kapur sirih adalah beragam bahan herbal yang menyehatkan, yakni gambir, kapur, daun sirih, tembakau, dan pinang.

kapur sirih
Satu set kapur sirih/Annise Rohman

Barangkali karena kurang ekonomis untuk diproduksi massal, hingga saat ini belum ada produsen yang menyediakan kapur sirih siap makan. Alhasil, para penyirih meramu bahan-bahan kapur sirih secara mandiri. Daun sirih, daun gambir, pinang, dan tembakau, semuanya didapat dari alam sekitar; tanah subur kaya humus sepanjang bukit barisan membuat apa pun yang ditanam tumbuh dengan baik. Sementara itu, kapur diperoleh dari batu kapur sepanjang aliran sungai. Bahan-bahan alami yang berasal dari alam itulah yang kemudian jadi simbol dan acuan bagi adat istiadat yang berkembang.

Pengalaman mengunyah sirih

Lima bulan lalu, saya bertemu para penyirih muda di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin. Semula saya hanya penasaran ingin melihat mereka menyirih. Namun, akhirnya saya pun ikut mencoba.

Dari dalam wadah anyaman pandan, saya ambil selembar daun sirih. Seorang ibu yang ada di sana menuntun saya untuk meraciknya. Susunannya ternyata: daun sirih, daun gambir kering, kapur, dan irisan pinang. Setelah itu sekapur sirih itu dilinting dan dimakan.

Rasanya adalah getir, pahit, pengar, dan pedas yang bercampur jadi satu. Walaupun menahan rasa ingin muntah, saya terus mengunyahnya. Lama-kelamaan, rasa getir, pahit, pengar, dan pedas itu menghadirkan sensasi kebas.

kapur sirih
Foto bersama saat mengunyah kapur sirih/Annise Rohman

Begitu mendapatkan warna merah hasil sari kunyahan kapur sirih, sang ibu menawarkan tembakau. Ia bahkan memperlihatkan cara menyesap tembakau. Jadi, sejumput tembakau diambil dari wadahnya, lalu diselipkan di ujung bibir dan diapit dengan gigi, lalu disesap. Tapi, saat itu saya enggan mencobanya, sebab saya masih sibuk menahan sensasi kebas dan pedas yang belum hilang.

Menurut sang ibu, rasa tembakau yang pedas-hangat melengkapi rasa “nano-nano” dari kapur sirih. Namun, meskipun tidak mencoba tembakau, saya sudah langsung merasakan manfaat kapur sirih. Saat itu bibir saya sedang terserang sariawan parah. Bahkan gusi saya juga ikut-ikutan sariawan. Berkat rasa kebas dari mengunyah kapur sirih, sariawan saya pun terobati.

Pengikat budaya dan alam

Di Jambi, kapur sirih menjadi sarana penerimaan terhadap orang luar yang datang dan juga sapa hormat kepada pemuka adat. Dalam upacara-upacara adat di Desa Rantau Kermas atau desa-desa marga Serampas, kapur sirih wajib ada.

Kapur sirih dihidangkan untuk perwakilan pengantin, wajib dikunyah dan disesap. Jika itu sudah dilakukan, genap sudah penghormatan yang diberikan. Sang tamu telah mencicipi hasil bumi yang direpresentasikan oleh sekapur sirih. Tuan rumah, sebaliknya, menyambutnya dengan mengunyah sirih.

Sebagai penghormatan pada tetua, biasanya orang tua adat yang lebih dulu mengunyah dan menyesapnya. Lalu, pihak yang meminta juga mengikuti. Selesai menyesap, barulah obrolan dibuka dan disebutkanlah tujuan yang diminta.

kapur sirih
Sekapur sirih dalam wadah anyaman pandan/Annise Rohman

Dari budaya kapur sirih, saya juga melihat kreativitas lokal. Seluruh wadah sirih adalah buatan tangan (handmade) dan produk “daur-ulang” dari benda-benda seperti wadah krim rambut. Ibu-ibu menganyam sendiri daun pandan menjadi lembaran persegi panjang berukuran 15×30 cm dengan kait tali sebagai pengikat. Daun sirih diletakkan di anyaman pandan tersebut, sementara gambir ditaruh dalam wadah plastik, disisipkan di atas, kemudian digulung. Sementara itu, kapur dan tembakau ditaruh dalam wadah krim secara terpisah. Melengkapi wadah-wadah itu, setiap penyirih membekali diri dengan pisau kecil untuk memotong pinang.

Kaya manfaat

Kaya zat baik, sekapur sirih jadi semacam obat herbal.

Daun sirih (Piper betle L.) disebut-sebut punya segudang manfaat, misalnya menguatkan gigi, menangkal kanker, menyembuhkan luka, menjadi antiseptik, menurunkan berat badan, dan masih banyak lagi. Daun gambir atau Pale catechu juga memiliki banyak faedah. Ia bisa menjadi obat diare dan mengatasi plak gigi, mencegah kanker kulit, dan lain-lain.

jambi
Kapur sirih jadi salah satu syarat dalam upacara-upacara adat/Annise Rohman

Kapur, yang berasal dari batugamping, manfaatnya adalah mengobati sakit tenggorokan dan mencegah kanker. Pinang atau Areca catechu diyakini bisa mengobati gangguan pencernaan, mengatasi cacingan, menghentikan perdarahan, melindungi gigi, mengatasi bau mulut, dan membantu mengobati glaukoma.

Bahan terakhir, yakni tembakau (Nicotiana tabacum) adalah pasta gigi alami, obat sakit gigi, eksim, dan pilek. Selain itu, tembakau juga jadi penghangat tubuh di wilayah dataran tinggi.

Dengan berbagai bahan alami berkhasiat, tak heran kalau sekapur sirih bisa bikin sariawan saya sembuh. Untuk kamu yang sedang terjangkit sariawan atau sakit, saya rekomendasikan untuk menyirih. Tidak ada salahnya mencoba “obat herbal” dari Bumi Indonesia. Lagipula, bahan-bahan sirih bisa kamu beli di toko rempah-rempah di pasar tradisional terdekat dari tempatmu.

Jadi, selamat mencoba menyirih.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar