Kami beranjak pelan-pelan meninggalkan Lamboya menuju ke Timur Sumba. Tujuan berikutnya adalah Lapopu.
Bang Son mengendarai mobil perlahan. Jalanan mulus hingga Waikabubak. Dari Waikabubak, kami menuju tenggara, bertemu jalan-jalan rusak. Perut sedikit mual, terentak-entak. Kata Bang Son, sudah biasa jalan begini.
Kami sampai di Lapopu tengah hari. Dari kejauhan, dari tempat kami parkir, suara gemercik air mengundang untuk segera mencari asalnya. Kami ditemani seorang pemandu, laki-laki yang tak lagi muda. Setelah jembatan bambu, Lapopu berdiri. Megah, tinggi menjulang. Air terjun puluhan meter itu punya laguna yang besar namun cukup dangkal.
Ketika tiba di hadapan Lapopu, kami semua sibuk dengan prioritas masing-masing. Buat Ver, Val, dan Niko, itu adalah berkodak demi urusan konten; bagi saya adalah mandi dan berenang. Hampir sejam saya hilir mudik, melompat, menyelam, salto depan dan belakang, hingga akhirnya lelah bermain.
Saya menghampiri Bang Son dan sang pemandu di pinggir kolam. Sang pemandu lalu bercerita soal bencana yang terjadi setahun lalu di Lapopu. Dua sejoli, bule, datang bertandang, kemudian berenang di Lapopu. Entah karena apa, mereka memutuskan untuk berhubungan badan di Lapopu, kemudian tertangkap basah oleh seorang pemandu. Pemandu itu melaporkan hal tersebut ke pihak desa. Dua sejoli tersebut meminta maaf dan berjanji untuk segera meninggalkan Lapopu. Tapi orang desa tak tenang, takut pada tulah, takut kualat pada Lapopu yang menjadi sumber mata air bagi mereka dan bagi banyak desa lainnya. Bencana tak dapat dibendung, tulah pun datang. Tak lama setelah itu, longsor terjadi di Lapopu. Batu-batu dan batang-batang besar berjatuhan, menutupi kolam, menjadikan Lapopu dangkal dan rusak. Masyarakat harus berbondong-bondong membersihkan tempat ini kembali, memindahkan reruntuhan pohon, mengguling batu-batu. Kala masyarakat sibuk mengeluarkan keringat, mungkin dua sejoli kulit putih itu sedang bercinta di air terjun, pantai, atau tempat-tempat terbuka lain entah di mana—atau mungkin mereka justru sudah belajar sesuatu dari kejadian itu?
Kami pun meninggalkan Lapopu. Bang Son memacu mobil dengan kencang demi mengejar matahari terbenam di Bukit Warinding. Kami melintasi Manupeu Tanah Daru dengan tergesa. Sebagian dari kami memang terlalu memuja peristiwa terbit dan tenggelamnya matahari. Kami sampai di Warinding sedikit terlambat dari perkiraan. Tapi, dalam sore yang telah jatuh, di atas Warinding sejauh mata memandang adalah daratan berpunuk-punuk, merah, diterpa matahari yang sebentar lagi hilang. Matahari begitu dekat dan begitu indah dari Warinding.
Kami melanjutkan perjalanan ke Waingapu. Di pelabuhan kota kami berhenti untuk makan malam. Di salah satu gerai warung seafood yang menggoda kami memesan ikan, cumi, dan siput gonggong. Selesai makan, kami menuju penginapan di Bukit Morinda dan tidur dengan lelap.
Hari-hari berikutnya kami lalui dengan sedikit lebih santai dan seperti rutinitas. Kami menuju Air Terjun Tanggedu, berenang dan makan siang, minum air kelapa bersama mama-mama.
Saya ingat betul perjalanan ke Tanggedu, tentang hamparan sabana tak berujung, jalanan berbatu kapur yang memisahkan gunung dan laut, dan tanah-tanah yang sebagiannya sudah dipatok rantai grup hotel-hotel besar. Sementara, kuda-kuda kurus digembalakan. Di rumah-rumah kayu, babi dan ayam mengaso, istirahat di hari yang panas. Ladang-ladang tembakau bersinar hijau di antara rumput sabana yang cokelat kemerahan.
Selesai dari Tanggedu, dalam perjalanan pulang kami berhenti di Puru Kambera. Sapi dan kuda ramai merumput. Bangkai besar sapi yang mati, mungkin karena sakit, ditinggalkan begitu saja di tengah padang, menambah kesan magis sore yang merah di Puru Kambera itu.
Esoknya kami mendatangi Air Terjun Lakolat. Setelah trekking sekitar setengah jam, kami tiba di Lakolat yang rupanya lebih besar dan terjal dari Tanggedu. Batu-batu sungai besar di sana mulus seperti diamplas, namun berlubang-lubang.
Waktu makan siang, Bang Son banyak bercerita tentang pengalamannya menjadi supir, juga bagaimana corona berdampak kepadanya. Selesai makan, kami menuju Bukit Tenau untuk kembali melepas matahari. Air terjun dan matahari tenggelam adalah rutinitas di Sumba—namun saya tidak mengeluh sedikit pun untuk itu. Malamnya kami berjalan jauh ke bawah untuk menginap di Pantai Wera. Sepasang bule Prancis, pemilik Wera Beach Club, menjadi tuan rumah kami malam itu.
Saat sarapan, saya mengobrol panjang dengan Nadine, sang istri. Nadine menghabiskan waktu yang panjang di Bali, kemudian memutuskan untuk membuka penginapan di Sumba. Nadine bercerita tentang tanah pantai Sumba yang telah habis, dibeli orang dari mana saja. Ini adalah tahun terakhir Nadine di Sumba. Mereka akan menjual propertinya dan kembali ke Avignon, selatan Prancis. Suami istri itu akan kembali menjadi tukang kayu, membangun rumah, seperti yang mereka lakukan sebelum menginjak Sumba. Nadine mencium pipi kami satu-satu sebelum berpisah; suaminya yang kekar melambaikan tangan dari kejauhan.
Bang Son mengajak kami melihat sebuah desa adat yang tak terlalu jauh dari Wera, namanya Rende. Sepi. Sepi sekali ketika kami tiba di Rende. Hanya ada babi dan anjing yang tengah berjemur di halaman. Pelan-pelan satu-dua anak bermunculan hingga jadi kerumunan.
Saya mengobrol dengan anak-anak usia SD dan SMP itu. Saya begitu terkejut dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, misalnya: “Berapa mobil yang kakak punya?” dan pertanyaan-pertanyaan lain tentang Jakarta. Jakarta sepertinya adalah kemegahan bagi mereka, tempat semua hal terjadi, tempat semua hal dipertunjukkan. Saya ingin berceramah tentang kepercayaan saya bahwa mereka pun dilimpahi dengan banyak nikmat, dengan alam indah tiada tara, tentang Jakarta yang juga kotor, yang busuk, namun saya simpan. Saya tidak berada dalam hidup mereka. Saya tidak menjalani satu hari pun menjadi mereka. Saya tidak punya satu hal pun yang bisa membenarkan saya untuk mengambil kesimpulan bahwa hidup saya lebih baik dari mereka.
Siang hari kami menuju Waimarang, air terjun kesekian yang saya hampiri di Sumba. Saya selalu menikmati perjalan menelusuri setapak sambil bercengkerama dengan Ver dan Val—atau dalam diam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Laguna Air Terjun Waimarang seperti kolam renang. Kami berenang dan bersalto dan berkenalan dengan pemuda-pemuda Alor yang sedang mampir. Dari Waimarang, kami pergi lebih jauh ke Pantai Watuparunu. Kami sampai di Watuparunu malam hari. Tak ada lagi tamu selain kami. Malam itu kami menginap di Costa Beach Resort, di Pantai Watuparunu, ditemani angin kencang.
Hari berikutnya adalah hari terakhir kami di Sumba. Saya sudah membuka mata pagi-pagi, dibangunkan sinar matahari terbit yang masuk lewat sela-sela tirai bambu. Saya membangunkan Ver dan Val, lalu sarapan. Setelah sarapan, saya mengajak Ver berenang dan mengobrol panjang. Sementara Val membaca buku di kamar. Ini adalah kedua kalinya saya melanglang panjang dengan Ver, setelah bersama menghabiskan liburan tahun baru di Jawa Timur. Saya percaya bahwa melakukan perjalanan bersama bikin saya dan Ver bisa kenal lebih dalam dengan diri masing-masing.
Siang hari, setelah check-out, kami menuju Waingapu. Di tengah perjalanan kami singgah di Pantai Walakiri. Pohon Bakau menari yang bikin Walakiri dikenal sekarang jumlahnya makin berkurang. Beberapa studi menduga itu karena manusia yang berjejalan menginjak-injak pasir di sekitar pohon bakau; tanah jadi padat dan pohon-pohon susah bernapas. Sebagian besar bakau itu mati, tumbang, dan meranggas. Mungkin pandemi memberi pohon-pohon bakau itu waktu untuk istirahat, mengambil napas lega dan panjang.
Kami pulang setelah matahari terbenam di Manupeu Tanah Daru.
Epilog
Sumba mungkin adalah salah satu perjalanan yang cukup berarti buat saya. Sumba mengingatkan saya pada Belitung, pada saudara-saudara saya yang jauh di barat, miskin di tanah sendiri, miskin di tumpukan karunia alam. Tapi, lebih jauh saya mungkin salah mengartikan miskin, mengartikan terbelakang dan tertinggal. Mungkin banyak hal yang tidak perlu diselaraskan, disamaartikan, apalagi hanya dalam kacamata pembangunan berkelanjutan.
Sumba tidak hanya memberikan matahari yang indah tiada tara, pantai-pantai yang begitu mengundang, dan air terjun dan sabana yang menakjubkan, tapi juga memberikan saya ruang, untuk mengenal diri sendiri, untuk mengenal pasangan saya, untuk mengenal pejuang seperti Asty Kulla, mama-mama, dan Bang Son.
Amato, Humba. Nanti beta bale lai.
Bagian kedua dari seri Mengulang Waktu di Timur: Sumba. Bagian pertama dapat dibaca di tautan ini.
Memuja makanan, juara mengeluh, dan kadang meneliti.
1 Comment