Bila kita mengunjungi pemakaman di kompleks Masjid Agung Demak, selain makam-makam para raja Demak, kita juga akan mendapati makam seorang tokoh yang di nisannya tertera nama “Kanjeng Raden Pangeran (KRP) Natas Angin”. Namun, sejauh ini, tak banyak yang tahu siapakah tokoh ini? Apa jasa dan kiprahnya bagi Kesultanan Demak?

Buku berjudul Sunan Ngatas Angin (Pangeran Penatas Angin): Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Pepali yang ditulis RT Supriyo Dwijodipuro dan diterbitkan oleh Hanum Publisher (Cetakan pertama, Desember 2024) ini boleh dibilang merupakan buku pertama yang mengupas riwayat hidup dan kiprah Pangeran Penatas bagi Kesultanan Demak.

Menggali Riwayat Hidup dan Jejak Perjuangan Pangeran Penatas Angin
Sampul buku Sunan Ngatas Angin karya RT Supriyo Dwijodipuro/Badiatul Muchlisin Asti

Apa dan Siapa Pangeran Penatas Angin?

Nama KRP Natas Angin, atau dalam buku ini disebut Sunan Ngatas Angin atau Pangeran Penatas Angin atau Syekh Maulana Penatas Angin, adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Gowa di Somba Opu, Makassar, Sulawesi Selatan, yang lahir pada 1498. Nama aslinya tidak diketahui, tapi populer disebut Daeng Mangemba Nattisoang.  

Daeng Mangemba Nattisoang adalah putra dari raja kesembilan Gowa Karaeng Tumapa’risi’ Kalonna yang memerintah Kerajaan Gowa pada 1491–1527. Ibunya bernama I Malati Daeng Bau’, putri salah seorang pembesar Kerajaan Tallo yang tinggal di daerah Marusu’.

Masa kecil Pangeran Penatas Angin hidup dalam lingkungan keluarga Kerajaan Gowa yang taat pada agama leluhur. Sejak kecil, Pangeran Penatas Angin sudah tekun mempelajari berbagai macam ilmu olah kanuragan. Guru pembimbingnya adalah pamannya sendiri, Daeng Pomatte’.

Saat usinya tujuh tahun, ia sering diajak pamannya pergi ke suatu tempat yang dilalui angin kencang, berjurang terjal di antara bukit-bukit yang menjulang tinggi di dekat pantai Selat Makassar. Di tempat itulah, Pangeran Penatas Angin ditempa pamannya sebuah ilmu yang kelak sangat lekat dengan kehidupannya. 

Berkat ketekunannya, pada usia sembilan tahun, Pangeran Penatas Angin sudah berhasil menguasai ilmu yang disebut dengan istilah “ilmu menghalau angin”. Kemampuan itulah yang menjadikannya kemudian populer dengan nama Daeng Maengemba Nattisoang yang berarti “pangeran yang menghalau angin”.

Berguru ke Sunan Kalijaga dan Mengabdi di Kerajaan Demak

Perjumpaan Pangeran Penatas Angin dengan Kiai Sulasi—utusan Sultan Fattah (Raja Demak)—yang dikirim ke Kerajaan Gowa dengan misi membangun sekutu bagi armada Demak dalam rangka menggempur Portugis di Malaka secara besar-besaran, membuat arah hidup Pangeran Penatas Angin berubah. 

Pangeran Penatas Angin memantapkan hati untuk hijrah ke Demak. Ia meninggalkan tanah kelahiran dan sanak keluarganya, meninggalkan segala kemewahan dunia sebagai putra raja, juga meninggalkan tradisi spiritual yang sangat pekat diwarnai oleh ketaatan pada ajaran kepercayaan leluhur di Kerajaan Gowa secara turun-temurun. 

Tekad untuk hijrah ke Demak direstui ayahnya, hingga kemudian Pangeran Penatas Angin pun memantapkan diri hijrah ke Demak. Atas saran Kiai Sulasi, jika Pangeran Penatas Angin ingin mempelajari Islam, sebaiknya ia berguru kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.

Pangeran Penatas Angin menyetujui saran Kiai Sulasi. Hanya saja, untuk bisa berjumpa dengan Sunan Kalijaga bukan perkara mudah. Sebab, ketika itu Sunan Kalijaga sering pindah-pindah tempat untuk syiar Islam.

Sebelum menuju Demak, Pangeran Penatas Angin sempat singgah di Tegal setelah mendapatkan kabar keberadaan Sunan Kalijaga di Tegal. Namun, karena tidak juga menjumpai Sunan Kalijaga, akhirnya Pangeran Penatas Angin melanjutkan perjalanan ke Demak untuk menemui Sunan Kalijaga.

Singkat cerita, Pangeran Penatas Angin pun berjumpa dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga berkenan menerima Pangeran Penatas Angin sebagai muridnya setelah melewati ujian tertentu.

Setelah mendapatkan tempaan ilmu dari Sunan Kalijaga, selanjutnya Pangeran Penatas Angin diperintahkan oleh Sunan Kalijaga untuk mengabdi di Kerajaan Demak serta menunjukkan darma baktinya bagi kejayaan Kerajaan Demak. Pangeran Penatas Angin pun memenuhi titah sang guru.

Selama mengabdi untuk Kerajaan Demak, banyak jasa dan kiprah yang ditorehkan oleh Pangeran Penatas Angin, antara lain ikut memperkuat Laskar Pati Unus dalam penyerangan Portugis di Selat Malaka. Pada momentum ini, Pangeran Penatas Angin berjasa menyelamatkan armada Demak dari amukan badai di Selat Berhala berkat kemampuan navigasinya dalam “menghalau” angin, sehingga armada Demak selamat dan dapat melanjutkan perjalanan hingga ke Selat Malaka.

Pada era Pati Unus sebagai Sultan Demak, Pangeran Penatas Angin diangkat menjadi senapati perang Kerajaan Demak atas dasar kemampuan yang dimilikinya. Jabatan itu berlanjut hingga Pati Unus wafat dan digantikan Sultan Trenggono. Sebagai senapati perang, Pangeran Penatas Angin tentu banyak terlibat dalam berbagai peristiwa penaklukan sejumlah kerajaan.

Menggali Riwayat Hidup dan Jejak Perjuangan Pangeran Penatas Angin
Pangeran Penatas Angin dikenal memiliki kemampuan navigasi hebat sehingga bisa menghalau angin dan menyelamatkan kapal yang diterjang badai/Badiatul Muchlisin Asti

Pergi Haji dan Tapak Tilas Ibnu Batutah

Sepeninggal Sultan Trenggono, terjadilah intrik perebutan takhta Kerajaan Demak. Setelah Kerajaan Demak runtuh dan berakhir, Pangeran Penatas Angin meminta izin kepada sang guru, Sunan Kalijaga, untuk uzlah—meninggalkan urusan duniawi dan fokus pada urusan ukhrawi.

Oleh Sunan Kalijaga, Pangeran Penatas Angin disarankan untuk terlebih dahulu pergi haji ke tanah suci Mekah dan Madinah. Pangeran Penatas Angin pun memenuhi saran sang guru. Selesai berhaji, Pangeran Penatas Angin bukannya segera pulang ke Tanah Jawa, melainkan meneruskan perjalanan ke utara menyeberang Laut Merah, hingga ke Mesir, Libya, Aljazair, dan kemudian berhenti di Maroko (Maghribi).

Perjalanan itu dilakukan oleh Pangeran Penatas Angin dalam rangka tapak tilas perjalanan lbnu Batutah, seorang pengelana Muslim dari Maroko, yang pada tahun 1345 M pernah mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai (Aceh sekarang).

Pangeran Penatas Angin bermukim di Maroko sampai dua tahun lamanya. Pangeran Penatas Angin bertempat tinggal di masjid kuno yang pada zaman dulu sering digunakan lbnu Batutah untuk iktikaf. Selama dua tahun di masjid Maroko, Pangeran Penatas Angin memperbanyak ibadah, sujud, dan bertafakur untuk lebih menghayati pengabdiannya kepada Allah. Konon, sampai sekarang tempat pasujudan Pangeran Penatas Angin di masjid kuno itu dianggap keramat oleh sebagian penduduk setempat. Adapun lokasi pasujudan Pangeran Penatas Angin terletak di belakang pengimaman sebelah kiri.

Uzlah ke Grobogan Hingga Wafat

Setelah dua tahun bermukim di Maroko, Pangeran Penatas Angin pulang ke Jawa dan kembali menemui Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga kemudian menyarankan agar Pangeran Penatas Angin pergi dan uzlah dari Demak ke arah tenggara hingga menemukan tempat yang cocok di hatinya. Di tempat tersebut, Pangeran Penatas Angin harus mengamalkan ilmu untuk syiar agama Islam.

Berangkatlah Pangeran Penatas Angin menjalankan perintah sang guru. Pangeran Penatas Angin berjalan ke arah tenggara sampai akhirnya menemukan daerah yang cocok di hati, yaitu daerah yang sekarang disebut Dukuh Tahunan—saat ini masuk wilayah Desa Putatsari, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. 

Pangeran Penatas Angin bermukim di kampung tersebut selama sekitar 17 tahun. Di kampung itulah, Pangeran Penatas Angin menyiarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat dan para santri yang berdatangan dari berbagai penjuru. 

Tahun 1588 M, bertepatan dengan 10 Muharam 1009 H, Pangeran Natas Angin wafat pada usia 90 tahun. Ia dimakamkan satu lokasi dengan makam raja-raja Demak di kompleks Masjid Agung Demak. 

Menggali Riwayat Hidup dan Jejak Perjuangan Pangeran Penatas Angin
Seorang peziarah sedang berdoa di makam Pangeran Penatas Angin di kompleks Masjid Agung Demak./Badiatul Muchlisin Asti

Menariknya, selain makam Pangeran Penatas Angin di kompleks Masjid Agung Demak, buku ini juga menyebutkan makam Pangeran Penatas Angin di tempat lainnya, yaitu Dukuh Tahunan, Grobogan—tempat Pangeran Penatas Angin uzlah dan menyiarkan agama Islam. Di makam ini, haul Pangeran Penatas Angin diadakan setiap tanggal 17 Muharam.

Makam mana yang lebih valid dan shahih? Wallahu a’lam. Terlepas pula dari kemungkinan sejumlah data historis yang perlu diakurasi dan divalidasi lagi, tetapi buku karya wakil ketua Masyarakat Pemerhati Sejarah Demak (MPSD) dan ketua Bidang Spiritual Paguyuban Keluarga Abdi Dalem Keraton Surakarta Hadiningrat (Pakasa) ini layak dibaca. Setidaknya mengisi kekosongan literasi terkait riwayat hidup dan legasi tokoh penting zaman dahulu, yang selama ini seperti asing dan nyaris tak pernah disebut dalam setiap percakapan sejarah imperium Demak.

Buku ini tidak hanya berupaya mengungkap riwayat hidup Pangeran Penatas Angin—yang di kemudian hari dikenal pula dengan nama Sunan Ngatas Angin atau Syekh Maulana Penatas Angin—sejak lahir hingga wafat, tetapi juga mengupas jejak perjuangan, kiprah dakwah, jasa-jasanya kepada Kesultanan Demak, serta warisan berupa pepali (ajaran) yang sarat makna adiluhung.


Judul: Sunan Ngatas Angin (Pangeran Penatas Angin), Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Pepali
Penulis: RT Supriyo Dwijodipuro
Penerbit: Hanum Publisher
Cetakan: Pertama, Desember 2024
Tebal: viii + 74 halaman
ISBN: 978-623-7725-40-4


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar