Aku seorang alumni dari salah satu universitas negeri di Sumatera Utara. Pagi itu, aku ke kampus untuk mengurus beberapa hal. Alih-alih menunggu “kejelasan” di kampus, aku tiba-tiba berniat mengelilingi tempat-tempat bersejarah di Kota Medan, Kota “Ini Medan Bung”.
Kali ini aku tidak sendiri. Aku bersama seorang mahasiswa dari universitas yang sama. Namanya Mamat. Aku mengenalnya dari salah satu organisasi jurnalis kampus. Setelah mengenakan helm, kami pun melaju meninggalkan kampus yang identik dengan warna hijau tersebut.
Menara Air Tirtanadi
Lokasi pertama kami tuju yakni Menara Air Tirtanadi di Jalan Sisingamangaraja. Selama empat tahun menempuh pendidikan di sini, aku belum pernah ke sini. Padahal, bisa dibilang Menara Air Tirtanadi merupakan salah satu ikon Kota Medan.
Kami tiba di sana setelah dua puluh menit berkendara. Usai memarkirkan motor dan melepas helm, kami melangkah menuju pos penjagaan. Di hadapan Satpam, Mamat menjelaskan maksud tujuan kami mengunjungi Menara Air Tirtanadi. Aku lalu menukarkan KTP dengan sebuah name tag sebagai tamu sebelum Satpam membawaku bertemu seseorang di sebuah kantor untuk mendapatkan izin kunjungan.
Menara Air milik Tirtanadi dibangun tahun 1906, merupakan tangki penyimpanan air bersih sejak zaman kolonial Belanda. Konstruksi bangunan tua dengan ketinggian 42 meter ini memiliki arsitektur yang khas, dan menurutku mirip mercusuar di pinggir laut. Perpaduan warna bata dan oranye identik dengan bangunan Belanda. Pak Satpam mengatakan bahwa hingga sampai saat ini menara tersebut masih berfungsi sebagai tangki penyimpanan air bersih.
Terdapat beberapa pohon rindang di sekitar menara, aku dan Mamat sejenak istirahat di bawah pepohonan karena langit semakin cerah. Ku lihat jam di ponsel sudah menunjukkan pukul sebelas. Kami pun beranjak setelah berpamitan.
Istana Maimun
Motor kembali menyusuri Kota Medan menuju sebuah istana identik dengan warna kuning yang melambangkan kebijaksanaan atau kearifan, yakni Istana Maimun. Selain itu, warna kuning juga melambangkan corak Melayu. Nama Maimun sendiri diambil dari nama permaisuri Sultan Deli Makmun Al Rasyid yaitu Maimunah. Maimun berasal dari bahasa Arab yang artinya berkah, dan didirikannya Istana tersebut sebagai bukti cinta sultan pada istrinya.
Kalau beruntung, kita bisa melihat penampilan lagu melayu lengkap dengan alat musiknya yaitu akordeon. Cara memainkan alat musik akordeon adalah dengan menarik dan mendorong untuk mengatur pergerakan udara yang kemudian akan menghasilkan suara.
HTM ke dalam istana Rp5.000 saja, per orang. Namun karena terhimpit oleh waktu, kami hanya menghabiskan waktu di lapangan Istana.
Beberapa anak-anak terlihat bermain di lapangan rumput hijau yang luas; ada yang bermain bola, lalu beberapa remaja sedang mengambil potret di depan istana. Aku dan Mamat juga mengabadikan kebersamaan kamiseperti turis sedang meliput kearifan lokal nusantara.
Dari kejauhan terlihat seekor kuda sedang makan rerumputan di bawah pohon, aku menghampirinya. Lucu sekali pikirku, entah sejak kapan ada seekor kuda cokelat gradasi putih tersebut bermukim di istana.
Masjid Raya Al Mahsun
Kali ini tempat yang kami kunjungi Masjid Raya Al Mahsun. Lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Istana Maimun. Menggambarkan saksi kehebatan suku Melayu dari kesultanan Deli Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam di tahun 1906 dan selesai pada tahun 1909. Arsitekturnya khas Timur Tengah dengan perpaduan India serta Spanyol. Prinsip sang sultan, membangun tempat ibadah lebih megah dibanding kemegahan istananya sendiri.
Masjid berbentuk segi delapan dan memiliki sayap di bagian selatan, timur, dan utara ini mampu menampung hingga 1.500 jemaah. Bentuk kubahnya pipih, terdapat bulan sabit di puncaknya. Seni lukis cat minyak tumbuhan dan bunga melekat dan menghiasi di dinding masjid.
Letaknya yang strategis juga memudahkan siapa saja untuk bisa berkunjung dan beribadah. Aku dan Mamat menyempatkan untuk beribadah terlebih dahulu sebelum melanjutkan lokasi selanjutnya.
***
Hari semakin cerah, aku dan Mamat melipir ke parkir dan memutuskan kembali lagi ke kampus untuk menyelesaikan urusanku—yang sebenarnya tak selesai. Setelah menyelesaikan semuanya, perjalanan destinasi akan berlanjut setelah waktu Asar.
Jalanan kiri dan kanan mulai dipenuhi pengendara, sudah waktunya jam pulang kerja. Aku dan Mamat akhirnya sampai di Lapangan Merdeka. Kami memarkirkan motor dan berjalan menuju sebuah bangunan tua.
Kantor Pos Indonesia
Kantor Pos Indonesia, bangunan tua yang kokoh berdiri di jantung kota ini menjadi saksi atas sejarah perjalanan Kota Medan pada zaman kolonial Belanda. Kantor Pos Indonesia berdiri sejak ratusan tahun lalu, masih berfungsi hingga saat ini dengan tulisan “ANNO 1911,” yang artinya tahun 1911. Gedung ini menjadi salah satu kawasan heritage di Kota Medan dan masih berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
***
Langit kian gelap, aku dan Mamat kembali menuju tempat parkir setelah menikmati langkah demi langkah di jantung Kota Medan. Hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan berkeliling di Kota Medan akhirnya selesai.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Anggi Kurnia tinggal di tanah kelahiran Batak. Saat ini selain sibuk memasak, Anggi menyukai petualangan dan dunia travelling serta menulis.
1 Comment