Mencari jejak manuskrip kuno di suatu desa merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Namun, hal itu tidak terjadi ketika saya mencari keberadaan manuskrip di Desa Billapora Barat, Ganding, Sumenep. Selain langsung menemukan empunya manuskrip, jumlah yang saya dapati dalam perbendaharaan desa juga tidak main-main, yaitu sebanyak 53 manuskrip.

Mudahnya manuskrip di desa yang berada di pelosok Sumenep ini ditemukan, tidak terlepas dari kesadaran para ahli waris terkait nilai historis yang terkandung di dalam manuskrip itu sendiri. Dalam perjalanannya, kesadaran akan konservasi manuskrip kuno tumbuh pada pertengahan tahun 2020, ditandai dengan kiriman status Facebook salah seorang ahli waris, yaitu Lora Badrus Shaleh, atau lebih beken dipanggil Raedu Basha. Ia adalah pengasuh Ponpes Darussalam Billapora, sekaligus penyandang titel “Sastrawan Santri”. 

Lewat status tersebut, Lora Badrus menunjukkan “gerbung”, sejenis peti tua yang kerap dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang pusaka. Gerbung itu merupakan peninggalan leluhurnya, yang konon memiliki kemiripan dengan gerbung yang berada di Keraton Sumenep. 

Gerbung itu berisi manuskrip-manuskrip kuno, dan berada di rumah induk (rumah sesepuh) keluarganya yang kurang mendapatkan perawatan. Karenanya, tak mengherankan jika saat gerbung dibuka, kondisi manuskrip cukup mengkhawatirkan. Debu menempel di antara lembar manuskrip yang tercecer dan campur aduk dengan kitab kuning, dan buku lainnya. Beberapa bahkan tampak hilang di sejumlah bagiannya, baik karena aus dimakan zaman maupun karena raib dalam perut rayap.

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Sertifikat terhadap kumpulan manuskrip Agung Darma Billapora/Fathurrozi Nuril Furqon

Upaya Konservasi Manuskrip Agung Darma

Puncak konservasi terjadi pada pertengahan Agustus 2023, saat seluruh elemen keluarga besar Agung Darma di Billapora mencapai satu suara untuk menyelamatkan manuskrip-manuskrip pusaka keluarga. Mereka bersepakat untuk menggandeng tim DREAMSEA, BRIN, dan Hamburg University dalam proses malih rupa manuskrip, yang awalnya berbasis kertas menjadi dokumen digital. 

Proses malih rupa memakan waktu tiga hari. Selama itu, tim menginap di rumah Haji Djumali, salah satu ahli waris Agung Darma yang kediamannya berada dekat dengan rumah induk. Dalam rentang itu pula, dari total 53 manuskrip di rumah induk, 36 manuskrip berhasil dilakukan digitalisasi. Sisa dari jumlah tersebut merupakan manuskrip-manuskrip yang telah demikian rusak, sehingga tidak memungkinkan untuk digitalisasi. 

Manuskrip-manuskrip yang terselamatkan mayoritas merupakan mushaf Alquran. Lebih dari itu merupakan manuskrip-manuskrip berupa kitab keagamaan, primbon, kumpulan catatan, surat-surat, ilmu wayang, ilmu gramatikal Arab, mamaca dalam berbagai bahasa (Jawa, Madura, Belanda, Cina, dan Arab), serta amalan-amalan.

Manuskrip-manuskrip tersebut ditulis dalam aksara Arab, Jawa/Carakan Madura, dan pegon. Kertas yang dipakai merupakan kertas daluang dan kertas Eropa. Lalu, terdapat ruang kosong dalam seluruh manuskrip yang berfungsi sebagai tempat menuliskan catatan, yang umumnya berupa doa-doa. Poin terakhir inilah yang menjadi ciri khas utama dari manuskrip Agung Darma.

Sebenarnya jumlah keseluruhan manuskrip dalam perbendaharaan keluarga besar Agung Darma, lebih dari jumlah tertera di atas. Selain terdapat manuskrip yang raib dan rusak, terdapat pula beberapa manuskrip yang dibawa oleh anggota lain keluarga besar. Mereka tersebar di berbagai penjuru Madura, bahkan Jawa. 

Proses pencarian manuskrip-manuskrip itu merupakan pekerjaan yang teramat sulit, karena Agung Darma merupakan tokoh yang hidup lebih dari 200 tahun lalu. Anak-anaknya yang berjumlah 10 orang kemudian menyebar ke berbagai daerah. Maka, mengidentifikasi keturunan Agung Darma merupakan sesuatu yang mendekati kemustahilan. Sebab, dalam hal silsilah keluarga, pengetahuan terkait itu hanya diwariskan secara oral atau lisan, dan jarang sekali ada keluarga yang menuliskan bagan kekerabatannya dalam bentuk tulisan. Hal demikian tidak terkecuali dialami oleh keluarga besar Agung Darma.

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Informasi tentang tempat lokakarya BLKK Darussalam Billapora Timur/Fathurrozi Nuril Furqon

Manuskrip dalam Tarikh

Terkait jumlah manuskrip yang bisa dikatakan “melimpah”, peran sosok Nyai Raden Ayu Sumiro Ing Sumenep atau Gung Sumi tidak bisa diabaikan. Beliau adalah cicit Sunan Giri yang hidup pada abad ke-17 Masehi. Alkisah, pada tahun 1636 M, Giri Kedaton diserang oleh Kesultanan Mataram Islam di bawah komando Pangeran Pekik dari Surabaya. Penyerangan yang membuahkan kekalahan Giri Kedaton itu menimbulkan kegusaran bagi para anggota keluarga besar Sunan Giri, tak terkecuali Gung Sumi.

Mendapati tidak ada lagi masa depan cerah di Giri Kedaton, Gung Sumi memutuskan lari ke Madura, tepatnya ke sebuah daerah yang kelak bernama “Billapora”. Saat itu, Billapora masih berupa alas, dan hanya ditempati oleh beberapa orang saja. Orang-orang tersebut nonmuslim. Memang, saat Gung Sumi datang, Madura masih belum seluruhnya tersentuh tangan-tangan suci para dai, dan juga kerajaannya berada di bawah hegemoni penguasa yang belum sepenuhnya memprioritaskan Islam. Keadaan itu menggerakkan jiwa pendakwah dalam diri Gung Sumi. 

Jerih payah Gung Sumi dibayar tuntas dengan masuk Islamnya enam orang di Billapora. Mereka bernama Uni, Uti, Uli, Ulha, Tera, dan Terak. Bersama mereka, Gung Sumi memulai pembabatan alas di Billapora untuk didirikan pemukiman warga. 

Lalu dari mana asal manuskrip-manuskrip tersebut? Menurut Lora Badrus, sebagian manuskrip merupakan koleksi Giri Kedaton yang dibawa Gung Sumi saat terjadinya penaklukan. Sebagian lainnya, merupakan hasil pemikiran Gung Sumi sendiri.

Khazanah itu kemudian diwariskan turun-temurun sampai ke cucunya, Agung Darma. Pada masa Agung Darma, koleksi manuskrip bertambah karena ia mendapat hadiah beberapa manuskrip dari sultan Islam pertama di Kerajaan Sumenep, Sultan Abdurrahman Pakunataningrat. Memang hubungan antara keduanya begitu harmonis. Agung Darma yang bernama asli Abdillah merupakan penasihat Sultan Abdurrahman.

Keseluruhan manuskrip kemudian ditaruh di rumah Agung Darma, bukan rumah Gung Sumi. Beberapa manuskrip pun diimbuhi dengan tulisan yang menyebutkan bahwa manuskrip itu adalah kepunyaan Agung Darma. Dari sana, penamaan Manuskrip Agung Darma pada manuskrip-manuskrip di rumah induk keluarga Lora Badrus, bisa dirunut asal mulanya.

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Kegiatan membatik oleh para santri di BLKK Darussalam Billapora Timur/Fathurrozi Nuril Furqon

Keunikan Manuskrip

Manuskrip Agung Darma menunjukkan beberapa perbedaan antara disiplin keilmuan di zamannya dan disiplin keilmuan modern. Itu ditunjukkan lewat manuskrip tentang gramatikal Arab, yang menurut Lora Badrus terdapat perbedaan antara materi nahwu shorrof di manuskrip dengan materi serupa di kitab-kitab kontemporer. Lalu di kitab tentang amalan-amalan, terdapat beberapa ilmu yang tidak bisa ditemukan lagi saat ini, sebagai misal; amalan membuat pencuri tersesat.

Dari itu semua, yang paling fenomenal barangkali ditemukannya bentuk wayang kuno dalam salah satu Manuskrip Agung Darma. Menurut Agus Iswanto, salah satu peneliti BRIN yang terlibat dalam digitalisasi manuskrip, wayang tersebut berbeda dengan wayang-wayang lain di Nusantara, dan baru ditemukan di Billapora. Wayang itu memiliki bentuk dasar seperti wayang di Jawa, dengan salah satu tangan tokoh wayang digambarkan sedang memegang pedang—hal yang jarang ditemukan pada bentuk wayang lain. Lalu, dalam wayang Billapora, wajah tokoh wayang tidak digambarkan dengan detail. Sebagai gantinya, wajah tokoh wayang digambarkan memakai penutup wajah serupa zirah. Detail lainnya terletak pada gambar baju tokoh wayang yang mana tidak memakai pakaian era kerajaan kuno Jawa, tetapi memakai pakaian bermotif kotak-kotak.

Temuan itu, mengusik jiwa kreatif dalam diri Lora Badrus untuk memanifestasikan gambar-gambar dan ornamen-ornamen dalam manuskrip menjadi batik. Sejak disadarinya keberadaan Manuskrip Agung Darma di rumah induk, ia mulai merintis produk batik bernama Batik Gung Sumi. Dasar pemikirannya begitu sederhana, seperti yang ia sampaikan, “Mereka makek batik, tau terhadap sejarah desa, selesai.”

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Contoh gambar sketsa wayang Billapora/Fathurrozi Nuril Furqon

Malih Rupa Manuskrip Jadi Batik

Awalnya, batik Gung Sumi hanya menampilkan corak yang merupakan adaptasi dari ornamen-ornamen penghias pinggiran kertas manuskrip. Namun, sejak ditemukannya Wayang Billapora pada tahun 2023, ia mulai berimprovisasi dengan menambahkan gambar wayang itu ke dalam batik-batik yang ia buat. Proses pembuatan batik pun mengalami transformasi. Dari yang awalnya menggunakan teknik batik celup, berubah menggunakan teknik batik tulis. Alasannya karena sebelum 2023 gambar di manuskrip begitu abstrak sehingga tidak mudah ditiru. Namun, ketika digitalisasi telah rampung, gambar pun menjadi lebih jernih.

Dalam proses produksinya, batik Gung Sumi sebagai usaha yang baru dirintis tidak dijadikan semacam pabrik yang terus menuntut diproduksinya barang dalam jumlah tertentu selama periode tertentu pula. Sebagai jalan keluar, ia memberdayakan santri-santrinya untuk mengikuti pelatihan membatik. Pelatihan dilaksanakan pada pukul 13.00-15.00 WIB, kadang pula malam. Batik itu diselesaikan dalam jangka waktu kondisional, dengan waktu paling cepat setengah bulan. 

Pembuatan batik pertama-tama melewati proses pembuatan desain atau pola batik terlebih dahulu. Desain dibuat di atas kertas kope’an (layangan), lalu dijiplak ke kain katun jenis primisima. Jika telah selesai, maka batik siap ditulisi lewat proses nyanting. Batik yang telah ditulisi kemudian melewati tahap pewarnaan.

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Pembuatan sketsa batik Billapora/Fathurrozi Nuril Furqon

Harga satuan batik Gung Sumi dibanderol dari harga Rp300.000 hingga Rp500.000. Untuk proses pemasaran, Lora Badrus bekerja sama dengan Universitas Indonesia, almamater istrinya, Ny. Iffah Hannah. Berdasarkan ceritanya, batik Gung Sumi telah tersedia di UI Store dan Kopma UI. Selain itu, batik Gung Sumi juga akan diikutsertakan dalam bazar budaya di UI. 

Ikhtiar Lora Badrus melestarikan Manuskrip Agung Darma lewat Batik Gung Sumi merupakan proses yang tidak akan selalu berjalan lancar. Dalam fase perintisan, memang masih belum banyak yang bisa ia tunjukkan kepada khalayak ramai. Namun, jika ia istikamah melangkah, maka cita-citanya untuk menjadikan Billapora masyhur dengan budayanya, lambat laun pasti tercapai jua.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar