Siang ini saya punya janji dengan hantu. Tapi bukan yang mengerikan seperti pocong atau kuntilanak. Yang satu ini adalah hantu laut, yakni hiu paus yang berkeliaran di sekitar Kwatisore, perairan Teluk Cendrawasih, Papua.
Sekian lama menanti perjumpaan dengan hiu paus, saya tak pernah menyangka bahwa rasa deg-degannya akan separah ini. Rasanya seperti janjian sama Chelsea Islan. Hati berdebar-debar, salah tingkah, takut pula.
Hiu paus atau yang juga dikenal sebagai gurano bintang ini memang sudah lama berkeliaran di Kwatisore. Bahkan menurut cerita orang-orang tua, dahulu jika melihat sang hantu laut melintas, masyarakat setempat akan langsung menghentikan aktivitas dan diam menunggu sampai mereka pergi. Tujuannya satu, yaitu agar tidak tertimpa sial.
Namun seiring perkembangan zaman, mitos-mitos mulai ditinggalkan. Cara masyarakat untuk menghormati gurano bintang pun sudah berganti. (Apalagi sekarang adalah masa ketika orang-orang sudah mulai berani adu nyali dengan hantu.) Ikan seukuran minibus ini kemudian menjelma atraksi wisata. Banyak pejalan penasaran untuk menyaksikan langsung keindahan corak gugusan bintang yang menghiasi tubuh hiu paus yang legendaris itu.
Saat bersiap-siap untuk bertemu sang hantu laut, imajinasi saya tentangnya sudah melayang ke mana-mana. Andai saja di Kwatisore ada sinyal internet tentu sudah banyak video dan artikel yang saya lahap. Tapi jangankan akses internet, untuk SMS atau menelepon saja susah. Entah perlu berapa periode kepresidenan lagi agar akses komunikasi di tempat ini bisa lancar.
Tentu saja saya tidak sendirian menemui hiu paus, melainkan bersama tim peneliti dari WWF dan Balai Taman Nasional Teluk Cendrawasih. Kami berangkat ke sana menumpang Gurano Bintang, kapal milik WWF yang dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan dan penelitan. Perairan Wasior dan Kwatisore adalah wilayah jelajahnya. Kapal-motor kayu berbobot mati 34 ton, panjang 23 meter, dan lebar 5,3 meter serta didominasi warna kuning dan merah itu membelah laut Teluk Cendrawasih yang tenang menuju salah satu dari sekian banyak bagan ikan di kawasan itu.
Bagan adalah perahu yang panjangnya tak sampai 20 meter. Di sisi kanan dan kirinya terpasang jaring-jaring raksasa. Bagan bisa dipindah-pindah. Mobilitasnya itu membuat bagan sekalian disulap menjadi tempat tinggal selama di laut. Uniknya, nelayan bagan justru adalah orang-orang yang berasal dari luar Kwatisore. Sebagian besar dari Sulawesi. Para nelayan bisa tinggal berminggu-minggu di tengah laut untuk mencari ikan puri yang kemudian akan dijual di Nabire.
Dahulu hiu paus suka berpindah-pindah untuk mencari makanannya, yaitu ikan kecil dan plankton, sehingga keberadaannya sulit untuk diketahui. Tapi semenjak bagan-bagan ikan puri bermunculan di wilayah Kwatisore, hiu paus mulai sering muncul di kawasan itu. Karena bagan puri menyediakan ikan-ikan kecil, hiu paus kemudian menganggap bahwa tempat itu merupakan lokasi untuk mencari makan. Secara instingtif, mereka akan datang ke bagan untuk memamah puri-puri sisa yang dilempar oleh nelayan bagan.
Tercatat ada 135 ekor hiu paus yang sekarang berkeliaran di sini. Selama ini nelayan memang tidak terlalu terganggu oleh kehadiran hiu paus. Bahkan bisa dibilang sekarang nelayan dan hiu paus sudah menjalin simbiosis mutualisme. Hiu paus mendapatkan makanan, sementara nelayan memperoleh penghasilan tambahan dari wisatawan yang mampir ke bagan dan membeli ikan puri untuk dilemparkan pada gurano bintang.
Aturan dalam melihat hiu paus cukup ketat, sebab ikan ini termasuk hewan yang dilindungi. Apalagi Teluk Cendrawasih juga adalah kawasan taman nasional. Sebelumnya kami memang sudah melakukan briefing terlebih dahulu tentang cara melihat hiu paus. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat ingin menemui si besar nan bersahabat ini, di antaranya adalah menjaga jarak, tidak menyentuh, dan tidak membuat gerakan tiba-tiba.
Kapal Gurano Bintang berlabuh agak jauh dari bagan. Kami menghampiri bagan dengan perahu kecil. Melihat kedatangan kami, nelayan yang sedang berjaga di bagan seperti paham dan langsung mempersiapkan seember ikan puri.
Ada dua hiu paus yang sedang berenang-renang. Mereka hanya berputar-putar saja, seperti sengaja bermain-main di sekitar bagan. Jika dilihat dari atas, gurano bintang tampak seperti ikan lele raksasa yang panjangnya setengah dari ukuran bagan. Sang nelayan mulai menuangkan wadah berisi ikan puri agar hiu paus mendekati bagan. Benar saja, ia mendekat. Mulutnya yang besar dan ompong terbuka lebar. Ia menengadah ke atas seakan paham bahwa ia akan mendapat jatah makan. Sang nelayan tampak seperti tuan yang sedang mengurus peliharaan. Hanya saja peliharaannya kurang lazim, yakni seekor hiu.
Meskipun hiu paus yang juga mendapatkan predikat sebagai ikan terbesar di dunia ini hanya memakan ikan kecil dan plankton, tetap saja saya bergidik saat pertama kali melihatnya dari dekat. Benar-benar seperti melihat hantu.
Namun lama-kelamaan keberanian saya muncul. Rasa penasaran untuk mengamati tingkah lakunya yang anggun juga perlahan timbul.
Saya pun terus berusaha untuk meyakinkan diri. Ketika separuh badan sudah masuk air laut, saya menyesal. Tak peduli sejinak dan seramah apa pun hiu paus, saya tetap kalang kabut ketika ia mulai berenang mendekati saya.
Saya panik. Tak lucu kalau saya tiba-tiba pingsan dikuasai rasa panik. Kuliah singkat kiat-kiat berenang dengan hiu paus yang saya terima tadi sudah tak lagi saya gubris. Sekarang yang penting adalah berenang sejauh mungkin dari dia.
Tapi saya masih curi-curi pandang. Jika diperhatikan dari dekat, hiu paus yang kami temui ini sepertinya punya banyak bekas luka. Goresan dan luka membekas di mulut, sirip, hingga badannya. Barangkali karena kena jaring atau tali kapal.
Menurut Evi, salah seorang peneliti dari WWF, masih banyak hiu paus yang mengalami kondisi serupa. Penyebabnya memang beragam, dari mulai terkena jeratan tali atau tali pancing hingga yang tersambar baling-baling kapal. Jika menemukan hal seperti itu, mau tak mau para peneliti itu mesti mendekati hiu paus dan mencoba melepaskannya dari benda-benda asing yang mengganggu. Tentu saja mereka juga sekalian mengambil foto dan mengidentifikasi hiu paus untuk keperluan penelitian. Seru juga, ya.
Ikan puri yang dilemparkan nelayan ke laut sudah mulai habis. Gurano bintang dengan gerakan lembut juga mulai menjauh dari bagan. Datang karena makan, mereka pergi karena kenyang. Masih dengan bekas-bekas luka di badan, mereka menyelam ke dalam biru.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
[…] adalah salah satu suku legendaris di Papua yang hidupnya masih begitu dekat dengan alam. Kebalikan dari orang-orang di kota yang sekarang […]