TRAVELOG

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)

Kami tidak lama di Kelenteng Eng An Kiong. Selama di tempat ini, saya dan lainnya hanya berada di bagian muka saja, alias di depan ruang utama ibadah Dewa Bumi yang terletak di tengah-tengah, diapit dua ruang ibadah lainnya yang berukuran lebih kecil. Pun, tak begitu banyak cerita yang dikisahkan Agung Buana, pemandu tur kami.

Ia menyebut Kelenteng Eng An Kiong didirikan menjelang Perang Jawa pecah, tepatnya tahun 1820. Dari segi bangunan ia menyebut, kelenteng pernah mengalami kebakaran di tahun 90-an atau tahun 2000 awal. Akibat kebakaran tersebut, kelenteng pun direnovasi dengan menggunakan material dari keramik sementara bahan asli dari kayu.

“Kita lihat, bangunan kelenteng ini didominasi warna kuning dan merah. Bagi masyarakat Tionghoa, merah itu mengandung makna kemakmuran sementara warna kuning berarti kemasyhuran,” terangnya.

Kelenteng Eng An Kiong disebut juga bangunan Tri Dharma karena menjadi tempat ibadah bagi pemeluk Buddha, Tao, dan Konghucu. Tidak hanya menyoroti tentang bangunannya saja, Agung juga menjelaskan bagaimana akulturasi kebudayaan Tionghoa dan lokal terjadi di kelenteng ini.

“Di bagian belakang kelenteng, ada gamelan, wayang, dan pertunjukan-pertunjukan yang sifatnya percampuran kebudayaan Tionghoa dan budaya masyarakat Jawa, termasuk juga budaya Madura. Ini adalah melting pot, pelelehan kebudayaan, akulturasi. Salah satu akulturasi ini tidak hanya pada bangunan, tetapi juga pada makanan.”

Salah satu akulturasi pada makanan adalah lontong Cap Go Meh. Ia mengatakan bahwa lontong berasal dari Jawa dan orang Tionghoa tidak mengenal lontong sebelumnya. Selain lontong, ada juga cwi mie dan bakso Malang. Misalnya, di bakso Malang ada siomay yang merupakan makanan Tionghoa. Adanya akulturasi dalam makanan ini tersirat makna kebersamaan dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Ruang sembahyang lainnya di Kelenteng Eng An Kiong/Dewi Sartika

Jejak Sejarah di Hotel Emma

Selesai mengisi perut di kantin, kami meneruskan perjalanan ke selatan. Kami menelusuri Jalan Martadinata. Di sepanjang salah satu ruas jalan utama Kota Malang ini deretan toko berdiri menghiasi sisi jalan. Kami sempat berhenti sebentar ketika Agung memberikan aba-aba kepada para peserta. Ia membelakangi jalan raya dan sebuah bangunan showroom mobil bekas dengan tulisan “Hotel Emma” di bagian atasnya.

Menjorok ke dalam, di samping showroom tersebut ada Hotel Emma yang berada di bagian belakang. Hampir tidak tampak sama sekali bentuk bangunan hotel. Kepada kami, Agung mulai bercerita. Dahulu, kira-kira hampir 100 tahun lalu, Hotel Emma sudah ada dan termasuk hotel terbaik di wilayah Malang sebelah timur.

“Hotel Emma termasuk hotel yang punya reputasi baik sebelum zaman Jepang. Namun, setelah Jepang masuk ke Malang, Hotel Emma menjadi hotel untuk khusus tentara Jepang yang pangkatnya bukan perwira. Jadi, prajurit-prajurit ke bawah di sini tempatnya. Banyak peristiwa yang namanya jugun ianfu. Ngambil orang-orangnya dari mana? Orang Bululawang, Kepanjen, Wonokoyo, Arjowinangun, diambillah lalu dibawa ke sini. Jadi, hotel ini punya sejarah cukup kelam saat Jepang masuk mulai tahun 1942 hingga 1945. Setelah itu jadi hotel untuk orang-orang yang melakukan transaksi perdagangan di Kota Malang,” jelasnya.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Bagian depan Hotel Emma yang digunakan sebagai showroom mobil/Dewi Sartika

Objek menarik lainnya di Jalan Martadinata membuat langkah kami terhenti lagi. Masih sederet dengan Hotel Emma yang berada di seberang jalan, sebuah rumah tua bergaya kolonial membuat mata saya tertuju kepadanya. Sayangnya, keindahan bangunan tersebut luput dari para pemakai jalan karena terhalang pagar dan tanaman yang menutupi bagian muka rumah.

“Rumahnya cantik sekali, ya. Rumahnya masih bertahan sampai sekarang. Model arsitekturnya, art deco. Coba lihat ornamen di pilar-pilarnya, ada ornamen art deco yang kental sekali di tahun 1920-an. Kedua, railing tangga, kaca patrinya juga masih bagus. Ini adalah rumah yang masih mempertahankan diri,” terang Agung.

Benar adanya kalimat terakhir yang diucapkan Agung. Sepanjang Jalan Martadinata, rumah tersebut bisa dibilang satu-satunya sampai saat ini yang masih terawat. Walaupun sebenarnya ada lagi satu atau dua rumah era kolonial di pinggir jalan ini yang juga masih berdiri. Hanya saja sebagian besar telah berubah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Salah satu rumah era kolonial yang masih utuh di Jalan Martadinata/Dewi Sartika

Tugu Lonceng, Penanda Kawasan Pecinan

Jalan Martadinata tersambung dengan pertigaan Pecinan, yaitu Jalan Kyai Tamin. Kemudian, kami berdiri di samping kompleks ruko yang berada tepat di pertigaan. Kami berada di dekat sebuah pohon dengan daun-daunnya yang besar. Saya tak tahu pohon apa ini. Beberapa orang yang melewati atau berada di jalan ini tampak memerhatikan keberadaan kami.

Dekat pohon besar tersebut ada sebuah pajangan menyerupai tugu dengan ujungnya berupa jam. Orang-orang menyebut kawasan pertigaan ini dengan sebutan kawasan Lonceng karena keberadaan tugu tersebut. Jujur, saya sempat bingung dengan sebutan ‘lonceng’ mengingat tugu itu tak memiliki lonceng pada umumnya.

“Kawasan Lonceng ini adalah penanda kawasan Pecinan. Pecinan paling selatan ditandai dengan adanya sebuah lonceng. Nah, lonceng yang dimaksud adalah sebuah tugu dengan tanda waktu atau jam. Letaknya dulu ada di tengah-tengah sini. Namun, sekarang dipindah di sini,” terang Agung sembari tangannya menyentuh tugu bercat merah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Gerbang Pecinan di Jalan Kyai Tamin yang berada persis di seberang tugu lonceng/Dewi Sartika

Ia juga menjelaskan lokasi tugu lonceng ini bergeser letaknya karena adanya pelebaran jalan. Saking terkenalnya sebutan lonceng ini, beberapa warung kuliner yang ada di sekitar Pertigaan Lonceng ini turut memakai nama lonceng, seperti tahu telur lonceng dan soto lonceng.

Kami lalu menyeberang di tengah padatnya lalu lintas di pertigaan menuju kawasan Pecinan. Kawasan ini ditandai dengan adanya gerbang di Jalan Kyai Tamin. Tak begitu jauh, ada warung soto lonceng yang menjual soto Lamongan. Sederet dengan soto lonceng, masuk ke gerbang kompleks ruko, di pagi hari ada penjual nasi buk Madura. Di pagi hari, para pembeli antri berbaris untuk membeli nasi buk ini. Namun, saat kami berada di Jalan Kyai Tamin menjelang siang, penjual nasi buk sudah membereskan dagangannya.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Salah satu kuliner terkenal yang berada di dekat Gerbang Pecinan/Dewi Sartika

Bekas Terminal Angkutan

Selanjutnya, kami belok kanan ke Pasar Besar Malang. Suasana tampak ramai meski tak sepadat hari-hari aktif. Toko-toko di sepanjang Jalan Kopral Usman banyak yang tutup. Kemudian kami mendengarkan penjelasan Agung tentang tempat ini.

“Ini adalah bagian belakang pasar. Tapi kira-kira di antara tahun 1928 sampai 1930-an, bagian belakang pasar ini adalah sebuah terminal. Jadi, pasarnya ada di bagian depan sementara di belakang ini terminal untuk mobil-mobil angkutan yang namanya demmo, bukan bemo. Demmo saat itu menjadi alat transportasi untuk perkotaan. Jadi, kalau orang belanja dari sana terus ke sini,” jelasnya. Tangannya mengarah ke bagian depan Pasar Besar.

Ia lalu menerangkan lebih lanjut bahwa terminal di belakang Pasar Besar ini dulunya dibagi menjadi dua bagian, yaitu angkutan untuk mengangkut orang yang kendaraannya memakai mesin dan dokar penumpang. Sementara dokar pengangkut barang berada di sebelah selatan Pasar Besar, tepatnya di daerah Comboran. 

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)

“Di situlah kuda-kuda dari Kepanjen, Kedungkandang, dan Bululawang berhenti di Comboran. Kudanya istirahat, disuruh makan dan minum. Ketika kudanya minum dari gentong besar, ini namanya nyombor. Makanya dinamakan Comboran,” ucap Agung Buana sewaktu menjelaskan asal-usul nama Comboran.

Perjalanan kami berlanjut melewati bagian depan Pasar Besar lalu Jalan Zainul Arifin atau lebih populer disebut Kudusan. Berikutnya, kami belok ke Jalan KH Ahmad Dahlan lalu memasuki Kampung Temenggungan sebelum tiba di titik awal pemberangkatan, Kafe Pop Mason 52. 

Sungguh, sebuah perjalanan yang lumayan melelahkan bagi saya pribadi. Saya kemudian mencoba mengingat-ingat kembali tur heritage sebelumnya yang pernah saya ikut. Rasa-rasanya tur kali ini menjadi rute terjauh yang pernah saya tempuh. Namun, rasa lelah yang mendera cukup terobati dengan pengetahuan yang didapat dari hasil menelusuri jejak sejarah sudut-sudut Kota Malang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Dewi Sartika

Dewi Sartika, ibu rumah tangga yang tinggal di Malang. Menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah dan menulis tulisan "historical fiction". Menjadi anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *