Rumah Bosscha memang tidak sepopuler Observatorium Bosscha. Observatorium yang terletak di Lembang itu selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan di akhir pekan, berbeda dari Rumah Bosscha di Pangalengan. Namun, jika ingin menelusuri kisah perjalanan Karel Albert Rudolf (K.A.R.) Bosscha, sudah sepatutnya kamu mengunjungi Rumah Bosscha.

Sebelum berkunjung ke Rumah Bosscha, aku berkeliling Perkebunan Teh Malabar terlebih dahulu. Bosscha mendirikan Perkebunan Teh Malabar tahun 1896 di lahan seluas sekitar 2.000 Ha. Perkebunan teh ini adalah salah satu yang tertua di Indonesia. Pabrik pengolahan tehnya masih beroperasi hingga saat ini.

Selain berkeliling kebun teh, aku juga menuju Bukit Nini. Ini adalah puncak perbukitan di Perkebunan Teh Malabar yang menjadi tempat favorit Bosscha. Untuk ke Bukit Nini, kita bisa menyusuri perkebunan teh atau melewati jalan untuk kendaraan bermotor.

Jalan menuju Bukit Nini/Rivai Hidayat

Di puncak Bukit Nini terdapat sebuah gazebo yang bisa digunakan untuk menikmati pemandangan berupa hamparan kebun teh. Saat aku tiba, terlihat dua orang bapak-bapak yang bertugas menjaga perkebunan teh. Keduanya menyambut kedatanganku dan teman-teman dengan sangat ramah. Aku pun menyempatkan diri untuk mengobrol dengan salah seorang dari mereka. Ia bercerita banyak hal tentang Bukit Nini, mulai dari pemandangan matahari terbit di atas Bukit Nini, aktivitas perkebunan teh, jalur yang biasa digunakan kendaraan bermotor untuk mencapai puncak bukit, hingga tentang bukit ini yang ramai dikunjungi di akhir pekan untuk menikmati matahari terbit.

Gazebo di puncak Bukit Nini/Rivai Hidayat

Rumah Bosscha di Pangalengan berada di kawasan Perkebunan Teh Malabar. Rumah yang dibangun tahun 1894 di zaman kolonial ini bergaya Eropa. Karena dibangun di daerah dataran tinggi yang memiliki udara dingin, Rumah Bosscha punya langit-langit yang tidak terlalu tinggi dan dilengkapi dengan cerobong asap. Tujuannya agar rumah tetap hangat. Semua barang di rumah ini merupakan peninggalan Bosscha. Semuanya terawat dengan baik, termasuk piano Zeitter & Winkelmann buatan 1837 yang masih bisa dimainkan.

Aku bertemu dengan salah seorang petugas keamanan yang menjaga Rumah Bosscha. Sudah lebih dari lima tahun ia bekerja di sini. Rumahnya juga berada di sekitar Perkebunan Teh Malabar. Pak Ujang bercerita banyak hal tentang Rumah Bosscha dan Perkebunan Teh Malabar, mulai dari kondisi rumah, makam Bosscha yang terletak tidak jauh dari sana, pengelolaan dan alih fungsi lahan perkebunan, penggunaan gunting untuk memetik daun teh, hingga beberapa wisatawan mancanegara yang datang ke Rumah Bosscha.

Siang itu aku melihat satu rombongan turis mancanegara datang ke Rumah Bosscha. Menurut petugas keamanan tersebut, hampir tiap bulan selalu ada wisatawan dari Belanda yang singgah ke rumah ini untuk makan siang dan berziarah ke leluhur mereka. Bangsa Belanda memang sangat menghormati leluhur mereka, salah satunya dengan cara mengunjungi gedung-gedung peninggalan Belanda yang tersebar di berbagai daerah.

Rumah Bosscha dengan pekarangan rumput yang luas/Rivai Hidayat

Rumah Bosscha dan Perkebunan Teh Malabar sekarang dikelola oleh PTPN VIII. Ada beberapa kamar yang bisa disewa oleh masyarakat umum. Terkadang Rumah Bosscha digunakan sebagai tempat gathering. Jika langit sedang berpihak, pengunjung bisa trekking ke Bukit Nini untuk menikmati pemandangan matahari terbit dan hamparan Perkebunan Teh Malabar.

Nama Bosscha memang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan Kota Bandung pada zaman dulu. Banyak hal yang telah dilakukannya demi perkembangan Kota Bandung, semisal ikut mendirikan Technische Hoogeshool te Bandoeng (sekarang ITB) dan merintis pembangunan Observatorium Bosscha. Berkat jasa-jasanya, K.A.R. Bosscha dianugerahi penghargaan sebagai Warga Utama Kota Bandung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar