“Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh jelas keinginannya. Jelas siapa yang dituntut dan siapa yang menggugat. Di Indonesia, kami akrab dengan kekisruhan dan kekacauan tetapi tak tahu siapa kawan dan siapa lawan.”
Sebelumnya, saya telah membaca dua buku karya Leila S. Chudori, yaitu Laut Bercerita dan Namaku Alam. Kedua buku ini berhasil membawa saya tenggelam dalam perasaan pahit dan situasi mencekam yang terjadi di Indonesia pada masa lalu.
Setelah membaca keduanya, saya memutuskan untuk membagikan pandangan saya tentang Pulang. Sebuah karya yang kembali mengajak saya menyelami kerinduan yang mendalam. Bukan sekadar keinginan untuk kembali ke tanah kelahiran, melainkan juga usaha menemukan kembali bagian diri yang hilang dalam perjalanan hidup.
Buku ini bercerita tentang Dimas Suryo, seorang jurnalis yang terpaksa mengungsi ke Paris setelah peristiwa 1965, yang kita kenal sebagai Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Peristiwa tersebut mengubah hidupnya secara drastis, memaksanya meninggalkan tanah air dan hidup dalam keterasingan. Melalui perjalanan Dimas dan tokoh-tokoh lainnya, Leila S. Chudori menggali esensi kerinduan terhadap tanah air, pencarian identitas, dan keterasingan yang tak terhindarkan.
“Kalau aku mampus, tangisku/ yang menyeruak dari hati/ akan terdengar abadi dalam sajakku/ yang tak pernah mati.” (Pulang, Jakarta, 10 Juni 1998)

Rindu yang Hidup dalam Kenangan
Pulang bukan hanya tentang pengasingan fisik, melainkan juga tentang pengasingan emosional. Meskipun Dimas tinggal jauh di Paris, kerinduannya terhadap Indonesia tak pernah padam. Baginya, tanah air bukan sekadar lokasi geografis, melainkan juga bagian dari dirinya—menyatu dalam ingatan, kenangan, dan identitas. Kerinduan itu begitu nyata ketika Dimas mengingat rumah, keluarga, dan teman-temannya yang tertinggal di Indonesia. Meski Paris menawarkan kebebasan, rasa terasing dan kesepian tetap menghantuinya.
Ada satu kutipan yang sangat menggugah hati saya: “…entah bau tanahnya setelah terkena rintik hujan, atau buah-buahan tropis yang ganjil bentuk dan warnanya, atau perempuan Solo yang berbicara dengan ritme begitu lamban dan berirama, atau tukang becaknya yang otoriter dengan telunjuk mengacung ke atas setiap kali hendak menyebrang jalan hingga kendaraan berhenti dengan patuh” (hal. 231).
Kutipan ini menangkap bagaimana rindu seringkali hadir dalam hal kecil dan sederhana. Tidak sekadar nostalgia akan tempat, tetapi juga suasana dan pengalaman nyata yang berbentuk kenangan. Sebagai anak rantau, saya merasakan hal serupa. Rindu yang datang tanpa aba-aba, mungkin dari suara angin, aroma tertentu, atau sekadar kilasan pemandangan yang membangkitkan memori akan rumah. Rindu itu tak pernah benar-benar pergi, karena ia hidup dalam hal-hal kecil yang terus menghubungkan kita dengan tempat yang kita cintai.

Menjelajahi Kerinduan Dimas Suryo
Kerinduan Dimas bukan hanya tentang Indonesia sebagai tempat, melainkan juga tentang masa lalu yang tak bisa kembali. Ia bertanya-tanya, apakah Indonesia yang ia rindukan masih ada? Atau apakah tanah airnya telah berubah menjadi sesuatu yang asing? Perasaan ini begitu mendalam, karena meskipun ia tinggal di Paris, kebebasan yang ada di sana tidak bisa menggantikan perasaan kehilangan yang menghantuinya.
Salah satu kutipan yang menurut saya menggambarkan perasaan Dimas dengan sangat tepat itu ada di halaman 74: “Jika di pinggiran Peking Merah berarti bahagia atau revolusioner, maka untuk warga Indonesia berarti warna sungai dan darah yang mengalir sia-sia.”
Di sini, merah bukan hanya warna, melainkan juga simbol luka sejarah yang membekas. Dimas menyaksikan bagaimana perubahan di Indonesia terjadi secara drastis, menghapus banyak hal yang dulu ia kenal dan cintai. Ia merindukan Indonesia yang penuh harapan, tetapi kini ia harus menerima kenyataan bahwa tanah airnya telah berubah. Ini adalah pengalaman universal bagi siapa pun yang terpaksa meninggalkan tempat asalnya dan kembali untuk menemukan bahwa semuanya tak lagi sama.

Sejarah yang Membatasi Kerinduan
Salah satu kekuatan terbesar dalam buku Pulang adalah bagaimana Leila S. Chudori meramu kerinduan ini dalam konteks sejarah Indonesia. Dimas tidak hanya terpisah secara fisik dari Indonesia, tetapi juga oleh peristiwa politik yang mengubah segalanya.
Peristiwa 1965 membuatnya terusir, dan ketika ia kembali, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa sejarah telah membentuk ulang tanah airnya, membuatnya terasa asing bahkan bagi mereka yang pernah tinggal di sana. Sesuai dengan kutipan pada halaman 287: “Sesuai dengan sejarah: jenderal yang diseret dan disiksa, lalu dicemplungkan ke dalam Lubang Buaya. Dan itu salah Partai Komunis Indonesia. Juga salah keluarga PKI dan saudara-saudara PKI. Termasuk anak-anak keluarga PKI yang baru lahir atau bahkan yang belum lahir tahun 1965. Semua dianggap berdosa.”
Sejarah menciptakan batas antara mereka yang “dapat kembali” dan mereka yang tidak lagi diakui sebagai bagian dari Indonesia. Dimas dan banyak tokoh lain dalam buku ini hidup dalam keterasingan yang tidak mereka pilih, menjadi korban dari narasi sejarah yang membungkam banyak suara.

Pulang: Lebih dari Sekadar Kembali
Dalam Pulang, Leila S. Chudori menunjukkan bahwa pulang bukan hanya soal kembali ke tempat yang kita tinggalkan. Pulang juga berarti menghadapi kenyataan bahwa tempat itu mungkin telah berubah, dan kita pun sudah berbeda. Dimas harus menerima bahwa rumah yang ia rindukan mungkin tak lagi ada, atau setidaknya tak seperti yang ia ingat.
Leila S. Chudori menggambarkan perjalanan Dimas sebagai perjalanan batin yang penuh ambivalensi. Kerinduan yang ia rasakan bukan hanya tentang tempat, tetapi juga tentang identitas yang terpecah antara dua dunia yang sangat berbeda. Pulang, dalam konteks ini, menjadi lebih dari sekadar perjalanan fisik—melainkan upaya memahami diri sendiri dalam sejarah yang telah mengasingkan dirinya.
Bagi Dimas, dan bagi banyak orang yang mengalami keterasingan akibat sejarah, pulang adalah perjalanan yang tak pernah benar-benar selesai. Meskipun ia kembali ke Indonesia, ia tetap terombang-ambing antara masa lalu dan masa kini, antara harapan dan kenyataan. Pulang adalah kisah tentang rindu yang tak pernah mati, tentang mencari rumah dalam diri sendiri, dan tentang menerima bahwa terkadang, rumah yang kita cari mungkin sudah berubah atau bahkan tak lagi ada.
Leila S. Chudori dengan cermat menggambarkan perjalanan batin ini dengan sangat mendalam. Buku ini mengajak kita merenungkan arti rumah, tanah air, dan identitas—serta bagaimana sejarah membentuk perasaan kita terhadap tempat yang kita sebut rumah.
Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Cetakan Pertama: Desember 2012
Cetakan Keduapuluh Enam: Desember 2023
Cetakan Keduapuluh Tujuh: Februari 2024
Penyunting: Christine M. Udiani
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tebal: xiv + 461; 13,5 x 20 cm
ISBN 13: 978-602-424-275-6
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Sedang bernafas di Bali. Senin - Sabtu sibuk bekerja, tetapi setiap pagi menyisihkan waktu sejam untuk duduk sambil ngopi dan bengong. Sesekali membaca dan lebih sering menulis.