TRAVELOG

Mendaki “Seven Summits” Gunung Merbabu (2)

Tiba-tiba saja Eko pulih. Sakit kepala semalam berangsur menghilang. Cuaca pun bersahabat, meski sedikit berangin. Lampu-lampu kota di Magelang, Semarang, dan Salatiga tampak. Artinya, kami bisa mencoba kesempatan mendaki ke tujuh puncak Merbabu.

Jelang subuh, Minggu (1/6/2025), ratusan pendaki berbondong-bondong menyusuri jalan setapak ke puncak-puncak Merbabu. Derap langkah mereka memecah keheningan, uap napas tampak jelas keluar dari mulut mereka. Beberapa di antaranya menyapa saat melewati tenda kami. Keramaian seperti ini sudah jadi konsekuensi pendakian akhir pekan. Kuota hariannya saja penuh. Thekelan mendapat jatah sekitar 350-an orang per harinya. Sama seperti Selo dan Suwanting. Sementara Wekas biasanya maksimal di 300 orang, itu pun cenderung sepi.

“Aman, Ko?” saya memastikan. Katanya, “Insyaallah aman.” Kami pun mempersiapkan bekal muncak. Hanya berbekal tas ransel kecil, berisi roti tawar, selai, biskuit, buah jeruk, P3K, air minum, dan jas hujan.

Sekitar pukul 4 subuh, kami bertiga mulai meninggalkan camp. Berjalan selangkah demi selangkah di atas tanah yang masih basah. Trek awal menanjak zig-zag, sebuah medan yang cocok untuk memanaskan otot dan pernapasan yang kendor setelah tidur beberapa jam.

Mendaki "Seven Summits" Gunung Merbabu (2)
Vandalisme yang mencemari kesakralan Watu Gubug/Rifqy Faiza Rahman

Dimulai dari puncak pertama dan kedua

Masih ada sekitar 3,8 kilometer lagi dari Pos 4 Lempong Sampan (2.570 mdpl) menuju puncak ketujuh, Triangulasi (3.145 mdpl). Masih ada kenaikan elevasi vertikal sekitar 575 meter. Masih ada, ya, kira-kira 3–4 jam lagi kami harus melangkahkan kaki. Menerobos gelap subuh hingga pagi benderang memulai hari.

Sekitar 20 menit berjalan, kami tiba di persimpangan di kawasan padang rumput terbuka. Angin masih saja unjuk gigi, meskipun saya yakin cuaca pagi itu akan aman sampai kami kembali turun.

“Kita ke kiri, Rek. Ke Watu Gubug dulu,” seru saya ke Lukas dan Eko yang jalan di depan. 

Watu Gubug (2.711 mdpl) ini adalah puncak pertama dalam rangkaian seven summits di Merbabu. Di pinggiran jurang, terdapat sebuah situs berupa batu besar menyerupai cerukan gua yang berdiri tegak dan disakralkan masyarakat setempat, dengan pagar rantai besi mengelilingi. Watu Gubug ini pula yang jadi titik pertemuan jalur Thekelan lama dan baru. Sayang sekali, ulah vandalisme begitu membekas jelas di permukaan batu. Tindakan tercela karena mengotori alam itu terpampang nyata dalam bentuk coretan nama orang atau organisasi, dengan media cat semprot (piloks).

Kami tidak berlama-lama di Watu Gubug. Pemandangan di sekitar belum terlihat jelas karena masih gelap. Dari Watu Gubug, jalur menanjak di tepian jurang berupa trap seperti anak-anak tangga dari tanah, sehingga memudahkan langkah dan tidak terlalu licin.

Tepat sebelum Pemancar, terdapat satu titik percabangan yang mempertemukan jalur Thekelan dan Cuntel. Namun, akses ke Cuntel dipalang setelah taman nasional menutup jalur ini sejak beberapa tahun lalu karena pihak basecamp sudah tidak aktif dan sepi peminat. 

Butuh waktu sekitar setengah jam untuk tiba di Pemancar. Hampir pukul 5 subuh, kami tiba di puncak yang memiliki nama asli Watu Tulis (2.897 mdpl) tersebut. Menurut Kodhex, dulu sempat ada sebuah situs arkeologi berupa batu dengan aksara Jawa kuno di kawasan puncak ini, sehingga dinamakan Watu Tulis. Namun, katanya sudah lama hilang, mungkin tersapu badai atau bisa juga akibat ulah pendaki nakal.

Ketika pihak TNI (dulu ABRI) membangun stasiun relai siaran (stasiun penyambung jaringan) lengkap dengan pemancarnya, maka tempat ini juga dikenal sebagai Puncak Pemancar, sekaligus puncak kedua dalam rangkaian seven summits Merbabu. Akan tetapi, tak lama setelah dibangun beberapa dekade silam, stasiun radio tersebut gagal berfungsi dengan baik. Masa pensiun stasiun relai ini dilengkapi dengan badai besar pada Maret 2024 yang merubuhkan menara setinggi puluhan meter itu ke jurang. Beruntung, saat itu tidak ada pendaki yang sedang camp di dekat pemancar, sehingga tidak ada korban atau kerugian yang ditimbulkan.

Mendaki "Seven Summits" Gunung Merbabu (2)
Eko berjalan di punggungan jalur Thekelan menuju Geger Sapi. Tampak di ujung bukit tenda para pendaki di kawasan Puncak Watu Tulis atau Pemancar/Rifqy Faiza Rahman

Tidak ada sapi di puncak ketiga

Hari mulai beranjak terang begitu kami meninggalkan Watu Tulis atau Pemancar. Tebing panjang kehijauan yang jadi ciri khas jalur Thekelan mulai tampak di depan mata. Orang-orang menyebutnya mini Rinjani karena sekilas mirip tebing di jalur Torean. Tapi bagi saya, Thekelan tetaplah Thekelan dengan keunikannya sendiri. 

Dari Watu Tulis, ada satu tantangan menanti di ujung punggungan, yaitu tanjakan terjal sepanjang 50 meter tepat sebelum puncak ketiga, Geger Sapi (2.980 mdpl). Selebihnya relatif aman, meski jalur sempat menurun mendekati batas kabupaten dan pertemuan jalur Thekelan–Wekas. Konsekuensinya, butuh tenaga dan napas lebih banyak saat akan kembali ke camp nanti.

Mulanya jalur menurun sekitar 400 meter ke tugu batas kabupaten. Tugu dari cor semen yang sudah rompal bagian pondasinya itu menjadi tanda perbatasan tiga kabupaten di kaki Merbabu, yakni Magelang, Semarang, dan Boyolali. Hanya sepelemparan batu dari patok batas, kami bertemu percabangan jalur Wekas, yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dari camp area di Pos 2 Wekas.

Jalur punggungan dengan kanan-kiri jurang ini kemudian cenderung datar lalu sedikit menanjak saat mendekati pos Helipad (2.899 mdpl). Nama itu berasal dari penampang dataran yang melingkar seperti landasan helikopter. Tidak ada selter atau bangunan fisik apa pun di sini. 

Kami terus melangkah, sampai akhirnya tiba di sebuah titik berjarak 950 meter dari Watu Tulis. Inilah percabangan menuju sumber mata air yang terpaksa ditutup karena jalurnya longsor. Sumber air ini berada di bawah Geger Sapi dan juga biasa digunakan pendaki sebagai jalur turun dari Kenteng Songo–Ondo Rante karena bisa memangkas waktu dan tidak perlu memutar lagi ke Geger Sapi. 

“Ya, gimana, jalur ke sumber melipir tebing dan jurang dulu sudah tipis banget sampai dikasih tali,” Eko memberi komentar. Dengan lalu lintas pendaki sebanyak itu, ditambah cuaca yang tidak menentu, tentu berdampak pada kekuatan jalur yang saat itu saja sudah menipis.

Tanjakan terjal ke puncak Geger Sapi menyambut di depan mata. Jalurnya sempit, seperti cerukan di antara dinding tanah dan batuan. Meski lutut bisa bertemu dagu, tetapi setidaknya ada batu-batu atau akar tanaman cantigi yang bisa jadi pegangan saat menanjak. Orang basecamp menyebutnya jembatan setan, karena saking terjalnya.

Kami rehat sejenak setibanya di Geger Sapi, setelah hampir satu jam berjalan dari Watu Tulis. Dari puncak sempit ini, pemandangan punggungan jalur Thekelan dan gunung-gunung di sebelah utara terlihat jelas. Tentu tidak ada sapi di sini. Puncak yang kami pijak dinamakan Geger Sapi karena bentuk punggungan dan puncak yang tersambung seperti punuk (geger) sapi. Pemandangan punuk sapi tersebut bisa terlihat jelas saat berjalan dari Pemancar menuju Geger Sapi. 

  • Mendaki "Seven Summits" Gunung Merbabu (2)
  • Mendaki "Seven Summits" Gunung Merbabu (2)

Menuju Puncak Syarif dan Ondo Rante

Tantangan demi tantangan kami lalui untuk satu per satu menjejakkan kaki di puncak-puncaknya. Tantangan berikutnya adalah tanjakan terjal untuk kesekian kalinya menuju puncak keempat dalam rangkaian seven summits Merbabu, yakni Puncak Syarif (3.119 mdpl). Puncak Syarif merupakan puncak pertama di ketinggian tiga ribuan mdpl di Gunung Merbabu.

Ada dua jalur yang sama-sama bikin capek karena sangat menanjak. Namun, supaya pengalaman bervariasi, kami memilih jalur sebelah kiri yang didominasi batuan dan akar cantigi maupun edelweis dalam cerukan tebing tanah. Jaraknya tidak terlalu jauh, kira-kira 600 meter dari Geger Sapi, tapi lumayan menguras tenaga. Butuh 30 menit mendaki untuk tiba di puncak paling timur itu. 

Menurut Kodhex, di masa lampau, Syarif merupakan nama seorang warga Thekelan yang dulunya kerap bertapa di puncak ini. Ia dimakamkan di kuburan dusun. Namanya pun diabadikan sebagai salah satu puncak tertinggi Merbabu. 

Tidak banyak yang kami lakukan di Puncak Syarif selain mengisi perut dengan buah, menyegarkan dahaga dengan minum. Saya pribadi tidak tertarik foto-foto ria di plang puncaknya. Saya memilih menghabiskan jeruk sembari memandang Gunung Lawu di timur. Matahari sudah meninggi, membuat dataran Puncak Syarif terasa hangat meskipun angin masih cukup kencang berembus.

  • Mendaki "Seven Summits" Gunung Merbabu (2)
  • Mendaki "Seven Summits" Gunung Merbabu (2)
  • Mendaki "Seven Summits" Gunung Merbabu (2)

Lukas pun mengajak kami melanjutkan perjalanan. Sebelum ke dua puncak terakhir, kami singgah sebentar ke puncak kelima, yaitu Ondo Rante (3.103 mdpl). Puncak ini berada persis di percabangan jalur turun menuju sumber air yang tembus ke jalur Thekelan. 

Ondo Rante kerap terlewatkan oleh pendaki Merbabu di jalur ini. Sebab, memang kebanyakan pendaki lebih memilih meneruskan langkahnya ke Kenteng Songo maupun Triangulasi. Tapi dulu, kata pihak basecamp, jalur awal dari Syarif ke Kenteng Songo memang melewati Ondo Rante yang konturnya lebih mirip gundukan bukit kecil. Namun, karena jalur terusan mengalami kerusakan akibat longsor dan kerap tergerus air hujan, sehingga dibuat jalur baru melipir di bawahnya. Sebagai pertanda, pihak taman nasional tetap menyematkan plakat kayu “Ondo Rante” berwarna hijau.

Dari Ondo Rante, kami balik arah ke jalur naik, lalu mengikuti jalur melipir yang sempit dan berliku di tepi jurang. Masih ada satu tanjakan yang butuh fokus karena agak memanjat dan harus dilewati sebelum dua puncak terakhir Merbabu.

Karena jalurnya sangat sempit, sehingga pendaki harus bergantian sebelum melintas. Kami juga harus waspada dengan batu-batu licin yang jadi pijakan kaki. Rangkaian tali baja ditanam di tebing cadas untuk membantu memudahkan kami berjalan. Saya jadi teringat pendakian lintas jalur Thekelan–Selo 12 tahun silam, melewati jalur tipis ini sembari menahan keseimbangan karena memanggul carrier besar. Belum ada tali waktu itu, murni berpegangan pada batu-batu tebing dan memasrahkan langkah pada kaki yang memilih-milih bebatuan yang stabil.

Mendaki "Seven Summits" Gunung Merbabu (2)
Eko berhati-hati saat berjalan melipir tebing sebelum Kenteng Songo/Rifqy Faiza Rahman

Kenteng Songo dan Triangulasi, pertemuan semua jalur Merbabu

Dua puncak terakhir, yakni Kenteng Songo (3.142 mdpl) dan Triangulasi (3.145 mdpl), kami pijak tanahnya sekitar pukul 07.30. Total 3,5 jam mendaki dari Pos 4. Sama seperti Puncak Syarif, dua puncak tertinggi Merbabu ini ditandai dengan plang raksasa berbentuk gapura dengan kombinasi warna dan font yang menurut saya aneh. Tapi, ya, sudahlah.

Di Merbabu, Kenteng Songo dan Triangulasi adalah pusat keramaian. Sebab, semua jalur pendakian resmi di kawasan taman nasional ini bertemu di dua puncak yang letaknya berdekatan tersebut. Jalur Thekelan dan Wekas yang menyatu di batas kabupaten, berjumpa dengan jalur Selo dan Suwanting (dari arah Triangulasi) di Kenteng Songo. 

Melihat keramaian di hampir setiap sudut, saya meyakini bahwa memang Gunung Merbabu cocok untuk siapa pun yang ingin mencari pemandangan di gunung (cari view) untuk keperluan media sosial atau sekadar mencari kepuasan mata dan ketenangan hati. Daya tarik gunung ini adalah pemandangan yang terbuka nyaris di segala arah, terutama di puncak.

Di sebelah selatan, Gunung Merapi dengan asap yang terus mengepul dari kawah aktifnya jelas jadi magnet untuk latar foto orang-orang. Ke timur, puncak Gunung Lawu yang memanjang seolah menyembul di atas selimut kabut. Pemandangan lebih lengkap berada di sisi utara, di antaranya Gunung Andong, Gunung Telomoyo, Gunung Ungaran, dan telaga Rawa Pening di Ambarawa. Sementara di barat, Sumbing dan Sindoro, bak sejoli yang selalu terlihat berdampingan.

Cuma, di balik panorama menakjubkan itu, ada bahaya mengintai saat cuaca kurang bersahabat. Hampir semua area camp di setiap jalur Merbabu berada di area terbuka dan minim naungan, sehingga rawan terkena badai dan petir. Para pendaki wajib mempersiapkan diri, baik dari segi fisik, mental, maupun perlengkapan memadai, terutama sleeping system dan P3K. Jika ingin nyaman, rasanya lebih bijaksana jika mendaki Merbabu pada musim-musim terbaiknya, sekalipun cuaca kiwari tak lagi dapat diajak kompromi. Tapi setidaknya, musim kemarau lebih cocok, dan selalu pastikan cek prakiraan cuaca.

Di sudut sepi Kenteng Songo, dekat pepohonan cantigi, kami bertiga menepi. Masing-masing membuka bekal sarapan ringan, seperti roti tawar, selai, dan buah jeruk. Memilih memanjakan perut daripada sibuk foto sana-sini. Benar-benar menikmati embusan angin pagi dan teduhnya manisrejo (nama lain cantigi), yang mungkin tidak setiap saat dirasakan di gunung. Sebab, terkadang kita lupa detail-detail sederhana dari alam, entah itu angin, kabut, serasah, tanah basah, maupun debu yang beterbangan.

Tidak ada plakat atau pengakuan khusus bagi pendaki yang mampu mencapai tujuh puncak Gunung Merbabu (seven summits). Dan rasanya itu pun tidak perlu, tidak ada yang istimewa dari pencapaian ini. Ini sebatas misi personal yang tidak harus diikuti jejaknya, lebih kepada upaya untuk mengukur kemampuan diri. Berhasil turun dengan sehat dan selamat melebihi itu semua. Puncak hanyalah bonus, sedangkan kembali pulang ke rumah adalah tujuan utama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Rifqy Faiza Rahman

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas