Ini kesekian kalinya saya mendaki Gunung Merbabu. Bawa misi pula: berusaha mencapai tujuh puncak Merbabu. Bahasa kerennya “seven summits”, mengadopsi istilah seven summits yang dilontarkan pertama kali oleh pendaki kawakan Reinhold Messner untuk tujuh puncak tertinggi dunia. Tentu saja, Merbabu itu pun bagian dari seven summits Jawa Tengah, peringkat kelima dengan titik tertinggi 3.145 mdpl, di belakang Gunung Slamet (3.428 mdpl), Gunung Sumbing (3.371 mdpl), Gunung Lawu (3.265 mdpl), dan Gunung Sindoro (3.153 mdpl).
Satu-satunya cara termudah untuk menatah jejak di tujuh puncak Merbabu hanya lewat jalur Thekelan, Desa Batur, Getasan, Kabupaten Semarang. Sebuah jalur klasik yang telah dibuka sejak tahun 1970-1980, yang sebelum era pandemi COVID-19 sepi peminat, kini mulai laris dibanjiri ratusan pendaki saat akhir pekan. Bukti bahwa sebuah keindahan pemandangan yang tersaji di beranda media sosial (apalagi viral), nyatanya mampu menepikan kecemasan akan jalur yang sebenarnya tidak mudah-mudah amat.
Bagi saya, Thekelan adalah jalur terberat daripada tiga jalur resmi lain, entah itu Wekas (tercepat dan terpendek), Suwanting, atau Selo. Jarak dari basecamp ke puncak juga yang paling panjang. Data dari situs resmi Taman Nasional Gunung Merbabu mencatat sekitar 6,1 kilometer, sedangkan data di GPS saya terekam lebih dari itu, kira-kira 1–2 km lebih panjang. Namun, 1,5 km awal terbantu dengan jasa tukang ojek yang siaga di basecamp, membantu pendaki menghemat tenaga dari basecamp ke Pos 1 Pending, batas kawasan ladang masyarakat dengan taman nasional.
Akhir Mei lalu, Sabtu (31/5/2025), saya bersama dua orang kawan asal Surabaya, Eko dan Lukas, mencoba mendaki Merbabu di tengah fenomena kemarau basah dan cuaca 2025 yang penuh ketidakpastian. Pagi itu langit memang biru, tapi selaput-selaput awan putih yang tipis mulai mengisi langit. Saya belum berani bicara puncak, benak saya berkutat sebisa mungkin kami tiba di Pos 4 Lempong Sampan (area berkemah) sebelum cuaca tiba-tiba berubah pikiran.

Mendaki dengan tubuh kurang tidur
Terus terang saya mendaki dalam kondisi yang tidak bugar-bugar amat. Tampaknya begitu pun Eko dan Lukas. Bagaimana tidak, niat hati ingin terlelap nyenyak dan mengisi ulang baterai energi di basecamp, terpaksa runtuh karena kelompok pendaki tektok yang datang silih berganti. Tak habis-habis sejak tengah malam hingga jelang subuh. Luar biasanya, kebanyakan dari mereka betah mengobrol berlarut-larut tanpa menyempatkan diri beristirahat agar tubuh bugar.
“Rame banget wong-wong iki, umek (ribut) ae,” keluh saya bisik-bisik ke Eko yang berbaring dalam sleeping bag di sebelah kanan saya, sedangkan Lukas ada di pojok dekat dinding. Di sebelah kiri, ada tiga remaja tektokers yang alarm ponselnya sempat berdering lama pukul 3 dini hari, nadanya kencang, tapi tidak lekas dimatikan.
Padahal mereka tektok. Naik dan turun di hari yang sama. Summit atau muncak dari basecamp! Saya menghormati pilihan mendaki tektok—mungkin karena keterbatasan waktu, selera, atau bahkan ikut-ikutan karena terinspirasi media sosial—walau sampai sekarang saya belum memahami mengapa gunung 3.000-an mdpl di-tektok-in. Bagi saya, meskipun jarak tempuh dan medan mungkin tidak terlalu berat, tetap ada risiko besar jika tidak membawa cukup perbekalan yang memadai. Entahlah, mungkin ini perkara selera atau perbedaan preferensi saja, tapi tetap saja, saya tidak sanggup membayangkan.

Tempat istirahat di dalam basecamp berbentuk rumah joglo ini memang tidak terlalu luas. Hanya ada dua sisi dipan kayu beralas tikar, lalu sebuah meja registrasi yang dilengkapi dua buah komputer untuk pengelola. Kamar mandi ada di belakang basecamp dengan dua bilik WC dan dua bilik toilet biasa, dengan air yang harus dipergunakan seefisien mungkin. Walau sebenarnya, kalau mau, bisa saja kami memilih menginap di rumah warga, tapi rawan bikin betah dan ujungnya malah tidak jadi mendaki.
Saat mendaki dalam keadaan kurang istirahat cukup, biasanya belum terasa dampaknya di awal-awal atau pertengahan pendakian. Semangat membuncah menutupi kuyu di lingkar mata, demi petualangan baru yang selalu menanti, sekalipun melewati jalur dan gunung yang sama berkali-kali. Belum lagi adrenalin yang terpacu saat menaiki jok belakang ojek yang melaju kencang tanpa ragu, seolah-olah tidak akan ada masalah berarti.

Seperti halnya para tukang ojek di jalur-jalur pendakian gunung di Jawa, tukang ojek di Thekelan pun menunjukkan apa itu arti kepakaran dalam mengemudikan motor di lahan off road. Beberapa titik tanah masih becek dan licin, sementara kami harus menanjak setidaknya 1,5 kilometer. Naik dari basecamp di ketinggian 1.634 mdpl menuju Pos 1 Pending (1.915 mdpl). Kalau jalan kaki butuh 1–1,5 jam, tapi dengan motor hanya berdurasi 15 menit. Di pos yang juga jadi pangkalan ojek ini, terdapat sebuah bangunan semacam selter terbuka dan sebuah keran air yang bisa diminum.
Tarif ojek seharga Rp40.000 sekali jalan. Tarif ini tidak termasuk dalam sepaket biaya Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) dan biaya basecamp. Untuk pendakian 2 hari 1 malam, Taman Nasional Gunung Merbabu mematok tarif Rp75.000 per orang—terdiri dari tiket masuk kawasan Rp50.000, tiket aktivitas pendakian Rp20.000, dan tiket berkemah Rp5.000. Ditambah biaya fasilitas basecamp sebesar Rp30.000 per orang, mencakup free charging, parkir kendaraan, toilet, dan satu kali sarapan nasi bungkus sebelum pendakian. Kami memutuskan untuk membawa nasi bungkus tersebut sebagai bekal makan siang di camp, agar tidak repot memasak. Untuk sarapan, tersedia warung prasmanan persis di seberang basecamp.
Kami mulai pendakian dari Pos 1 Pending sekitar pukul 08.20. Dari sini, kami tinggal mengikuti jalan setapak yang sudah sangat jelas. Patok-patok hektometer (HM) yang memuat angka jarak setiap seratus meter, membantu pendaki mengukur diri, seberapa jauh mereka akan mampu berjalan atau membuat keputusan: apakah lanjut naik atau kembali turun?


Beban bertambah karena galon air 10 liter
“Air terakhir di Pos 2, ya. Pastikan isi penuh botol atau jeriken dari Pos 2 buat stok air di camp,” terang Cicok, salah satu petugas basecamp Thekelan yang juga pegawai taman nasional, saat menerima registrasi ulang tim kami semalam.
Saya tersentak. Ada apa dengan sumber air di bawah Geger Sapi? Sumber air yang juga mengalir lewat pipa-pipa panjang untuk menghidupi jalur Suwanting?
“Jalur ke sana longsor, Mas. Jadi, ditutup dulu,” jelas pria yang juga koordinator pengelola objek wisata Bumi Perkemahan Kalipasang, Desa Batur.
Informasi terbaru itu cukup mengejutkan. Artinya, kami mesti membawa banyak air dari Pos 2. Galon air mineral kosong berkapasitas 10 liter itu harus terisi penuh, melengkapi botol-botol minum yang kami bawa. Galon sebesar itu jelas tidak akan muat di tas, kudu ditenteng atau dipanggul bergantian. Padahal di depan mata tanjakan-tanjakan terjal sudah siap menguji fisik dan mental.
Tidak ada pilihan lain. Kami antre mengisi air di keran yang mirip dengan Pos 1. Menurut pihak basecamp, asal sumber airnya berada di belakang Pos 2. Terlihat pipa paralon melintang di selatan selter, menerabas semak-semak yang rapat. Tepat di atasnya, terdapat sebuah jalur berlumut yang hanya dilalui oleh petugas taman nasional dan warga untuk patroli dan merawat mata air, tertutup untuk pendakian.

Dahulu, ketika saya pertama mendaki Merbabu via Thekelan pada 2013, untuk menuju Pos 3 Gumuk Menthul Lama dan Pos 4 Lempong Sampan Lama, jalurnya lurus dari Pos 2. Meniti pinggiran pereng (tebing), lalu menyeberang jurang dan pindah punggungan di sebelah timur. Jalur kemudian menanjak konstan sampai bertemu puncak pertama, yaitu Watu Gubug (2.711 mdpl). Namun, karena pernah terjadi longsor parah, jalur lawas pun terputus dan ditutup. Taman nasional menggesernya ke jalur baru seperti sekarang.
Kini, dari Pos 2 pendaki langsung belok kanan menanjak menuju Pos 3 Gumuk Menthul yang baru (2.457 mdpl). Melewati beberapa lokasi menarik di atas Pereng Putih, di antaranya Akasia Kembar (2.282 mdpl) dan Akasia Tunggal (2.358 mdpl), yang terpisah oleh padang rumput terbuka. Kawasan ini juga ditetapkan taman nasional sebagai “Area Pendaki Nandur”, tempat pendaki atau kelompok pencinta alam bisa menanam (nandur) bibit pohon yang sesuai dengan tujuan konservasi.
Normalnya, perlu setidaknya 1–1,5 jam berjalan santai dari Pos 2 ke Pos 3. Kami tiba di Pos 3 Gumuk Menthul Baru sekitar pukul 11.00, atau sudah berjalan hampir 2,5 jam dari Pos 1. Pos 3 berupa area datar yang sangat terbuka. Bisa untuk berkemah, tapi rawan terkena badai saat cuaca buruk dan jarak ke puncak masih sangat jauh. Sebaiknya menguatkan diri untuk menuntaskan sisa kira-kira sejam perjalanan ke Pos 4 Lempong Sampan.


“Itu sudah dari hari Kamis belum dibongkar”
Selepas kawasan Akasia Kembar, jalur pendakian benar-benar terbuka. Tanaman semak, perdu, dan beberapa bibit tengsek, salah satu pohon endemik Merbabu dan Merapi, merajai vegetasi jalur sampai Pos 4 Lempong Sampan.
Di satu titik setelah “spot” Sabarnak 1—ya, namanya memang unik, seperti nasihat seorang ibu pada anaknya untuk bersabar karena tanjakan menguji lutut dan betis, “Sabar, Nak…”—saya bertemu seorang porter kawakan dengan bobot tas carrier yang jauh lebih berat daripada tas yang saya pakai.
Kami sempat terlibat dalam percakapan ringan, bernostalgia jalur lama Thekelan yang pada 2012 sempat saya rasakan, periode awal pembukaan jalur klasik ini, sampai musibah kebakaran hebat yang pernah melalap sabana jalur Thekelan pada 2018 lalu. Namanya Kodhex alias Sumaji, porter asli Thekelan yang sudah rajin naik Merbabu sejak dibuka lebih dari empat dekade lalu. Pekerjaan utamanya adalah petani sayur, jadi porter itu sampingan.
Sebagai pendaki berpengalaman, langkahnya pelan, tapi laju dan pasti. Saya mengikuti ritme berjalannya, membuntuti dalam jarak kira-kira 2–3 meter di belakang. Kami berjalan beriringan seperti ini sampai di Pos 3.

“Tamu saya hari ini 14 orang, minta camp di Pemancar,” jawab Kodhex di sela-sela napas yang memburu, tapi teratur. Ia menambahkan, “Sebenarnya sudah saya siapkan camp di Pos 4, tapi karena tamunya minta camp di atas, ya, nanti saya bongkar lagi.”
Harusnya, hari ini ia bekerja bareng anaknya. Namun, karena sang anak sedang ada kegiatan lain, ia mengajak tetangganya. Kami diminta untuk menempati bekas camp timnya saja, karena lokasinya relatif nyaman, dekat dengan jalur.
Setibanya di Pos 3, tepatnya di area lembah sisi kanan jalur dan terkepung rerumputan, saya melihat ada enam tenda dome biru melingkar (kira-kira kapasitas 4–5 orang), satu tenda kuning, dan di tengah-tengahnya ada satu bendera berlambang salah satu operator open trip terkenal. Berarti kira-kira tamunya sekitar 20–30 orang.
Ketika saya konfirmasi ke Kodhex, katanya tenda itu sudah berdiri sejak Kamis dan belum dibongkar sampai kami datang. Alasannya, karena si operator hampir ada tamu setiap hari.
“Itu memang dibolehkan, Pak, sama taman nasional?”
“Boleh,” jawabnya.
Entahlah, saya merasa agak janggal dan kurang sreg. Ini baru di Thekelan. Kabarnya, operator yang sama, hari itu juga memandu puluhan tamu di jalur Selo, dengan jumlah dua kali lipat.


Mendadak badai
Pos 4 masih separuh perjalanan lagi. Namun, hormon adenosin dalam tubuh mendadak menyerang tubuh, mendatangkan kantuk. Efek kurang tidur semalaman mulai terasa.
Secara akal sehat, seharusnya saya bisa saja menepi di jalur, duduk di atas tanah, dan tidur sesaat barang 10–15 menit. Tapi setetes-dua tetes air dari langit sempat mengalir di wajah. Tanda penting bahwa tak lama lagi mestinya awan mendung akan menurunkan hujan. Langit biru yang mengakrabi pagi ini, mendadak disingkirkan gumpalan-gumpalan awan putih yang kian merapat karena bersekongkol dengan kabut.
“Jangan ngantuk dulu! Jangan ngantuk dulu!” gumam saya sembari telapak tangan menepuk-nepuk pipi, mengucek-ucek mata.
Sebisa mungkin jangan kehujanan di jalur. Nanggung, sedikit lagi. Untuk itulah saya berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang tidak terdistraksi hormon adenosin untuk memerangi kantuk. Hati saya lega begitu Pos 4 terlihat dan lambaian tangan Eko menyapa di kejauhan. Mereka sudah tiba di camp, tempat Kodhex sempat mendirikan tenda untuk tamunya.
Saya melihat arloji di pergelangan tangan kiri. Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Sudah sekitar 3,5 jam saya mendaki. Sedikit lebih lambat daripada Eko dan Lukas yang sudah jalan duluan sejak Pos 3. Setibanya di Pos 4, saya bergegas ikut membantu mereka membereskan perlengkapan camp milik Kodhex. Kami hanya dititipi belasan botol air plastik, yang akan ia ambil besok saat turun gunung.
Hampir sejam berselang, kami sepertinya terlalu santai menyiapkan camp, meski wujud dua tenda sudah mulai terlihat. Tas dan sejumlah perlengkapan masih berserakan, belum kami rapikan. Lalu, apa yang saya takutkan terjadi. Butiran air kecil yang tadi hanya sempat menyapa di wajah, kini bak tandon bocor yang menerjang Pos 4 seketika.
Wajah langit berubah drastis siang itu, saat dua tenda kami belum berdiri sempurna. Beruntung ada selembar flysheet 3×4 meter yang lekas saya dan Eko bentangkan untuk menaungi Lukas yang masih sibuk—lebih tepatnya agak kerepotan—mendirikan tenda yang baru ia beli. Sementara satu tenda dome yang saya bawa sudah berdiri, tinggal merapikan letak dan memasak sudut-sudut frame tenda agar berdiri kokoh.
Begitu tenda siap pakai, kami segera berlindung. Sebagian besar peralatan memasak kami taruh di luar, di antara dua tenda yang berhadapan, terlindung di bawah flysheet yang ditopang trekking pole dan diikat kuat dengan tali di keempat sudutnya. Kami pun masuk tenda dan merapikan barang di dalam agar nyaman untuk tidur. Sementara di luar, tenda dan Pos 4 Lempong Sampan bak diguyur selang pemadam kebakaran dengan debit air tanpa ampun, sampai-sampai salah satu sudut flysheet terlepas dari ikatannya.
Saya melongok dari pintu tenda, menyaksikan beberapa pendaki yang pasrah menunggu hujan yang entah kapan akan reda, padahal siang itu harus turun ke basecamp. Saya juga melihat beberapa kelompok pendaki berjalan dalam balutan jas hujan dengan celana, tas, dan sepatu yang basah. Sebagian dari mereka lekas mencari tempat berkemah di pos ini, sebagian lagi memantapkan diri untuk melanjutkan pendakian ke punggungan Puncak 2 Pemancar, salah satu opsi lahan camp di jalur Thekelan jika ingin lebih dekat ke Puncak Kenteng Songo dan Triangulasi.
“Badainya sangar,” ucap saya ke Eko, yang satu tenda dengan saya. Lukas sendirian. Sampai detik ini, kami bersyukur sudah menghuni tenda yang teduh ketika hujan datang. Tidak sampai berbasah ria saat mendirikan tenda.
Saking derasnya hujan dan kencangnya angin, ujung tenda kami sempat tergenang air. Kemungkinan merembes dari bawah tenda yang ternyata berupa saluran parit untuk membuang air hujan. Beruntung kami sudah melapisi lantai tenda dengan matras alumunium. Hanya sedikit saja air yang masuk, kami buang dengan menyerok pelan-pelan sampai lantai tenda kering.
Beres makan malam dengan menu nasi, sayur sup bakso, tempe goreng, plus memungkasi dengan secangkir kopi, saatnya tidur. Sebelum memejamkan mata, sempat ada kegalauan di benak saya, apakah besok bisa lanjut ke puncak atau tidak? Nyaris sepanjang malam, rinai masih mengguyur Merbabu. Bahkan sampai berganti hari pun, saat saya sesekali terbangun di dini hari untuk mengubah posisi tidur, rintik-rintik gerimis masih mengetuk permukaan flysheet dan dinding tenda, membasahi tanah yang tak kunjung kering.
Akan tetapi, saya tepis kegamangan yang bisa merusak kenikmatan mendaki. Rasanya tak layak harus gelisah hanya demi puncak. Saya melihat Eko sudah terlebih dulu tenggelam dalam lelap. Saya pun terasa diingatkan, mengapa tidak coba untuk istirahat dulu saja dan biarkan malam ini berlalu seperti biasa?
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.