
Sesuai dugaan, tidak sedikit pendaki yang berangkat ke puncak lebih awal. Dari Pos 2, saya bisa melihat sorot headlamp menyemut di lereng curam berjalan dari arah Thekelan-Wekas yang mendekati puncak. Hampir pasti mereka bisa menikmati matahari terbit dari puncak Merbabu. Sementara kami baru memulai langkah pukul 04.00.
Di depan dan belakang kami banyak rombongan pendaki. Tampaknya peserta open trip, yang tentu ketahanan fisik dan ritme langkahnya berbeda-beda. Beberapa kali kami harus bersabar menunggu antrean panjang yang meniti jalan setapak di antara cerukan batu, karena hanya bisa dilalui satu per satu.
Seperti kebiasaan kemarau bulan Agustus, angin berembus cukup kencang sepanjang subuh. Debu-debu beterbangan, bikin mata kelilipan. Vegetasi sangat terbuka, hanya perdu kering, cantigi, dan edelweiss yang hijaunya kontras dengan trek tanah dan batu-batu besar berselimut duli. Pos 3 Watu Kumpul (2.821 mdpl), yang berada di titik HM 33, kami tempuh sekitar 45 menit perjalanan dari Pos 2.
Tidak ada tempat lapang untuk beristirahat dengan lega di sini. Umumnya pendaki akan rehat sejenak di area datar HM 31.

Bertemu jalur klasik Thekelan
Waktu menunjukkan pukul lima tepat saat kami tiba di pertemuan jalur Wekas dan Thekelan. Tidak ada tanda yang istimewa di sini, hanya berupa petunjuk arah yang terikat pada ranting cantigi agar saat turun pendaki Wekas tidak kesasar dan bablas ke Thekelan. Pertemuan jalur ini berada di punggungan yang membujur dari Puncak Pemancar hingga Puncak Geger Sapi, lalu berakhir di tebing raksasa tempat empat puncak berada: Syarif, Ondo Rante, Kenteng Songo, dan Triangulasi.
Tugu perbatasan tiga kabupaten tidak jauh dari situ. Meski bentuknya masih kukuh, tetapi kondisinya cukup memprihatinkan karena mulai rompal dan sudah tercabut dari pondasinya. Lapisan semen yang merekat perlahan terkikis alam lewat badai angin dan hujan.
Dari arah utara, para pendaki jalur Thekelan berduyun-duyun menahan gigil untuk mencoba peruntungan ke puncak. Saya kemudian berinisiatif mengajak sebagian teman salat Subuh di Helipad saja, yang tempatnya relatif datar dan longgar untuk beribadah. Sesekali tercium bau menyengat dari kawah-kawah belerang Merbabu. Meski dorman dan tertidur sangat lama sejak letusan terakhir sebelum abad ke-18 silam, gunung ini masih memproduksi bongkahan belerang. Pertanda statusnya sebagai gunung berapi.

Hari mulai terang dan menghangat tatkala kami melanjutkan pendakian menuju Puncak Geger Sapi (3.002 mdpl). Semburat matahari pagi perlahan menampakkan diri. Selepas simpang pos mata air Thekelan, trek sempit dan terjal di antara cerukan batuan jadi tantangan yang menguji ketahanan lutut. Beberapa kali saya harus memegang akar cantigi atau bongkahan batu untuk membantu saya melangkah naik.
Dari atas Geger Sapi—secara harfiah berbentuk seperti punuk (geger) sapi—kami bisa melihat jalur klasik Thekelan yang legendaris. Pada saat-saat tertentu, punggungan panjang yang naik dan turun itu bak kerucut pipih yang mencuat menembus selaput kabut dan gulungan awan. Nun jauh di seberang, dari barat ke timur, Gunung Sumbing, Sindoro, Andong, Telomoyo, dan Ungaran jadi penggembira sebagai latar belakang.
“Istirahat sebentar, Ko, nunggu yang lain,” pinta saya ke Lukas begitu kami tiba duluan di Geger Sapi. Kurniawan, Eko, dan Dio masih di bawah. Tempat ini tidak begitu luas, hanya seperti puncak punggungan yang kemudian berganti ke punggungan lain yang terus menanjak sampai puncak Merbabu.

Di persimpangan jalan
Sinar matahari kembali terhalang tebing di sisi timur ketika kami melanjutkan pendakian. Suasana jalur kembali teduh, debu-debu beterbangan akibat sapuan kaki pendaki. Tak jauh dari Geger Sapi, jalur bercabang menjadi dua, yang sama-sama berujung di persimpangan jalan dekat Ondo Rante. Sama-sama terjal dan melelahkan.
Di titik ini kami akhirnya sepakat untuk pergi ke Puncak Syarif saja, tidak perlu ke Kenteng Songo maupun Triangulasi. Untuk itu kami memilih jalur kiri karena lebih dekat dengan puncak yang dulunya dipercaya pernah jadi tempat bertapa Mbah Syarif, sesepuh dan tokoh spiritual dari sebuah kampung di lereng Merbabu.
Mendekati Puncak Syarif, saya bertemu dengan sejumlah pendaki yang berjalan di depan. Sebagian baru pertama mendaki Merbabu, atau sudah pernah tapi lewat jalur lain, bukan via Wekas atau Thekelan. Salah satu di antara mereka bertanya puncak-puncak yang mungkin bisa digapai sekali jalan.


“Yang di atas itu puncak apa, Mas?” Ia menunjuk arah tenggara, ke tempat yang akan kami tuju.
“Itu Puncak Syarif, Mas,” jawab saya.
“Kalau yang disebut Seven Summits Merbabu itu mana saja, Mas?”
“Itu kalau lewat Thekelan, bisa dapat tujuh puncak, Mas. Mulai dari Puncak Watu Gubug, Puncak Pemancar, Puncak Geger Sapi, Puncak Syarif, Puncak Ondo Rante, Puncak Kenteng Songo, dan Puncak Triangulasi. Nah, Puncak Syarif di depan itu puncak keempat.” Ia dan temannya ternyata sama-sama naik dari Wekas. Mereka berencana akan menggapai semua puncak itu.
Satu tanjakan terakhir menyambut setibanya kami di persimpangan jalur Syarif–Ondo Rante. Trek yang kami lalui amat curam dan bikin bulu kuduk meremang karena berada di tepi jurang jurang, menuntut fokus selama melangkah dan memastikan kaki berpijak pada tanah atau batuan yang stabil.
Arti cukup di Puncak Syarif
Angka ‘06:45’ tertera di arloji digital saya ketika kami sampai di Puncak Syarif (3.137 mdpl). Gunung Merapi di selatan begitu gagah menjulang. Statusnya sebagai gunung berapi paling aktif di Indonesia ditunjukkan lewat kepulan asap yang keluar dari kawah, meninggalkan jejak serupa garis memanjang yang melayang di antara awan. Sejak 2018, pendakian ke puncak gunung yang disakralkan Keraton Yogyakarta itu sudah ditutup karena aktivitas vulkanis yang eksplosif dan masih berstatus Siaga selama hampir lima tahun terakhir.
Ternyata sudah cukup banyak pendaki yang tiba di Puncak Syarif, menunjukkan ragam ekspresi eksistensi lewat kamera ponsel. Mendadak rasa haru dan nostalgia menyeruak, mengingatkan saya pendakian pertama Merbabu lintas Thekelan–Selo pada April 2013. Sudah 12 tahun berlalu dan saya baru menginjakkan kaki lagi di puncak ini untuk kedua kalinya. Dulu jauh lebih sepi karena kami adalah rombongan satu-satunya yang melintas jalur waktu itu.
Sebuah tugu dengan desain dan kombinasi warna yang kurang enak dilihat, jenis tulisan serupa Comic Sans di Microsoft Word serta terlalu memakan tempat—seperti di Kenteng Songo dan Triangulasi—jadi pertanda keberadaan puncak tenggara Merbabu ini. Rasanya, plakat puncak jadul 12 tahun lalu masih lebih enak dipegang dan dipandang daripada tetenger fisik seperti sekarang, yang entah mengandung filosofi apa di balik pembuatannya.
Kawasan Puncak Syarif lumayan luas. Setidaknya terdapat dua area datar terbuka yang bisa menampung beberapa tenda dome—walau memang sangat tidak disarankan mendirikan tenda di puncak. Masih lebih mudah menemukan rerumputan di sini daripada Kenteng Songo dan Triangulasi yang permukaan tanahnya sudah tertutup debu tebal saat musim kemarau.
Dari Puncak Syarif, saya bisa melihat para pendaki berbondong-bondong menuju puncak-puncak berikutnya. Terutama Kenteng Songo dan Triangulasi, yang jadi pertemuan jalur Thekelan-Wekas dengan Selo dan Suwanting. Meski hanya tinggal beberapa ratus meter dan kurang dari satu jam saja, membayangkan langkah ke sana sudah capek. Rasanya waktu kami lebih berharga untuk dimanfaatkan istirahat lebih lama di camp.
Saya kembali memastikan ke teman-teman. “Piye? Lanjut Kenteng Songo atau sudah cukup sampai Syarif saja?”
Kurniawan menyahut, “Wis cukup, balik tenda saja.” Eko, Lukas, dan Dio setuju. Agar tercipta pengalaman baru, kami memilih turun lewat jalan pintas yang tembus mata air di bawah Helipad, lalu kembali menyusuri jalan yang sama menuju Pos 2 Wekas.
Sepanjang perjalanan ke tenda, saya sudah membayangkan akan menyeduh kopi terlebih dahulu sebelum berkemas dan turun gunung.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.