Ada yang mengganjal rasanya jika ke Flores tapi tidak mampir ke Kelimutu, gunung dengan tiga kawah yang terbentuk akibat aktivitas vulkanis. Karena warna air setiap kawah berbeda, danau ini dikenal sebagai Danau Triwarna. Nama Kelimutu sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa setempat, yakni “keli” yang memiliki arti “gunung” dan “mutu” yang berarti “mendidih.”

Gunung Kelimutu dapat ditempuh dalam waktu sekitar satu jam dari pusat kota Ende. Bila hendak menanti matahari terbit di puncak gunung, biasanya wisatawan menginap di Moni, sebuah desa di kaki Gunung Kelimutu. Banyak moda transportasi yang bisa mengantarkan kita ke sana, entah kendaraan umum atau sewaan.

Angkutan umum banyak, sebab akses menuju Gunung Kelimutu berada di jalan nasional yang menghubungkan Ende dan Maumere. Kendaraan umum hanya akan mengantar sampai persimpangan menuju Gunung Kelimutu, sementara kendaraan sewaan bisa membawamu sampai atas. Moda transpor yang terakhir disebut ini memang jauh lebih nyaman—dan bisa menghemat waktu.

Seekor monyet liar di trek menuju puncak Gunung Kelimutu/Irfani Prabaningrum

Berhubung saya dan rekan-rekan berada di Ende untuk urusan pekerjaan, Kawah Kelimutu baru sempat kami datangi di hari terakhir, pagi hari sebelum penerbangan ke lokasi proyek selanjutnya, Kupang.

Awalnya, saya kurang yakin kami bisa pergi ke Kawah Kelimutu dalam waktu yang lumayan sempit begitu. Saya khawatir waktu kami tidak akan cukup untuk melakukan perjalanan bolak-balik dari Ende ke kawasan Taman Nasional Kelimutu ditambah trekking ke Danau Triwarna. Selain itu, saya juga tidak cukup percaya diri karena tidak melakukan persiapan fisik dan tak membawa perlengkapan yang memadai. Kebiasaan saya yang tak pernah membawa jaket juga membuat saya takut akan kena hipotermia di atas sana. Namun, sopir kami, yang sudah biasa membawa tamu ke Kawah Kelimutu, cukup percaya diri dengan keterbatasan waktu maupun persiapan kami yang serba mendadak itu. Semoga tidak ada hal lain yang menghambat perjalanan kami.

Perjalanan itu sebenarnya tak berlangsung lama. Tapi waktu terasa lambat karena saya pusing akibat jalan yang meliuk-liuk seperti ular. Rupanya tidak hanya saya saja yang menderita, rekan-rekan saya juga. Muka mereka pucat menahan mual. Untungnya, pemandangan di kanan-kiri bisa mengalihkan perhatian.

Danau Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai/Irfani Prabaningrum

Sesampai di tempat parkir, kami langsung berjalan menyusuri jalur menuju Kawah Kelimutu. Matahari muncul perlahan-lahan dan sinarnya pelan-pelan menghangatkan tubuh saya yang hanya berlapis baju tipis. Rupanya jalur menuju kawah tidaklah seterjal yang saya bayangkan. Beberapa jalur sudah diberi bata beton sementara sisanya masih tanah yang dipadatkan. Masih banyak hewan yang dapat kami lihat sepanjang jalan, dari burung-burung yang ribut berkicau hingga kawanan monyet liar.

Kemudian kami melihat dua danau pertama di sebelah kanan, yakni Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Polo. Meskipun berbeda, nuansa warna kedua danau itu serupa, yakni biru kehijauan. Ketika itu, akhir September tahun lalu, Tiwu Nuwa Muri Koo Fai cenderung biru telur asin, sementara Tiwu Ata Polo cenderung kehijauan. Sebelumnya, warna Tiwu Ata Polo merah. Perubahan musimlah yang membuatnya berganti warna. Danau Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dipercaya sebagai persemayaman roh anak-anak muda, sementara Danau Tiwu Ata Polo adalah tempat bagi roh orang yang jahat.

Tangga menuju puncak Gunung Kelimutu/Irfani Prabaningrum
Tiwu Ata Mbupu/Irfani Prabaningrum

Danau ketiga kami jumpai di sisi kiri di setapak menuju puncak. Namanya Tiwu Ata Mbupu, airnya berwarna hijau gelap, dan dipercaya sebagai tempat arwah orang tua.

Kami harus melewati anak tangga yang jumlahnya tidak sedikit. Namun lelah tak terasa karena kami sibuk melihat pemandangan, yakni padang rumput yang sebagian tanahnya terbuka dan menunjukkan jenis tanah pasiran khas bentanglahan vulkanik.

Di puncak, banyak wanita desa yang menjajakan makanan dan minuman seperti Pop Mie dan kopi. Ada pula yang menyewakan kain tenun khas Flores. Tak peduli sedang musim liburan atau tidak, mereka tiap hari menjemput rezeki ke Kelimutu. Mereka berangkat dini hari agar sampai di puncak ketika matahari terbit, sehingga wisatawan yang mengejar matahari terbit dapat pula menikmati dagangan yang mereka jual. Kemudian mereka turun siang hari sebelum kabut menyelimut.

Memang jarak antara tempat parkir dan kawah tidak terlalu jauh, hanya sekitar setengah jam jalan kaki dengan kecepatan standar. Namun tetap saja saya sangat salut dengan kegigihan mereka.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar