Siang itu, cuaca terasa sedikit panas saat kaki menginjakkan di Kawasan Kabupaten Prabumulih, Sumatera Selatan. Tak kurang saya dan rekan melakukan perjalanan selama hampir 15 jam dari Kota Cimahi, Jawa Barat. Saya bersama rombongan selain akan menghadiri pernikahan seorang rekan, juga hendak menggali tentang tempat kelahiran seorang tokoh yang pernah menjadi anggota legislatif yang bukunya tengah disusun. Ini merupakan pengalaman pertama saya mengunjungi Pulau Sumatera setelah menginjak usia 50 tahun.
Hampir 500 km jarak saya tempuh dengan mobil. Mulai dari menyeberangi Pelabuhan Merak menuju Pelabuhan Bakauheni, yang pada akhirnya mengantarkan saya dan rekan-rekan seperjalanan di sebuah kabupaten yang melahirkan juara Dangdut Academy 5, Sri Devi. Begitulah yang saya dengar dari sebuah kanal YouTube ketika hendak berangkat menuju Prabumulih.
Salah seorang pengurus ormas di sana pun membenarkan hal ini, bahwa Sri Devi memiliki suara yang bagus dan menjadi ikon Kabupaten Prabumulih di tingkat nasional. Walaupun belum bisa “mengangkat” kabupaten tersebut sepenuhnya, tetapi tetap saja: hal itu menjadi suatu yang membanggakan bagi masyarakat di sana.
Usai melaksanakan salat Zuhur, rejeki menjemput saya. Di luar dugaan, Ustaz Asram mengajak santap siang di RM Padang Sultan Batuah. Saya memilih kikil, daun singkong, dan bumbu rendang kesukaan. Setelah makan, es jeruk manis pun menjadi pemadam dahaga. Obrolan kami terus mengalir, hingga momen foto bersama usai. Kami akan melanjutkan perjalanan menuju perkebunan nanas.
Ustad Asram berkata silakan makan nanas sepuasnya di sana, syaratnya hanya satu: tak boleh membawa pulang buah tersebut dari kebun.
“Kira-kira jauh nggak perjalanan menuju kebun nanas ini?” tanya Haji Harun sembari meminta kami membayangkan rasa manis dari nanas Prabumulih.
Kebun ini berada di Desa Patih Galung, Kecamatan Prabumulih Barat, Kabupaten Prabumulih, Sumatera Selatan. Butuh waktu kurang lebih sekitar 20 menit untuk tiba di sana.
Semula, saya merasa heran karena suasana kebun tak terlihat perkebunan nanas. Tembok-tembok beton justru memenuhi pinggiran jalan. Pas agak masuk, barulah areal kebun lebih terlihat. Ribuan pohon nanas terhampar, sebagian besar belum dipanen saat kami tiba. Luasnya sekitar empat hektare. Sejauh mata memandang, saya hanya melihat pohon nanas saja.
Rupanya satu buah nanas dijual seharga Rp3.000 dengan distribusi ke Kabupaten Prabumulih, Kabupaten Palembang, wilayah Sumatera Selatan dan juga ke Pulau Jawa khususnya Jakarta dan Jawa Barat.
Seorang kawan lalu menunjukkan kepiawaiannya dalam mengupas buah nanas. Tak mengherankan jika dalam hitungan beberapa menit saja, buah nanas ini sudah terpotong rapi dan tersaji di atas wadah. Buru-buru saya menyantapnya. Rasanya manis, dan tidak menyebabkan gatal pada bibir.
“Tak sia-sia Riyadi ke Prabumulih. Pandai sekali mengupas nanas hingga kita bisa nikmati bersama,” kataku kepadanya yang ternyata sebelumnya kami pernah bertemu di Pangandaran dalam sebuah acara pelatihan dakwah.
“Ya kapan lagi saya bisa membahagiakan orang Bandung. Jarang juga kan, saya datang ke sini,” balas Riyadi.
“Tahun kemarin kita ke sini juga lho, tapi tak ada nanas yang menjadi jamuan. Saat itu kita singgah sebelum pulang ke Padang. Tak terasa satu tahun sudah berlalu,” ujar Husnul menambahkan.
Tentu saja hal ini menjadi pengalaman menarik bagi saya. Kendati di Subang banyak pohon nanas, tetapi baru kali ini saya mendatangi kebun nanas. Sayangnya, kami tak bisa membawa pulang nanas-nanas ini sebagai oleh-oleh karena telah diangkut oleh pembeli yang telah memborongnya.
Selain rombongan saya, ada pula rekan-rekan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian tentang budidaya nanas datang ke tempat ini. Mereka juga sedang melakukan penelitian tentang pemanfaatan daun nanas—yang dibuat serat—untuk dimanfaatkan menjadi pelbagai komoditas seperti kain, pakaian, bahan rompi anti peluru, hingga pembuatan uang dollar.
Saya pun baru mengetahui bahwa daun nanas dapat diolah menjadi banyak hal, lebih bernilai, dan tentu saja tidak sekedar menjadi sampah. Karena cukup menjanjikan, serat olahan daun nanas ini diekspor ke berbagai negara seperti Filipina, Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain. Tentu saja, hal tersebut menjadi bukti bahwa Prabumulih menjadi kecamatan yang memiliki potensi bisnis sangat baik.
Nah, untuk pengolahan daun nanas menjadi serat, ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Mulanya, petugas akan mengumpulkan daun nanas dari pohon nanas yang buahnya sudah dipanen. Panjang rata-rata dari daun tersebut harus sekitar 60 cm dan warnanya masih hijau, mulus tanpa ada warna hitam. Setelahnya, daun-daun tadi diproses secara khusus melalui sebuah mesin pengolahan.
Dalam satu hari, para pengolah bisa menghasilkan kurang lebih 20-30 kg serat daun nanas yang dijual dengan harga Rp200.000 per kg. Lumayan, bukan?
Kata Hais, seorang pengolah serat daun nanas, ini menjadi potensi ekonomi yang menjanjikan. Oleh karenanya, ia berusaha menyediakan serat-serat tersebut sebaik mungkin.
Jelang sore, kami berpamitan kepada pemilik kebun. Tentu saja kunjungan kali begitu menyenangkan, selain bisa mencicipi nanas langsung dari kebunnya, saya juga memetik pelajaran penting. Seyogyanya Tuhan telah memberikan alam yang begitu besar, tinggal bagaimana kita sebagai manusia berpikir untuk mengolahnya menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Roda kendaraan kami lalu berputar perlahan, meninggalkan perkebunan dengan segala ceritanya. Kami menuju asrama tempat menginap dan segera istirahat sebab esok hari kami harus menghadiri pernikahan rekan di daerah Kabupaten Pali.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Suka jalan-jalan dan kumpul dengan teman-teman. Penulis artikel yang juga suka nulis ide cerita di sebuah televisi swasta.