Stasiun Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, pagi itu sudah dipadati calon penumpang. Mereka terlihat sedang mengantre tiket, yang barisannya hingga meluber ke jalan. Tujuan para calon penumpang yaitu Cianjur dan Sukabumi.
Selang beberapa menit kemudian, KA Siliwangi yang datang dari arah Sukabumi berhenti perlahan. Seluruh penumpang turun berhamburan. Sebagian melanjutkan perjalanan dengan angkot atau ojek yang telah menanti di sisi barat stasiun. Sebagian lagi memilih berjalan kaki.
Setelah penumpang seluruhnya turun dan gerbong benar-benar kosong, petugas melepas lokomotif dari gerbong. Usai dilepas, lokomotif melaju ke sisi timur stasiun untuk melakukan langsir. Dari sisi timur, lokomotif itu beralih jalur rel dan melaju pelan ke arah barat untuk kemudian mundur dan dipasangkan dengan deretan gerbong sebelumnya. Lokomotif yang ketika datang mengarah ke timur, kini mengarah ke barat, ke arah Sukabumi.
Tak berapa lama, para calon penumpang yang telah memegang karcis dipersilakan masuk ke gerbong. Lalu peluit dibunyikan tanda rangkaian kereta telah siap diberangkatkan.

Semestinya hingga Kota Bandung
Cipatat sesungguhnya bukan menjadi titik akhir perjalanan Kereta Siliwangi. Dari Cipatat, kereta ini semestinya melaju ke Padalarang, Cimahi, hingga berhenti di Kota Bandung, sebelum kembali ke Sukabumi. Namun, sudah hampir 13 tahun, rel dari Cipatat ke Padalarang tak lagi berfungsi. Beberapa puluh meter ke arah timur dari Stasiun Cipatat, rel yang mengarah ke Padalarang masih terlihat. Hanya saja, selain semakin berkarat, rel itu kini dihiasi rumput-rumput liar.
Jalur kereta Cipatat–Padalarang membentang sekitar 17 kilometer. Ia bukan sekadar bentangan rel besi, tapi nadi yang menghubungkan desa ke kota, maupun menghubungkan sejumlah pasar tradisional ke sentra distribusi barang dan jasa. Ketika jalur ini mati, maka penumpang dari Sukabumi dan Cianjur yang akan menuju Padalarang, Cimahi, maupun Bandung, harus berganti moda transportasi di Stasiun Cipatat. Dan ini artinya, mereka harus merogoh kocek lagi selain juga perjalanan menjadi lebih lama untuk sampai di tujuan.
“Kalau nanti, jalurnya bisa aktif lagi mah, dari Sukabumi ke Bandung, cukup sekali jalan. Bisa cepet sampai. Nggak perlu ganti kendaraan di Cipatat,” kata seorang ibu, yang mengajak serta dua anaknya, saat baru saja turun dari KA Siliwangi dan mengaku hendak melanjutkan perjalanan menuju sebuah destinasi wisata di Bandung Utara, untuk liburan.

Jalur Penghubung Pertama Jakarta–Bandung
Berpaling ke belakang, jalur rel Cipatat–Padalarang merupakan bagian dari jalur penghubung pertama Jakarta–Bandung via Bogor, Sukabumi, dan Cianjur, yang dibangun semasa pemerintah kolonial Belanda. Jalur ini dulu menjadi denyut nadi pergerakan barang dan manusia di kawasan Priangan.
Namun, sejak tahun 2013, segmen ini tak lagi berfungsi. Gradien yang curam dan radius lengkung yang kecil disebut-sebut sebagai alasan penonaktifan jalur ini. Lereng curam di kawasan Padalarang–Tagog Apu, yang mencapai 40 persen, memang lebih terjal dibanding jalur-jalur pegunungan lain di Daerah Operasi (Daop) 2 PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Meskipun demikian, ada yang menilai bahwa masalah nonaktifnya jalur rel Cipatat–Padalarang bukan semata soal teknis, melainkan kegagalan tata kelola. Jalur ini dibiarkan terbengkalai, tanpa kepastian masa depan. Akibatnya, muncul masalah berlapis berupa vegetasi tumbuh liar, tanah longsor yang menimbun sebagian rel, hingga masyarakat akhirnya menggunakan jalur rel sebagai jalan pintas ke kebun atau kampung lain. Nah, jika hal ini terus dibiarkan, maka semakin lama jalur mati, semakin sulit pula ia diaktifkan kembali. Dan, tentu saja, semakin sulit diaktifkan, semakin besar pula biaya sosial, teknis, dan politik yang harus dibayar kelak.
Beberapa kali rencana pengaktifan kembali jalur rel Cipatat–Padalarang mencuat ke permukaan. Termasuk salah satunya yang diapungkan oleh Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), belakangan ini. Dalam salah satu unggahan di akun Instagramnya pada April lalu, KDM menyampaikan hasil rapat dengan Kemenhub dan PT KAI, bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan mereaktivasi sejumlah jalur kereta api di Jawa Barat. Disebutkan bahwa selain jalur Padalarang–Cipatat, jalur Banjar–Pangandaran–Cijulang, Bandung–Ciwidey, Garut–Cikajang, dan Rancaekek–Tanjungsari rencananya bakal direaktivasi.

Potensi dan Pentingnya Langkah Konkret
Jika ditelisik, potensi jalur Cipatat–Padalarang bisa dibilang luar biasa. Reaktivasi segmen ini akan membuka koneksi langsung Bandung–Bogor, sekaligus memecah kepadatan jalur utama Bandung–Purwakarta, dan mendukung jalur ganda yang telah dibangun di segmen Bogor–Cicurug. Selain itu, aktifnya kembali jalur Cipatat–Padalarang bisa menjadi tulang punggung bagi pengembangan kawasan Priangan Barat. Mulai dari sektor pariwisata (misalnya Geopark Ciletuh dan Pelabuhan Ratu) hingga sektor logistik produk perkebunan di kawasan Sukabumi maupun Cianjur.
Untuk mempercepat reaktivasi jalur Cipatat–Padalarang, tentu saja, perlu dilakukan sejumlah langkah. Salah satunya yaitu dengan jalan memanfaatkan teknologi terowongan atau viaduk. Ini untuk menyiasati lereng curam Padalarang–Tagog Apu yang selama ini dituding sebagai biang alasan penonaktifan jalur rel Cipatat–Padalarang.
Selain itu, mengamankan kembali koridor jalur dengan jalan legalisasi lahan, relokasi aktivitas warga yang memakai rel sebagai jalan, serta perbaikan titik rawan longsor adalah langkah penting berikutnya. Di saat yang sama, lakukan pengintegrasian reaktivasi jalur dengan pengembangan kawasan sekitar. Contohnya, mengaitkan layanan kereta dengan rencana pengembangan kampus baru Universitas Parahyangan di sekitar Tagog Apu. Langkah lainnya yaitu menjadikan jalur ini bukan sekadar jalur kereta lokal, melainkan jalur penghubung strategis Bandung–Bogor untuk mendukung pergerakan jarak jauh.
Pada akhirnya, reaktivasi jalur Cipatat–Padalarang bukan hanya tentang menghidupkan kembali laju kereta di atas rel lama, melainkan tentang menghidupkan kembali ekonomi, memperkuat keterhubungan wilayah, dan juga merajut pemerataan pembangunan. Lebih dari itu, reaktivasi jalur ini bakal membuktikan pula bahwa pemerintah serius menjalankan rencananya, bukan sekadar merangkai janji. Dengan kata lain, reaktivasi jalur Cipatat–Padalarang hanya mungkin jika ada langkah konkret yang diambil, bukan sekadar wacana semata.
Referensi:
Fabella, V. M., & Szymczak, S. (2021). Resilience of Railway Transport to Four Types of Natural Hazards: An Analysis of Daily Train Volumes. Infrastructures, 6(12), 174. https://doi.org/10.3390/infrastructures6120174.
Pasi, D. S. (2023, 3 November). Sejarah Jalur Kereta Api Bogor – Bandung Beroperasi Sejak Tahun 1884. Tatarmedia.id, https://www.tatarmedia.id/wisata-kuliner/2023215866/sejarah-jalur-kereta-api-bogor-bandung-beroperasi-sejak-tahun-1884.
World Bank. (2017). Railway Reform: Toolkit for Improving Rail Sector Performance. http://documents.worldbank.org/curated/en/529921469672181559. Washington D.C.: World Bank Group.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.