Menanam Lamun di Pulau Tidung

“Waduh, kurang seminggu lagi, belum pesan tiket kereta api, juga tak punya uang, jadi berangkat tidak ya, hmm, apa nekat saja utang dulu?” pikir saya saat itu. Peluang seringkali tidak datang kembali. Maka, ketika diberi kesempatan untuk belajar sekaligus bermain, dengan fasilitas bebas biaya akomodasi tentu saja saya tergiur. Hanya saja ongkos dari Malang ke Jakarta memang harus ditanggung sendiri. Tak apa, demi memiliki pengalaman berkunjung ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu, saya pun berkemas.

Saya yang terbiasa kemana-mana sendiri, tidak masalah apabila saat itu harus berangkat dari Malang. Menaiki kereta api menuju Stasiun Pasar Senen, kemudian menginap di rumah  salah satu kawan di daerah Tangerang. Tak ketinggalan, saya juga menumpang busway menuju Ancol. Hanya modal waspada yang selalu saya ingat sebagai seorang pendatang. 

April 2019. Saya tiba di kawasan Ancol tepat pukul 08:00 WIB. Saya yang berasal dari sebuah desa kecil di Jawa Timur, cukup terkejut melihat suasana ramai, padat dan kemacetan khas ibukota. Namun seketika sirna saat menengok kapal-kapal bersandar, arus air laut yang cukup tenang dan kesejukan semilir angin. Pikir saya akan terlambat, padahal saya berangkat dari Tangerang pada pukul 05:00 WIB, ternyata kami masih harus menunggu teman-teman yang belum hadir.

Sekitar pukul 09:00 WIB, kami semua mulai menaiki kapal yang entah apa namanya, seingat saya mirip dengan speedboat. Dalam penyeberangan, saya hanya melihat hitamnya air laut dan sampah yang berenang-renang dengan bebasnya. Jujur saja, saya sangat prihatin melihat pemandangan seperti ini karena banyak orang menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Saya tidak bisa membayangkan harus mengonsumsi produk laut dari daerah yang tercemar seperti ini. “Ah, saya selalu memikirkan sesuatu yang berat,” pikir saya keheranan.

Tiba di Tidung

Pulau Tidung
Pulau Tidung/Melynda Dwi

Kurang lebih sekitar 45 menit perjalanan, kapal yang saya tumpangi ini terus melaju menuju salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Pulau ini dikenal memiliki Jembatan Cinta. Sudah tahu kan, pulau apa? Ya, Pulau Tidung. Pulau ini menjadi kawasan wisata favorit pengunjung selain Pulau Pari dan Pulau Pramuka. Ia memiliki dua pulau yang disebut sebagai Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil.

Sesampainya di dermaga, kami disambut penjual jajanan dan asongan yang saling bersahutan menawarkan dagangannya. Sinar mentari begitu menyengat sehingga rasanya ingin berendam di dalam air es.

Kami semua langsung diarahkan untuk menuju sebuah penginapan yang menghadap langsung menghadap pantai. Saya kira lokasi penginapannya dekat, ternyata kami harus berjalan selama kurang lebih selama 15 menit untuk tiba di sana. Siang itu, cuaca cukup panas, ditambah berat tas yang menempel di punggung, membuat saya kewalahan.

Meski penginapan kami menyediakan fasilitas AC, kami tidak diberi kesempatan untuk leyeh-leyeh sejenak. Begitu meletakkan tas, kami harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki kembali selama kurang lebih 30 menit menuju Pulau Tidung Kecil.

Oh, sambatan terus terlontar dari mulut saya. Belum lagi harus menahan dahaga yang sudah memuncak. Menyaksikan pasir putih dan air yang begitu tenang tak bernyawa membuat diri ini kembali membara. Apalagi saat tiba di ikon dari Pulau Tidung, yaitu Jembatan Cinta. Jembatan ini berwarna merah jambu, menggambarkan kisah-kasih asmara. Banyak yang berdoa dan berharap memperoleh jodoh sesuai keinginan di sini. Namun saya memilih bersikap bodo amat, rasa haus lebih menggelora saat itu.

Sepanjang perjalanan, kami disambut rimbunnya pepohonan dan ekosistem mangrove. Memang pulau ini terutama Pulau Tidung Kecil merupakan kawasan konservasi, sehingga kawasan alamnya masih sangat terjaga.

Tujuan kami yakni sebuah balai milik Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Begitu tiba, kami langsung disuguhi oleh beberapa materi terkait konservasi khususnya lamun oleh seorang peneliti dibidangnya.

Menanam Lamun

Pulau Tidung
Lamun via Unsplash/boardshortsben

Kata “Lamun” mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Ia adalah sebuah tanaman yang habitatnya berada dekat dengan bibir pantai. Tetapi seluruh bagian tubuhnya terendam oleh air laut. Bentuknya yang menyerupai rumput di daratan, mengakibatkan banyak orang yang mengira bahwa lamun ialah rumput laut. Padahal lamun (seagrass) dan rumput laut (seaweed) merupakan dua spesies tumbuhan yang berbeda.

Kepopuleran lamun seakan tenggelam seiring dengan merebaknya kegiatan restorasi mangrove dan rehabilitasi terumbu karang. Padahal lamun memiliki peran luar biasa terhadap kehidupan. Diantaranya menahan kekuatan ombak yang mencapai bibir pantai dan habitat bagi beragam jenis biota laut.

Apabila menanam mangrove dan transplantasi terumbu karang terlalu mainstream. Kali ini saya diberi kesempatan untuk belajar menanam lamun langsung di pantai. Dengan mengenakan pakaian siap basah, kami terjun menuju jernihnya air laut.

Lamun Pulau Tidung
Bibit lamun/Melynda Dwi

Banyak pengetahuan baru yang saya dapatkan terkait lamun. Seperti aturan jarak antartanaman dan pemberian tiang pondasi untuk menyanggah tubuh lamun yang cukup lemah agar tidak terbawa derasnya arus. Selain itu, kami juga melakukan aksi bersih-bersih pantai sebagai wujud rasa syukur dan cinta kepada alam.

Tidak terasa senja mulai menyambut, kami enggan untuk bergegas. Namun bagaimanapun kami harus segera kembali ke penginapan. Bersih-bersih diri dan mengisi kekosongan lambung yang mulai merana.Langit mulai menggelap, tetapi semangat kami masih menyala. Kami pergunakan kesempatan untuk bersenda gurau dan mendendangkan lagu mengikuti irama musik. Tetapi kesenangan itu kudu terhenti seiring semakin larutnya malam. Karena esok hari kami masih memiliki agenda untuk snorkeling.

Tinggalkan Komentar