Candimulyo terkenal sebagai sentra durian terbesar di Magelang. Dari varian lokal sampai premium tersedia. Kehendak alam jadi tantangan yang tak akan pernah bisa diduga.
Teks & foto oleh Rifqy Faiza Rahman

Dusun Suran, Surojoyo, Candimulyo pada Rabu pagi kala itu (26/2/2025) seperti hari-hari kerja biasa. Mendung tidak menyurutkan rutinitas sehari-hari; anak-anak dan para guru tetap berangkat ke sekolah, perangkat desa bergegas kerja di kantor kelurahan, sejumlah petani pergi ke sawah.
Namun, lain dengan kesibukan di depan rumah Mahmudi (41), seorang pekebun dan penjual durian. Hari itu saya diajak melihat proses panen durian di salah satu petak kebun dekat kampung. Usai menyeruput segelas teh hangat yang disuguhkan Evi (39), istri Mahmudi, kami pun bergegas. Takutnya keburu hujan dan bikin jalan setapak tanah becek, yang bisa menyulitkan langkah. Sebab, lokasi pohon duriannya berada di tengah hutan, dekat tuk (mata air) dan kolam pemandian warga.
“Kita jalan kaki saja, Mas, lebih aman. Jalannya licin dan curam kalau pakai motor. Kalau orang sini, kan, sudah biasa,” jelas Mahmudi, yang akan menemani saya berjalan.
Dua sepeda motor bebek siaga, salah satunya terpasang rombong atau kambut atau keranjang anyaman plastik berwarna hijau untuk mengangkut durian hasil panen. Bentuknya persegi dengan dua kompartemen dengan volume seimbang. Motor hitam pabrikan Suzuki 110 cc itu dikendarai Andika (20), keponakan Mahmudi. Sementara motor biru Yamaha 110 cc dipakai berboncengan oleh kerabat Mahmudi, Dwi (27) dan Muhlisun (37). Secara profesional, mereka adalah buruh panen—Mahmudi menyebutnya tukang nebas—yang diupah sebesar Rp50.000 per hari.


Kiri: Mahmudi melayani pembeli durian di depan rumahnya, yang ditata khusus untuk kenyamanan pengunjung, dilengkapi fasilitas air mineral dan camilan ringan. Selembar terpal biru dipasang agar terlindung dari panas dan hujan.
Kanan: Andika mengendarai motor pengangkut rombong untuk menampung hasil panen durian.
Panen durian: berebut sumber rezeki banyak makhluk hidup
Jarak ke kebun kira-kira 500 meter. Motor hanya bisa mengakses maksimal 300 meter dan diparkir di dekat tuk yang berada di pinggiran sungai kecil. Sisanya melewati jembatan bambu dan menyisir jalan setapak agak menanjak ke area pesarean (pekuburan) tanpa nama—Mahmudi bilang ada hubungannya dengan Keraton Jogja.
Ada dua pohon target panen pagi itu. Meski tidak mengetahui secara pasti, tetapi menurut Mahmudi durian yang dipanen sejenis durian mentega. “Tapi KW super, Mas, he-he-he,” candanya. Ia mengupas satu buah dan saya diberi kesempatan mencicipinya. Dagingnya tebal dan karakter rasa cenderung manis, dengan sedikit pahit di akhir gigitan.
Pohon durian terbesar berusia 70 tahun di barat pusara akan dipanjat Muhlisun, adik kandung Mahmudi. Lingkar pohonnya terlalu besar untuk dipeluk satu orang. Tingginya kira-kira 30-an meter. Sementara pohon yang lebih kecil berada di tenggara, yang akan dipanjat Andika. Setiap pohon telah dipasang tangga vertikal berupa bilah-bilah bambu yang ditancapkan dengan paku. Bentuknya serupa dengan struktur tulang belakang manusia.


Sebelum memanjat, Muhlisun menyiapkan tali untuk mengerek durian ke dari dahan ke bawah (kiri). Perbandingan ukuran tubuh Mahmudi dengan pohon durian berusia hampir tiga perempat abad yang dipanjat Muhlisun.
Tidak ada sertifikasi khusus untuk memanen buah tropis dari genus Durio itu. Kuncinya dua: jeli dan berani. Jeli, dalam hal melihat cuaca, tanda-tanda panen, dan memperhitungkan waktu panen. Hanya dengan mata telanjang dari permukaan tanah, Mahmudi sudah amat paham buah-buah mana yang siap panen dan memiliki kualitas bagus. Lalu berani, dalam hal kemampuan mengatasi takut ketinggian dan risiko jatuh karena tanpa alat pengaman memadai. Sebab, Muhlisun dan Andika hanya berbekal dua alat, yakni sebilah pisau untuk memangkas durian yang sudah matang dan seutas tali tampar panjang untuk mengerek durian ke bawah.
“Kalau dulu dilempar, Mas, risikonya ya buah bisa pecah kalau jatuh ke tanah dan pasti kualitasnya tidak bagus. Sekarang pakai tali lebih aman, kayak katrol sumur,” jelas Mahmudi. Setidaknya ada dua kali pemanjatan selama musim durian. Pertama, saat pohon sudah berbunga dan memunculkan bakal buah. Mahmudi dan kawan-kawan akan naik untuk mengikat batang buah dengan tali rafia agar tidak jatuh ketika sudah waktunya matang. Kedua, saat panen seperti sekarang ini.
Jelas saya bukan orang yang tepat untuk pekerjaan berbahaya ini. Cukup dengan melihatnya saja sudah jeri. Apalagi melakukan, ngeri. Jika sampai saya tahu ada pembeli menawar sadis sebuah durian berkualitas bagus, saya akan menyeretnya ke kebun ini untuk melihat langsung bagaimana “buah surga” itu diambil dari takhtanya.
Mahmudi mengatakan, memanen durian memang harus dilakukan segera untuk menjaga kualitas durian, sehingga jangan sampai durian melewati tingkat kematangan berlebih. Selain faktor cuaca, ada alasan genting lainnya yang menuntut kegiatan panen berkejaran dengan waktu, yaitu mencegah satwa liar seperti bajing, kelelawar, atau tikus datang. “Sudah ada bakul (penjual atau reseller) dari Kalibawang (Kulon Progo) yang pesan juga, Mas, jadinya harus segera diamankan sebelum terlambat,” kata Mahmudi. Kalibawang termasuk salah satu sentra durian di Yogyakarta. Biasanya, setiap penjual tidak hanya menjajakan durian lokal setempat, tetapi juga dari daerah lainnya seperti Kaligesing (Purworejo), Kepil (Wonosobo), hingga Banyumas.
Tentu ia pun juga menyediakan lebih untuk stok penjualan. Namun, ia tak memungkiri, ada hak rezeki juga yang harus alam penuhi untuk makhluk hidup seperti itu. “Makanya kadang saya ‘ikhlaskan’ saja satu-dua buah yang sejatinya siap panen tapi sudah keburu dimakan hewan,” ujar Mahmudi, sambil menunjuk beberapa buah yang jatuh membusuk di atas tanah setelah dimakan bajing atau kelelawar. “Tapi kalau menurut saya, lebih mending [durian] dimakan bajing karena masih disisakan daging [buahnya], daripada tikus hutan yang rakus babat buah sampai habis.”
Muhlisun dan Andika bak orang utan yang lincah memanjat pohon serta berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya. Pijakan kaki dan genggaman tangan mereka begitu lengket, seolah-olah yakin semuanya akan baik-baik saja. Satu per satu durian dipanen dan meluncur deras ke bawah. Mahmudi dan Dwi bertugas mengumpulkan durian-durian tersebut. Nantinya sekitar 30 buah diikat pada sepotong batang bambu sepanjang hampir dua meter, lalu dipanggul dua orang menuju rombong.
Panen hari itu menghasilkan sedikitnya 70 buah dari dua pohon. Satu rombong hanya bisa memuat separuhnya, sehingga pengangkutan ke rumah Mahmudi berlangsung dua kali. Kini giliran Dwi yang membawa rombong bermuatan satu kuintal durian itu dengan motor.
Terserah apa kata Allah
“Saya mulai terjun ke dunia durian 12 tahun lalu setelah menikah, diajari kakak saya,” kata Mahmudi. Waktu itu ia belum punya pekerjaan tetap. Sehari-hari bekerja serabutan sebagai kuli di proyek-proyek bangunan, atau apa pun yang bisa menghasilkan rezeki.
Ketekunan bapak tiga anak itu membuahkan hasil. Saat ini Mahmudi bertanggung jawab merawat 200 pohon durian beraneka varietas, baik lokal maupun premium, yang tersebar di kebun-kebun di Desa Surojoyo. Kebanyakan milik masyarakat, sehingga ada sistem bagi hasil antara dirinya dengan pemilik kebun yang di dalamnya ditumbuhi pohon durian. Di sisi lain, Mahmudi hanya memiliki segelintir pohon durian di kebun pribadi warisan orang tuanya.
Dari semula menjual durian dengan cara berkeliling, dari satu lapak ke lapak lainnya di pinggir jalan kecamatan, dari puskesmas hingga sekolah, kini Mahmudi cukup menyediakan lapak di teras rumah, menunggu pencinta durian berbondong-bondong datang menikmati durian khas Candimulyo. “Kalau dulu saya yang cari-cari pembeli, sekarang mereka yang mencari saya,” guyon Mahmudi.

Secara teori, merawat pohon durian cukup mudah karena tidak perlu perlakuan khusus. Tumbuh alami begitu saja, ketika tiba waktunya akan panen dengan sendirinya. Namun, cuaca tak menentu, yang disinyalir sebagai dampak dari perubahan iklim, membuat Mahmudi harus bekerja ekstra. Selain memberi kombinasi pupuk dan pestisida secara organik dan kimia secukupnya, ia mesti rutin mengontrol kondisi pohon, terutama saat memasuki fase-fase krusial berbunga dan siap berbuah. Belum lagi serbuan makhluk hidup “sesama pencinta durian” seperti bajing, kelelawar, tikus, hingga ulat yang siap berebut sumber rezeki tersebut.
Musim panen pun turut bergeser, dan beberapa tahun terakhir Mahmudi tidak bisa memberi jawaban pasti kapan persisnya musim raya durian terjadi. “Kalau dulu hampir bisa dipastikan rutin mulai November–Desember sampai Januari itu puncaknya, Mas. Tapi sekarang hujan terus kayak gini, ya, jadinya mundur ke Februari–Maret,” keluhnya. Belum lagi jika ada pesanan khusus dan spesifik dari pelanggan yang menginginkan varian durian tertentu, ia harus menyiapkan pohon dan buahnya jauh-jauh hari.
Ketidakpastian cuaca turut berimbas pada produktivitas pohon dan pemasukan yang ia harapkan. Tahun ini, ia akui mengalami penurunan drastis. Musim kejayaan seperti berhenti. “Musim durian 2024 kemarin masih bisa dapat banyak, Mas. Satu pohon yang lebat itu bisa berbuah menghasilkan 400 butir dalam satu musim raya. Tapi sekarang, kayak yang kita panen barusan, dapat 70–80 butir saja sudah bagus,” jelasnya. Separuh dari jumlah tersebut yang terjual setiap harinya juga disyukuri Mahmudi.
Padahal, modal yang ia keluarkan sangat besar untuk perawatan pohon. Belum lagi menghitung bagi hasil dengan buruh panen dan pemilik kebun. Jika musim tidak tepat waktu, potensi pemasukan pun ikut-ikutan tidak tepat waktu, yang menuntutnya memutar otak agar roda perekonomian berputar. “Makanya saya tidak hanya bergantung pada pembeli biasa, Mas, tapi juga berharap bisa diambil banyak bakul. Saya juga menerima pemesanan dari luar kota, kayak kemarin saya kirim ke Semarang, Indramayu, dan Jakarta,” tutur Mahmudi.

“Kalau penjual sih enak, Mas. Mereka tinggal pesan ke saya dengan harga khusus bakul (penjual), lalu dibawa dan dijual lagi di daerahnya,” terang Mahmudi. “Kita-kita di kebun ini yang pusing milih buah [durian] yang bagus sesuai pesanan.”
Walaupun terkadang ketir-ketir, Mahmudi tak ingin surut harapan. Tuntutan dapur memang membuatnya tak ingin melewatkan kesempatan sekecil apa pun setiap harinya. Namun, dalam 12 tahun perjalanannya menggeluti dunia perdurenan, ia mengaku sudah kenyang dan biasa dengan kondisi seperti ini. Sudah ada hitung-hitungannya sendiri. Idealnya memang bisa mendapat hasil melimpah dari satu musim durian untuk kebutuhan sepanjang tahun. Akan tetapi, jika perkiraannya meleset, ia pun tetap bersyukur.
“Ya, kita penginnya panen terus, dapat buah yang bagus, Mas. Tapi, ya, kalau alam berbicara lain, mau gimana lagi. Opo jare Allah, Mas, disyukuri saja,” ungkap Mahmudi pasrah, tetapi sambil terkekeh-kekeh. Ya, melepas senyum dan tawa adalah salah satu caranya berdamai dengan keadaan. Sejak menggeluti durian sampai sekarang, ditambah pemasukan tambahan di luar musim durian dengan kerja serabutan, sejauh ini Mahmudi masih mampu mencukupi kebutuhan dapur dan sekolah anak-anaknya.
Tampaknya, di antara syarat-syarat teknis seputar budi daya durian, Mahmudi tetap menempatkan tawakal di atas segalanya. Sebuah filosofi spiritual yang menguatkannya untuk tak lupa mencari hikmah di balik usaha banting tulang menghidupi ekonomi keluarga.


Selain di dekat pesarean, Mahmudi dan tim siang itu kembali memanen di pohon durian lokal berusia satu abad di barat masjid dusun. Perlu dua sampai tiga orang dewasa untuk memeluk pohon ini.
Angan-angan panen sepanjang tahun
Mahmudi punya dua kategori durian yang ia jual. Pertama, durian yang dijamin rasa dan kualitasnya. Harganya bervariasi, yang termurah dihargai 35–75 ribu per buahnya, tergantung ukuran. Untuk durian premium, seperti mentega KW super, bawor, hingga musang king, ia mematok paling murah Rp150.000 per buah.
Sementara kategori kedua adalah durian yang ia tidak berani jamin rasanya. Namun, ia tetap menjualnya dan tidak mengesampingkan durian-durian di kategori ini. “Kalau durian yang rasanya tidak bisa saya jamin biasa saya jual seratus ribu rupiah dapat tiga atau empat buah, Mas,” terangnya. Ia akan disclaimer terlebih dahulu, berterus terang dengan kondisi durian di kategori ini, sehingga pembeli tidak berekspektasi lebih.
Di balik rutinitas memanen dan menjual durian, Mahmudi mengungkapkan mimpi besarnya. Ia berangan-angan agar durian Candimulyo bisa panen sepanjang tahun. “Saya punya mentor, namanya Pak Wiwik, dosen pertanian UGM. Katanya ada potensi membuat durian tetap produktif dan bisa dipanen sepanjang tahun,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara itu. Artinya, ada peluang upaya pemuliaan tanaman durian dengan rekayasa genetika atau inovasi budi daya dengan perlakuan-perlakuan khusus pada setiap pohonnya. “Saya berharap riset beliau dan tim bisa segera diterapkan di sini.”

Jika angan Mahmudi kesampaian—yang sebenarnya juga jadi impian para pekebun durian di Candimulyo—ia bisa sepenuhnya mengandalkan durian sebagai sumber utama pemasukan, tidak lagi harus bekerja serabutan di luar musim durian. Bisa dibayangkan, setiap hari tamu dari dalam atau luar kota bahkan lintas negara, datang ke teras rumah Mahmudi yang sederhana, menikmati kelezatan durian tanpa harus bersabar menunggu musim panen raya setahun yang akan datang. Senyum Dlimah (46), perempuan berjilbab kerabat Mahmudi yang bertugas melayani pembeli dan didapuk sebagai bendahara durian, akan semakin lebar dan semringah.
Setidaknya, Candimulyo masih lekat dengan pusat durian Magelang, yang akan selalu dicari-cari orang. Bicara durian Magelang, berarti bicara Candimulyo. Seperti julukan sang raja buah (king of fruit) yang melekat pada durian—karena besarnya ukuran, kekayaan rasa, dan kekuatan aroma—pantas kiranya Mahmudi begitu memuliakan durian Candimulyo, sebagaimana seorang prajurit menjunjung tinggi kehormatan sang raja.
Foto sampul: Mahmudi menunjukkan buah durian hasil panen di kebun yang tak terlalu jauh dari rumahnya di Dusun Suran, Candimulyo
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.