Halaman UPTD Museum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur tampak ramai begitu kami tiba di sana. Suasana kian hidup dengan alunan “Dendang Dikideng” yang mengiringi gerakan tari salah satu sanggar tari yang tampil mengisi acara malam itu.
Seperti penyelenggaraan pada tahun-tahun sebelumnya, pameran temporer yang diselenggarakan pihak museum selalu menarik untuk dikunjungi. Tahun ini, tepatnya pada 8–11 November 2023, pameran temporer kembali digelar dengan mengangkat tradisi budaya maritim di Nusa Tenggara Timur.
Pameran ini bertajuk “Nenek Moyangku Orang Pelaut”. Sebuah tema yang menggariskan bagaimana tradisi budaya maritim telah menjadi warisan sejarah yang turut menjadi bagian kehidupan masyarakat NTT sejak dahulu.
Bila berkaca pada kondisi geografis NTT, terutama dengan topografi kepulauannya, tentu dapat memahami betapa tradisi budaya maritim turut menjadi aspek utama yang berpengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat sebagai nelayan. Namun ternyata, kenyataan yang terjadi justru berbanding terbalik. Masyarakat NTT justru terkenal sebagai masyarakat agraris, dengan pertanian sebagai sektor dominan. Data BPS pada 2021 misalnya, mencatat 56,24% jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di NTT, merupakan pekerja di sektor pertanian.
Penjelasan itu lantas membuat saya tertarik untuk menjelajahi pameran lebih jauh. Di satu sisi, saya memahami penjelasan tersebut sebagai fakta kehidupan masyarakat NTT yang erat dengan kehidupan agraris. Namun, di sisi lain, ini juga memantik rasa penasaran, terutama bagaimana tradisi budaya maritim hidup sebagai bagian kebudayaan masyarakat NTT.
Saya berpindah. Ragam koleksi bernuansa maritim terpajang dengan begitu rapi. Saya menyaksikan beragam koleksi, mulai dari miniatur kapal, peralatan tangkap ikan tradisional, juga karya seni seperti tenunan, perhiasan, ukiran, anyaman, dan koleksi-koleksi lainnya. Semuanya seperti menggariskan makna yang sama: tradisi budaya maritim melekat dalam kehidupan masyarakat NTT, lewat kepercayaan nenek moyang, upacara adat, pengetahuan sosial, dan hingga tercermin lewat berbagai karya seni.
Tradisi Budaya Maritim di Tanah Kering
Sembari berkeliling mengamati ragam koleksi yang ada, saya lalu berhenti, membaca dengan saksama tentang budaya laut di tanah kering. Masyarakat agraris NTT, demikian diterangkan pada papan informasi, memiliki orientasi terhadap laut melalui berbagai ritual adat, cerita-cerita rakyat, motif tenunan, anyaman, ukiran, dan karya-karya seni lain.
Lebih lanjut, hubungan erat masyarakat dengan laut tergambar lewat kepercayaan masyarakat. Laut berombak ganas diyakini sebagai laut laki-laki (tasi mane), sedangkan laut tenang diyakini sebagai perempuan (tasi feto). Widiyatmika (2011) mencatat, bahwa kepercayaan demikian merupakan klasifikasi budaya masyarakat di Pulau Timor bagian barat.
Selain itu, di beberapa tempat, seperti di Sumba Barat dan Malaka, hubungan erat dengan laut tergambar lewat kepercayaan khusus terhadap keberadaan buaya. Buaya tidak diperlakukan sebagai binatang dan, masyarakat mengganggapnya sebagai binatang mitologi yang menyimpan banyak cerita.
Keterhubungan masyarakat NTT dengan laut juga terlihat melalui perlengkapan ritual yang lekat dengan unsur laut. Hal ini misalnya berupa perhiasan wuli, yang memiliki nilai kesakralan dan keunikan tersendiri sebagai unsur budaya masyarakat Ngada. Selain itu, catatan sejarah juga menunjukkan bagaimana masyarakat Ngada pada masa prasejarah, menggunakan kerang laut untuk diasah/diupam menjadi mata uang yang bernama ai’dala.
Ragam tradisi unik yang berhubungan dengan laut juga menjadi bentuk lain keterhubungan masyarakat NTT dengan laut. Masyarakat Sikka etnis Krowe di wilayah pegunungan, sebelum melaut biasanya melakukan upacara (piong) di Nuba Nanga. Upacara ini bertujuan untuk memberi sesajen sekaligus memohon perlindungan Ina Nian Tana sebagai penguasa bumi dan Ama Lero Wulan sebagai penguasa langit. Sementara itu, tradisi unik lain dilakukan oleh masyarakat kampung Maa Bele di Pulau Adonara, Flores Timur, dengan melakukan ritual pao boe—memberi sesajen kepada leluhur—ketika hendak melaut.
Bryan, yang datang bersama saya ke tempat pameran, menunjuk salah satu koleksi dari tanah kelahirannya, Kabupaten Sikka. Koleksi yang ia maksud adalah kain upacara (dugu raga), tenunan Sikka yang dipakai dalam upacara adat di pantai guna memohon cuaca yang bersahabat dalam pelayaran.
Selain koleksi tersebut, beberapa tenunan khas dari berbagai daerah lainnya turut menghias ruang pameran. Di antaranya sarung wanita Kabupaten Lembata, sarung wanita (tenapi) Kabupaten Alor, sarung (lawo wutu) Kabupaten Ngada, sarung wanita (tais feto) Kabupaten Belu, lawo butu Kabupaten Ende, serta sarung (lau witikau/lau hada) Kabupaten Sumba Timur. Tenunan-tenunan tersebut umumnya berupa tenunan yang memiliki hubungan tradisi budaya maritim di NTT, baik dalam bentuk motif tenunan maupun konteks pemakaiannya dalam upacara tertentu.
Koleksi budaya lainnya tampak dalam beberapa koleksi berupa arca kuda dan manusia pemain pasola, mata uang ai’dala, benda budaya berupa perhiasan wuli, saku sirih pinang (kakaluk) dan pompa riul, serta tiang rumah adat bermotif empat ekor buaya berkepala manusia dan kalajengking dari Kabupaten Belu.
Selain itu, tradisi budaya maritim dalam konteks masyarakat NTT semakin kelihatan melalui koleksi peralatan tradisional yang digunakan dalam aktivitas melaut. Malam itu saya menemukan beberapa koleksi, seperti maket perahu layar (Flores Timur), alat penjaring ikan/maruattu (Sumba Barat Daya), alat jaring udang/manggoho kura (Sumba Barat Daya), alat menjaring ikan/wewa (Flores Timur), alat tangkap ikan air dalam/bubu, jala/jala pu (Sabu Raijua), alat menjaring ikan/dalang fufo, lete-lete/perahu layar (Pulau Rote), tombak/tempuling/bho’u (Lembata), alat pancing tradisional (Alor), wadah penampung ikan (Rote Ndao), alat penangkap ikan (Kabupaten Kupang), wadah penampung ikan/kelera (Sabu Raijua), miniatur paledang (Lembata), tombak ikan/keturak (Flores Timur), alat penangkap kepiting/hodo (Sumba Barat Daya), alat penjaring ikan/kenaha (Sabu Raijua), senapan tembak ikan/bedi (Flores Timur), wadah penampung ikan/pendo (Manggarai), dan berbagai koleksi lainnya.
Kebersahajaan Tradisi Maritim di Lamalera dan Wanokaka
Di sisi lain ruang pameran, saya menemukan dua tradisi laut yang khas dan unik dalam konteks masyarakat NTT. Keduanya mendapat tempat khusus, dengan penjelasan informasi yang cukup panjang. Begitu menemukan informasi tentang Lamalera, saya sudah menebak bahwa ini akan mengacu pada penjelasan tentang leva nuang atau upacara penangkapan ikan paus oleh masyarakat nelayan Lamalera. Benar saja, pada bagian lain saya menemukan penjelasan detail tentang leva nuang, terutama tentang waktu dan tahapan pelaksanaan upacara ini.
Tak jauh dari situ, informasi tentang ritual nyale dan pasola di Wanokaka, Sumba Barat, benar-benar mencuri perhatian saya. Saya menaruh fokus, meski ruangan pameran kian ramai. Menurut catatan informasi di ruang pameran, upacara ini merupakan ritus tahunan yang dilaksanakan masyarakat Sumba Barat, terutama di Wanokaka, dan diselenggarakan dalam satu rangkaian dengan pajurra (tinju tradisional di Pantai Taitena), madidi nyale di Pantai Pahiwi dan pasola.
Meski sering bertanya pada Umbu Riswan tentang ragam budaya di Sumba, ritual penangkapan nyale belum pernah kami bahas. Saya terus membaca informasi demi informasi yang tertulis di sana. Tradisi ini benar-benar unik, dengan persiapan batin yang dimulai pada bulan pemali atau Wula Biha, larangan-larangan yang wajib dipatuhi dan sanksi adat yang disepakati, pembagian tugas yang melibatkan seluruh kampung yang mengikuti upacara, hingga waktu pelaksanaan yang ditentukan berdasarkan bentuk bulan dan beberapa tanda alam.
Ritual ini rupanya mengacu pada ritual menangkap cacing laut dalam kebudayaan masyarakat Sumba Barat. Sebagai sebuah tradisi yang telah berlangsung sejak dulu, nyale diyakini akan menjadi petunjuk awal yang menentukan hasil panen dalam tahun berjalan.
Penangkapan nyale diyakini dalam beberapa kepercayaan, di mana panen akan berhasil apabila nyale yang ditangkap banyak dan bersih. Jika nyale yang ditangkap mengigit tangan rato, hal itu menjadi pertanda akan ada hama yang menyerang. Selain itu, nyale yang membusuk, menandakan akan ada hujan berlebihan yang membuat padi membusuk. Sementara, jika nyale tidak muncul artinya akan ada kemarau panjang yang menyebabkan gagal panen dan wabah kelaparan dalam masyarakat.
Saya mengangguk paham. Kekaguman kian menyeruak dalam dada. “Semoga bisa melabuhkan kaki di tanah Sumba,” gumam saya malam itu.
Nenek Moyangku Orang Pelaut: Sebuah Refleksi
“Nenek Moyangku Orang Pelaut” menyiratkan pentingnya permenungan yang mendalam terhadap kekayaan warisan leluhur, terutama terkait tradisi budaya maritim di NTT. Melalui setiap koleksi dan narasi, setiap kita didorong untuk menyadari pentingnya menjaga tradisi sebagai fondasi keseimbangan hidup manusia, alam, dan lingkungan.
Pameran ini bukan hanya sekadar kumpulan benda bersejarah, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang mengajarkan kita hari ini tentang kedalaman hubungan antara manusia dan laut. Warisan leluhur yang terpelihara dengan baik bukan hanya membanggakan, tetapi juga merupakan tuntutan moral untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang memberi kita kehidupan.
Secara pribadi, saya menemukan bahwa menggali akar sejarah ini memberikan wawasan baru tentang nilai-nilai yang mendasari kehidupan sehari-hari. Perjalanan ini tidak hanya membawa saya kembali ke masa lalu, tetapi juga mengajak saya untuk merenung tentang bagaimana kita sebagai individu dan masyarakat dapat lebih bertanggung jawab terhadap warisan budaya ini.
Dengan mengenang nenek moyang sebagai orang pelaut, kita diingatkan untuk tidak hanya mengejar kemajuan tanpa arah, tetapi juga memelihara keseimbangan dengan alam. Kesadaran akan pentingnya menjaga tradisi warisan leluhur bukan hanya sebagai cermin diri, tetapi sebagai panggilan untuk melibatkan diri aktif dalam pelestarian dan memastikan keberlanjutannya di masa depan.
Pada akhirnya, kesadaran untuk menghormati dan memahami akar budaya kita adalah langkah awal menuju keseimbangan yang lebih baik antara manusia, alam, dan lingkungan. Bekal pemaknaan tentang “Nenek Moyangku Orang Pelaut” dapat menjadi panduan, untuk merangkul masa depan dengan menghargai warisan yang telah ditinggalkan, sekaligus menjadi tonggak baru untuk menjadi lebih baik dalam menjaga harmoni hidup.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Oswald Kosfraedi, saat ini berdomisili di Kupang. Gemar mengisi waktu luang dengan menulis dan mendengarkan lagu karya seorang musisi yang menginspirasi saya dalam menulis.