
Pada 2022, melalui Permenparekraf Nomor 11 Tahun 2022 tentang Rencana Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2020–2024, Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur) termasuk dalam 10 destinasi pariwisata prioritas yang dikembangkan Kementerian Pariwisata. Sembilan destinasi pariwisata prioritas lainnya adalah Danau Toba (Sumatra Utara), Bangka Belitung, Candi Borobudur (Jawa Tengah), Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Lombok-Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Manado-Likupang (Sulawesi Utara), Morotai (Maluku Utara), dan Raja Ampat (Papua Barat Daya).
Labuan Bajo, ibu kota Manggarai Barat, memiliki keunikan tersendiri karena menjadi gerbang utama menuju habitat komodo, spesies kadal terbesar dan pemangsa puncak di habitat Taman Nasional Komodo. Kota pesisir di ujung barat Pulau Flores ini semakin bersolek menyambut serbuan wisatawan domestik dan mancanegara.
Namun, seiring dengan itu, wajah kota tampak berubah. Tidak hanya arus turisme, tetapi juga perubahan pola pangan yang tersedia. Sumber daya pangan lokal khas Manggarai, yang telah lama jarang terhidang di meja makan rumah-rumah warga, berpotensi kian terpinggirkan. Sebab, serbuan investasi dari luar Manggarai Barat bisa jadi berdampak pada keterbatasan lahan pangan lokal dan menjamurnya pangan impor untuk memenuhi permintaan pariwisata. Belum lagi persoalan perubahan iklim yang dampaknya kian nyata untuk lingkungan.
Di tengah gemerlap Labuan Bajo, dua chef lokal menyuarakan keresahannya. Michael Irawan Wahyu Agung (The Kitchen Garden) dan Citra Kader (Lompong Cama) seperti meniti jalan tak populer, beradaptasi dengan kondisi demi tetap melestarikan gastronomi Manggarai Barat.


Michael Irawan (kiri) dan Citra Kader menunjukkan cara mengolah bahan pangan lokal kepada para peserta Simpang Belajar: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements di Manggarai Barat, Selasa (22/4/2025)/Dokumentasi Simpang Belajar
Menjaga pangan lokal lewat meja makan
Chef Michael menegaskan The Kitchen Garden (TKG) lebih dari sekadar sebuah restoran. TKG adalah sebuah gerakan yang berasal dari kesadaran akan pentingnya identitas budaya dan gastronomi lokal di Labuan Bajo. Identitas tersebut menurutnya penting diperjuangkan di tengah dua status prestisius Labuan Bajo dari UNESCO, yaitu Situs Warisan Dunia (World Heritage Site) untuk komodo dan kawasan Cagar Biosfer Dunia. Status terakhir inilah yang kabarnya jarang diketahui publik, padahal cakupannya menjangkau hampir seluruh wilayah Manggarai Barat.
“Konsekuensi dari status tersebut adalah bahwa setiap aktivitas di wilayah ini semestinya mengacu pada prinsip-prinsip keberlanjutan, kesetaraan penghasilan, serta keseimbangan antara manusia, alam, dan budaya,” kata Chef Michael.
Baginya, pelestarian wilayah bukan semata alam atau komodo saja, melainkan juga manusia sebagai bagian dari ekosistem itu sendiri. Kesadaran pemikiran inilah yang mendasari Chef Michael mendirikan TKG dengan masakan tradisional khas Manggarai sebagai identitas dan sajian utama. Sebab, warisan pangan lokal sudah jarang ditemui dan nyaris terlupakan bahkan oleh orang Manggarai sendiri. Seolah sudah jadi cerita legenda yang luput dari realitas sehari-hari. Ia mencontohkan Tibu, makanan berbahan dasar daging sapi, ayam, atau babi, dengan olahan sayur talas atau singkong yang dimasukkan dalam ruas bambu dan dibakar; serta Dojang, hidangan perpaduan jantung pisang, daging ayam, babi, atau seafood, dengan bumbu bawang merah, jahe, dan parutan kelapa.
Oleh karena itu, Chef Michael berupaya menghidupkan kembali kekayaan kuliner Manggarai itu dengan pendekatan dan segmentasi yang berbeda. Tidak hanya sekadar menyajikan, tetapi juga menceritakan latar belakang makanan dan kebudayaan yang melekat padanya, sebagai bagian dari gerakan gastronomi.
Di mata turis, Labuan Bajo lekat dengan wisata menyelam, liveaboard di atas kapal berkeliling pulau, atau sekadar tujuan berlibur. Sebaliknya, Chef Michael yang lahir dan besar di daerah pegunungan, lebih memilih mengangkat identitas gastronomi dengan perspektif masyarakat gunung, seperti sawah, kebun kopi, dan ladang-hutan di lereng gunung. Ia berupaya menciptakan pengalaman kuliner yang autentik dan mungkin bisa menjawab kebutuhan kuliner wisatawan yang datang.
Maka, TKG ia jadikan lebih dari sekadar tempat makan, tetapi juga ruang pertukaran edukasi dan budaya, baik untuk kalangan pengunjung domestik maupun mancanegara. Para pengunjung pun juga bisa terlibat untuk menyiapkan masakan dan belajar memasak, serta memahami metode from farm to table—mengolah bahan makanan dari ladang hingga sampai ke meja makan. “Harapannya, semakin banyak orang yang bisa memasak makanan ini, maka akan semakin kuat pula upaya pelestariannya,” ujar Chef Michael.


Citra Kader (kiri) dan Michael Irawan menjelaskan kepada peserta Simpang Belajar tentang komoditas yang dibudidayakan di kebun sebagai bahan makanan lokal/Dokumentasi Simpang Belajar
Sejalan dengan Chef Michael, Citra Kader selaku pemilik dan pengelola Lompong Cama, restoran di dekat pesisir utara Manggarai Barat, juga membawa misi pelestarian pangan lokal Manggarai dengan caranya sendiri. Chef Citra, sapaannya, mengombinasikan masakan pesisir dan pegunungan.
Sebagai keturunan Bugis, Chef Citra menciptakan akulturasi kuliner dari Sulawesi dengan perpaduan bahan-bahan lokal Manggarai Barat. Sebab, Labuan Bajo dulunya juga merupakan titik pertemuan antarsuku Nusantara, di antaranya suku Bugis, melalui pelayaran untuk migrasi maupun perdagangan.
Salah satu yang ia kerap buat adalah Kempalo, makanan asal Sulawesi berbahan dasar beras ketan yang dibungkus daun kelapa dan biasanya hanya ada saat hari raya. Di lingkungan sekitarnya, kempalo sudah jarang dibuat karena memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dan janur kelapa yang bagus hanya ditemui saat curah hujan tinggi. Terlepas dari itu, daun kelapa sebagai pembungkus dan pengikat kempalo mengandung kearifan filosofinya tersendiri, yaitu nilai kebersamaan.
Kuliner lokal lain yang sering dibuat dan sangat khas Manggarai (terutama daerah pesisir) adalah ikan kuah asam. Bahan baku utamanya cukup banyak, salah satunya ikan kembung (Rastrelliger sp.), yang dalam bahasa lokal disebut ikan kombong. Pada aspek nutrisi, Fish Quarantine Agency dalam Domili dkk (2020) menyebut ikan kembung kaya akan omega-3 (2,6 gram) dibandingkan dengan ikan salmon (1,4 gram)—notabene didaku sebagai superfood, sedangkan salmon tidak ditemukan di perairan Flores. Omega-3 bermanfaat untuk kecerdasan otak serta kesehatan jantung dan pembuluh darah.
Tidak hanya ikan kombong. Jenis ikan lainnya seperti cakalang (Katsuwonus pelamis) maupun tongkol (Euthynnus affinis) juga bisa dijadikan bahan baku utama ikan kuah asam. Ketersediaan ikan tergantung pada musim ikan dan cuaca, yang belakangan sering tak menentu.
Ikan-ikan tersebut selain dibeli di TPI Labuan Bajo, bisa juga didapatkan di Pasar Rakyat Batu Cermin. Menurut Chef Citra, pasar tradisional memiliki peran penting dalam membangkitkan gerakan gastronomi lokal. “Ketika kita menceritakan tentang pangan di daerah itu, kita tentunya harus mengetahui [di mana] pasarnya,” kata Chef Citra sekaligus mengenalkan konsep ‘dari pasar ke piring’.
Sebagai bumbu utama ikan kuah asam, karena sulit menemukan asam di pegunungan, ia biasa berkreasi dengan bahan-bahan seperti jeruk nipis, mangga, belimbing, dan tomat. Ketersediaan bahan-bahan tersebut tergantung pada musim yang sedang berjalan. Memasak menyesuaikan musim inilah yang jadi ciri khas Lompong Cama, sehingga Chef Citra pun memiliki kalender masak sendiri dalam 12 bulan. Ini juga sebagai upayanya beradaptasi dengan perubahan iklim.
“Penting sekali mempelajari musim, karena itu bisa jadi tantangan buat saat ada perubahan iklim. Kita harus membuat branding makanan lokal itu bagus agar dikenal oleh banyak orang dan bisa diketahui oleh generasi setelah kita,” tutur Chef Citra.
Meski baru beroperasi sembilan bulan, Lompong Cama telah berusaha menerapkan praktik-praktik konservasi lingkungan agar ekosistem dapur terintegrasi dengan sumber bahan baku dan pengolahan limbahnya. Di sini tidak hanya dapur saja, tetapi juga ada areal kebun untuk bercocok tanam aneka komoditas yang bisa memasok bahan-bahan makanan, seperti bunga rosela (untuk sirup), ubi Ende, pepaya lokal dan pepaya California, pisang Ambon, jeruk, sawo, nangka, cermele, kelor, dan zaitun (olive oil).
Kemudian ia juga menerapkan pemilahan sampah organik dan anorganik untuk mengolah sisa-sisa bahan makanan, sampai dengan memelihara kambing dan memanfaatkan daun-daun kering untuk menghasilkan kompos. Kemandirian tersebut ia bangun untuk mendukung konsumsi pangan berkelanjutan. Selain itu juga bisa meminimalisasi lonjakan harga beberapa bahan makanan yang mungkin sedang langka di pasar.

Langkah maju lewat orang muda Manggarai Barat
Keresahan yang memicu gerakan gastronomi kedua chef tersebut disampaikan kepada para peserta Simpang Belajar: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements (WCGM). Simpang Belajar merupakan kegiatan lokakarya yang diselenggarakan oleh Konsorsium Simpul Pangan, yang dipimpin Pamflet Generasi (Pamflet) dan bekerja sama dengan Rombak Media.
Lokakarya yang berlangsung 21–23 April 2025 tersebut merupakan kegiatan kedua, setelah Simpang Belajar: Co-Creation City Vision pada 11–14 November 2024 lalu. Kegiatan literasi sistem pangan berkelanjutan tersebut merupakan bagian dari program Urban Futures—program global lima tahunan yang diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis). Di Indonesia, selain Manggarai Barat, Urban Futures juga berlangsung di Kota Bandung, Jawa Barat.
Pada lokakarya pertama, Dicky Senda (Komunitas Lakoat Kujawas) hadir sebagai fasilitator kunci, didampingi Musfika Syam (Videoge Arts & Society) selaku co-fasilitator. Dalam kegiatan, sebanyak 15 orang muda Manggarai Barat, yang menamai dirinya sebagai peserta Uma Lestari, mengungkapkan keresahan serupa dengan Chef Michael dan Chef Citra terhadap hilangnya beberapa komoditas pangan lokal.
Para peserta pun mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya. Di antaranya perubahan pola makan dan preferensi masyarakat yang lebih memilih makanan instan, hilangnya pengetahuan tradisional tentang cara mengolah bahan pangan lokal, dan minimnya promosi atau nilai ekonomi dari pangan lokal tersebut.
Lewat pendampingan fasilitator, kelompok-kelompok Uma Lestari itu kemudian mencetuskan beberapa ide aksi berbasis kolaborasi sebagai tawaran solusi untuk mengikis keresahan dan permasalahan yang ada. Ide-ide tersebut antara lain:
- Jelajah Kampung: Konsep ekspedisi kampung yang berfokus pada pengarsipan potensi lokal, dirancang untuk menarik minat generasi muda.
- Cooking Class: Program pelestarian budaya pangan lokal melalui kelas memasak yang melibatkan wisatawan dan anak muda sebagai peserta.
- Agro City: Rencana tata kelola kota berbasis pertanian yang mengintegrasikan komunitas muda dan investor untuk mendukung pertanian berkelanjutan.
- Produk Pangan Lokal (UMKM): Pemanfaatan bahan pangan lokal sebagai dasar pengembangan produk inovatif untuk mendukung pelaku UMKM.
- Komunitas PPA Labuan Bajo: Pembentukan komunitas pecinta alam yang fokus pada pelestarian lingkungan di kawasan Labuan Bajo.
Terbentuknya gagasan-gagasan semacam itu turut membuka pemikiran, bahwa selain menyadari nilai lebih dari potensi pangan lokal tradisional, kolaborasi bisa memperbesar peluang membangkitkan kembali gastronomi Manggarai Barat. Salah satu peserta, Ani, menyatakan pengalaman mengikuti kegiatan Simpang Belajar menginspirasinya untuk terus mendorong aksi nyata di komunitasnya.
Sebagai informasi, Ani merupakan pendiri dan pengelola inisiatif lokal Kebun Belajar di Manggarai Barat. Di Kebun Belajar, ia melibatkan dan memberdayakan mama-mama (warga setempat), serta membuka kelas memasak sebagai upaya membumikan pangan lokal. Selain itu Ani juga ingin lebih banyak membuat kelas edukasi untuk anak-anak sekolah, dengan tujuan bisa mengenal keberadaan pangan lokal sedari dini.
“Kami belajar bahwa bekerja bersama adalah cara untuk menciptakan dampak yang lebih besar. Dengan kolaborasi, setiap suara dan ide bisa menjadi solusi nyata bagi tantangan di sekitar kita,” kata Ani.
Bisa dibayangkan jika inisiatif lokal yang sudah ada dikolaborasikan dengan inisiatif-inisiatif lain, berdasarkan ide-ide yang keluar selama kegiatan Simpang Belajar. Maka, tampuk harapan pelestarian pangan lokal Manggarai Barat berada di tangan Ani dan orang-orang muda lainnya. Kesinambungan visi sistem pangan perkotaan dan kampanye gastronomi melalui konten media sosial bisa terwujud. Kiprah The Kitchen Garden dan Lompong Cama, yang dipadukan dengan gebrakan orang-orang muda lewat dua kegiatan Simpang Belajar, patut dikatakan sebagai momentum yang tepat untuk membangkitkan kembali gastronomi lokal Manggarai Barat.
Sejumlah contoh hasil produksi dan publikasi konten pangan lokal tentang Dojang yang diolah di The Kitchen Garden (kiri) dan ikan kombong kuah asam di Lompong Cama karya para orang muda peserta Simpang Belajar: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements 2025/Instagram Gandeng Pangan
Hal ini diperkuat oleh riset Suprastayasa dkk (2024) yang melakukan rekonstruksi kuliner lokal untuk memperkuat daya tarik dan jenama wisata gastronomi Manggarai Barat, khususnya Labuan Bajo. Menurut Suprastayasa dkk, perkembangan pariwisata di Labuan Bajo memang membawa perubahan yang seakan sulit dibendung, tetapi upaya mempertahankan warisan kuliner lokal harus terus ada di tengah tantangan tersebut.
Tim riset Politeknik Pariwisata Bali itu memberi rekomendasi kunci kepada sejumlah pelaku usaha restoran atau hotel di Labuan Bajo. Antara lain menyusun menu-menu lokal tersebut dalam konsep table d’hote (layanan pintasaji), yang menyajikan menu lengkap dengan harga tetap. Tak terkecuali menampilkan informasi tentang aroma, tekstur, nutrisi, tampilan makanan yang dihidangkan, hingga mengelompokkan jenis makanan menjadi appetizer, soup, main course, dan dessert.
Selain yang sudah disebutkan oleh Chef Michael dan Chef Citra, Suprastayasa dkk menambahkan, kuliner lokal Manggarai Barat yang patut mendapat tempat lebih di antaranya jagung bose (jagung ketan kering dan jagung kuning yang digiling kasar, direbus sampai empuk menggunakan santan ditambah garam dan merica), nasi kolo (nasi campur kelapa parut, cabai, rempah-rempah dan biasa disajikan saat acara adat), roti kompyang (roti tradisional dari adonan tepung terigu, gula dan mentega, serta tambahan wijen), dan rebok (kudapan dari tepung jagung, beras, dan parutan kelapa). Kemudian ada sayur-sayuran yang mengandalkan olahan singkong dan pepaya, seperti lomak dan rumpu rampe.
Seperti disampaikan Chef Michael, gastronomi lokal Manggarai Barat pun bisa menjadi potensi sendiri sebagai bagian tak terpisahkan dari aktivitas pariwisata di Labuan Bajo. Potensi ini seakan diamini oleh Basuki dan Sari (2024), yang menyatakan perlu ada kolaborasi multipihak untuk mendukung gerakan gastronomi tersebut. Bahkan tidak cukup hanya dengan konsep penta-helix yang melibatkan lima elemen utama seperti selama ini umum digalakkan—pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media; tetapi nona helix.
Menurut Basuki dan Sari, nona helix merupakan sebuah model sinergi yang dianggap pas untuk kampanye wisata berbasis gastronomi, sebagai alternatif untuk melestarikan eksistensi pangan lokal di Manggarai Barat. Sembilan unsur pemangku kepentingan yang harus duduk bersama dan terlibat di dalamnya adalah pemerintah, pengusaha, pekerja, pemasok, pakar, pemerhati, penikmat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan teknologi informasi.
Di masa yang akan datang, kolaborasi multipihak tersebut diharapkan bisa memberi dampak positif yang bisa menjadikan Manggarai Barat memiliki sumber pangan yang berkelanjutan, melindungi identitas lokal melalui pelestarian tradisi pangan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui ekosistem pangan yang inklusif dan inovatif. Tidak ada lagi ingatan atau palet rasa yang terputus antara generasi muda Manggarai Barat dengan keanekaragaman pangan lokal yang diwariskan orang-orang tua terdahulu.
Referensi:
Basuki, E. A., dan Sari, I. R. (2024). Traditional Gastronomy as Marine Tourism Attraction in East Nusa Tenggara Province (Studies Region City Kupang and Labuan Bajo Regency West Manggarai). The Journal Gastronomy Tourism, Vol. 11, No. 1, 2024. DOI: 10.17509/gastur.v11i1.71441.
Domili, I., Labatjo, R., Ntau, L.A., Anasiru, M.A., & Arbie, F.Y. (2020). Quality test of long-jawed mackerel (Rastrelliger sp.). Food Research, 4 (3): 926–931. DOI: 10.26656/fr.2017.4(3).418.
Suprastayasa, I. G. N. A., Rumadana, I. M., Sabudi, I. N. S., Kalpikawati, I. A., Wiryanata, I. G. N. A., Febrianto, I. G. A., dan Pinaria, N. W. C. (2024). Rekonstruksi Kuliner Lokal untuk Memperkuat Branding Makanan Tradisional Labuan Bajo. Jurnal Gastronomi Indonesia, Vol. 12, No. 1, Juni 2024. P-ISSN 2302-8475, E-ISSN 2581-1045. DOI: 10.52352/jgi.v12i1.1361.
Artikel ini merupakan bagian Behavioural Change Campaign (BCC) dari program Urban Futures.
Foto sampul: modul kegiatan Simpang Belajar 2025/Dokumentasi Simpang Belajar
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.