Keindahaan alam Norwegia agak mirip dengan Indonesia. Jika di Indonesia banyak sawah luas membentang dengan tanaman padinya, di Norwegia banyak padang rumput hijaunya. Gunung-gunungnya pun sama indahnya, begitu juga sungai, pantai, maupun air terjunnya.

Soal ekspresi budaya juga ternyata tak jauh-jauh amat bedanya. Alam perhantuan, misalnya. Jika Indonesia punya “sundel bolong”, Norwegia punya “peri”. Nah, ceritaku kali ini adalah tentang pengalamanku melihat “peri” di Norwegia.


Kereta api buatku bukanlah sesuatu yang aneh. Jika bepergian ke Bandung, ke daerah-daerah di Jawa Tengah, mapun ke Jawa Timur, aku kadang menggunakan moda transpor ini. Enaknya naik kereta api, jika dibandingkan dengan bus atau pesawat terbang, misalnya, adalah kita tak cuma bisa duduk manis di bangku, namun juga bisa bebas berjalan ketika moda transpor ini sedang melaju. Selain itu, pemandangan yang bisa dilihat juga biasanya elok.

Jalan seperti Kelok 9 dekat jalur kereta Flam, Norwegia/Ruth Sandra Devi

Pada suatu hari yang dingin di musim panas, aku naik kereta api di sebuah desa kecil di Norwegia. Namanya Flam. Tunggu—hari yang dingin di musim panas? Aku tidak salah ketik. Sekalipun sedang musim panas, suhu udara memang dingin sekali, bisa mencapai 0 derajat Celsius. Bisa dibayangkan sendiri betapa dinginnya musim dingin.

Flam sendiri menawarkan dua hal pada para turis, yaitu pengalaman melihat fjord naik kapal (fjord cruise) dan pengalaman melihat keindahan alam naik kereta api (panoramic train). Untuk yang kedua ini, jendela kereta apinya sengaja dibuat demikian besar agar turis lega memandang ke luar.

Salah satu desa yang dilewati saat perjalanan naik kereta/Ruth Sandra Devi

Perjalanan kereta panoramik ini dimulai di Flam, terus ke Stasiun Myrdal, lalu kembali ke Flam. Jarak antara Flam dan Myrdal sekitar 20 km saja dan ditempuh selama satu jam. Perbedaan ketinggian antara kedua tempat itu membuat kereta mesti melaju menanjak dan menurun. Flam hanya 2 mdpl, sementara Myrdal 866 mdpl.

Pemandangan yang kulihat dari jendela kereta, sebagaimana di Indonesia, juga indah. Agak-agaknya pemandangan indah itulah yang dijual oleh Norwegia pada para turis. Aku dipukau gunung-gunung yang tinggi, lembah, sungai, terowongan yang membelah bukit, dan desa-desa yang cantik. Sekali waktu aku melihat jalan berliku yang mengingatkanku pada Kelok 9.

Sekitar 5 km sebelum sampai di Myrdal, kereta tiba-tiba berhenti. Para penumpang berebut turun dari kereta. Aku pun ikut turun untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata kereta memang sengaja berhenti di situ untuk memberikan kesempatan pada para turis melihat sebuah air terjun cukup besar. Suara air yang berjatuhan bergemuruh. Air terjun itu bernama Kjosfossen. Orang-orang pun sibuk berfoto dengan latar belakang air terjun.

Sedang asyik berswafoto, sayup-sayung telingaku mendengar suara orang bernyanyi. Iya, menyanyi! Diiringi suara alat musik pula! Kombinasi keduanya bikin suasana jadi mistis dan bikin bulu roma merinding. Lalu, di sana, berdekatan dengan air terjun, tiba-tiba saja muncul sesosok wanita bergaun merah. Dengan rambut putih yang panjang terurai, ia menari-nari di atas apa yang tampak seperti reruntuhan bangunan. Makin menegangkan saja!

Rupanya itu adalah atraksi. Sosok berbaju merah itu manusia yang berpenampilan seperti huldra, sosok mitologis Nordik semacam “peri” yang tinggal di hutan. Penampilannya sebelas-dua belas dengan sundel bolong—ada lubang di punggungnya! Tapi, hulder punya ekor.

Huldra di AIr Terjun Kjosfossen/Ruth Sandra Devi

Atraksi hulder menari-nari di depan Air Terjun Kjosfossen itu sengaja dibikin agar turis mendapat pengalaman yang berkesan dalam perjalanan naik kereta itu. Memang benar, sih, “peri” yang menari-nari itu bikin aku tak mampu melupakan perjalanan ke Flam.

Setelah berhenti sekitar 10 menit untuk melihat peri, perjalanan berkereta dilanjutkan ke Stasiun Myrdal. Berhenti tidak lama di Myrdal, kereta kembali lagi ke Flam.

Stasiun Myrdal/Ruth Sandra Devi

Saat tiba di Kjosfossen, kereta berhenti lagi, dan sosok peri tadi muncul lagi. Sayangnya, nyanyian dan sosoknya tetap sama. Kalau di Indonesia, pastilah akan bervariasi. Misalnya, pada perhentian pertama yang muncul ada gending Jawa beserta penari dengan baju kebayanya. Begitu balik lagi, lagunya ganti jadi lagu Papua. Membayangkannya saja aku sudah ingin sekali mencoba kereta itu.

Tinggalkan Komentar