TRAVELOG

Melihat Ritual Rokat Bhuju’ di Sumenep

Angin siang itu nyaris tak terasa. Panas lumayan menyengat, berbintiklah keringat di kening, juga di seluruh tubuh. Dedaunan di tepian jalan hanya bergerak pelan oleh angin kecil dari tenggara.

Namun, suasana terik dan gerah itu tak menyurutkan langkah kami. Aku dan puluhan warga Dusun Bungduwak, Desa Gapura Timur, tetap melangkah atur haluan. Menuju sebuah bukit yang sejak kecil sudah akrab dalam cerita tetua kami: Bukit Ra’as.

Melihat Ritual Rokat Bhuju’ di Sumenep
Suasana pembagian makanan di dalam bhuju’/A. Warits Rovi

Waktu Pelaksanaan Rokat Bhuju’

Hari itu adalah Jumat terakhir di bulan Syakban. Waktu yang sejak dulu kami tahu sebagai hari pelaksanaan Rokat Bhuju’, sebuah ritual sakral yang diwariskan turun-temurun oleh para leluhur. Rokat artinya ruwatan, bhuju’ artinya tempat makam keramat. Jadi, rokat bhuju’ adalah ruwatan tempat makam keramat.

Begitu salat Jumat selesai, banyak jemaah yang tidak melangkah pulang, tapi bergegas ke lereng bukit. Jalan setapak yang menanjak itu seperti memanggil-manggil. Orang-orang dari berbagai arah berjalan sambil mengobrol, kadang tertawa, kadang diam dengan wajah teduh. Ada semacam energi yang membuat semua terasa khidmat sekaligus hangat.

Aku masih ingat, dulu ketika kecil, aku hanya ikut-ikutan. Tak paham apa arti semua ini. Tapi sekarang, setelah dewasa, setelah kehilangan kakek, setelah melihat bagaimana hidup kadang tak selalu mudah, aku mulai paham bahwa rokat bhuju’ bukan sekadar tradisi, melainkan ikhtiar spiritual untuk menyambung diri dengan yang tak terlihat tapi dirasa: berkah para leluhur dan perlindungan dari Yang Mahakuasa.

Dua Makam Keramat di Bhuju’ Ra’as

Ya, kami terus berjalan menuju puncak Bukit Ra’as. Di puncak Bukit Ra’as terdapat dua pusara yang tak biasa. Nisannya tidak terbuat dari semen atau marmer, tapi hanyalah susunan batu-batu dengan bangunan keliling berukuran 2×3 meter yang juga dari material susunan batu. Di situlah Kiai Ketto dan Nyai Jhenning dimakamkan. Nama-nama yang dari kecil sering kami dengar dalam dongeng sebelum tidur. Konon mereka adalah tokoh yang sangat alim dan menjadi panutan masyarakat dusun ini.

Ibu pernah bilang, “Kalau hidup ingin selamat, jangan lupa pada bhuju’. Di sana ada leluhur yang selalu mendoakan kita.” Entah benar entah tidak, tapi keyakinan itu begitu kuat membentuk budaya warga kami. Rokat bhuju’ adalah wujud dari keyakinan itu. Bukan menyembah makam, melainkan menghormati jasa mereka yang lebih dulu menabur benih kebaikan di bumi tempat kami berpijak ini.

Sesajen dan ayam berisi jerami menjadi salah satu bahan ritual dalam rokat bhuju’/A. Warits Rovi

Aneka Makanan dan Sesajen saat Rokat Bhuju’

Perlahan, kami tiba di area bhuju’. Panitia sudah sejak pagi sibuk menata tempat. Ada tikar-tikar panjang digelar. Di sekitar terdapat cagak bambu menyangga hamparan terpal—sebagai tenda darurat—yang diikat ke samping, pada ranting pohon. Di bagian tengah, sesajen sudah tertata rapi: bubur ketan merah, tumpeng, aneka jajan tradisional tujuh rupa, dan ketupat dalam ancak, bersisian dengan irisan pandan dan kelopak bunga. Di dekatnya, ada mangkuk berisi air bunga yang wangi semerbak. Kumkuman, begitu kami menyebutnya.

Juga ada damar kambhang; lentera dari lepek sederhana, dengan sumbu dari kapas yang dicelupkan ke minyak kelapa. Nyala apinya kecil, tapi dalam kepercayaan orang Madura, lentera itu bisa menunjukkan isyarat nasib. Jika cahayanya terang dan tenang, pertanda baik. Jika redup atau tiba-tiba padam, orang-orang akan saling pandang, diam, seperti menerima peringatan.

Di sisi kanan pintu bhuju’, ada miniatur ayam hitam digantung pada batang bambu. Sekilas tampak seperti ayam sungguhan, tapi sebenarnya tubuhnya sudah dikosongkan dan diganti dengan jerami. Ayam ini dipercaya sebagai tempat pulang makhluk gaib agar tak mengganggu warga dusun. Sepintas, hal itu nyata adalah sebatas buah imajinasi. Tapi dalam budaya kami, simbol adalah bahasa yang punya daya.

Sejak pagi, kentongan dibunyikan berkali-kali oleh petugas rokat. Suara “tok…tok…tok…” bersahut dari satu sudut ke sudut lain dusun. Suara yang tidak menakutkan, justru seperti suara yang memanggil jiwa. Kentongan itu, kata orang tua dulu, juga sebagai isyarat bahwa semua alam—yang tampak dan tak tampak—diberi tahu bahwa manusia akan mengadakan ritual rokat bhuju’.

Aku memperhatikan makanan yang dibawa warga. Semua sudah hafal apa yang harus dibawa: nasi putih dengan lauk ayam santan, telur dadar, parutan kelapa, bubur ketan merah, dan tentu saja cucur kuah tengguli yang legit dan khas. Makanan ini bukan sekadar sajian, melainkan bagian dari ritual. Ia adalah bagian dari doa. Bahkan dari rasa pun, kita bisa belajar tentang keseimbangan antara manis, gurih, dan asam—simbol hidup manusia yang tidak satu rasa saja.

Melihat Ritual Rokat Bhuju’ di Sumenep
Bubur ketan merah, makanan khas rokat bhuju/A. Warits Rovi

Acara yang Dilaksanakan saat Rokat Bhuju’

Acara dimulai dengan pembacaan surat Yasin bersama. Suara-suara tua dan muda menyatu. Tak ada pengeras suara, tapi lantunan itu bergema, melantun pelan namun menggetarkan. Setelah Yasin, doa pun dipanjatkan. Doa keselamatan, doa panjang umur, doa agar dusun tetap aman, dijauhkan dari penyakit, dari gagal panen, dari sengketa, dari makhluk jahat. Semua khusyuk dengan tangan diangkat setara dagu, guna menegaskan keinginan yang ditunggu-tunggu.

Lalu, kami makan bersama. Suasana menjadi semacam pesta rakyat yang sakral—penuh rasa syukur, tanpa musik keras, tanpa hiruk-pikuk modernitas. Semua seolah seperti kembali ke masa lalu, dan menyalami para pendahulu.

Selesai makan, para tetua mengambil air kumkuman dan menyiramkannya ke pusara. Sebagian air dimasukkan ke wadah besar. Warga antre mengambil air itu, ada yang langsung meminumnya, ada yang membasuhkan ke wajah, dan ada juga yang membawa pulang. Ibu di rumah biasanya akan menyiramkannya ke pekarangan, ke sudut rumah, ke tangga dapur, bahkan ke tanaman yang ada di ladang, kebun, dan sawah supaya berkah. Selain itu, air kumkuman dari rokat bhuju’ juga dipercaya bisa jadi perantara kesembuhan penyakit.

Rokat bhuju’ bukanlah sekadar ritual kosong. Ia adalah warisan. Ia adalah pelajaran yang tak tertulis di buku pelajaran. Lewat rokat bhuju’, kami belajar tentang gotong royong, tentang rasa hormat kepada yang lebih tua, tentang hidup bersama tanpa prasangka buruk, juga tentang bagaimana menghadirkan nilai-nilai luhur masa lalu untuk tetap berintegrasi dengan riuh kehidupan masa kini.

Di tengah dunia yang serba mekanis dan digital, ritual ini adalah ruang menempa keteguhan spiritual lewat kelindan transformatif dengan tradisi leluhur. Ia adalah ruang hening tempat kita bisa merunduk, menengok akar, dan menyadari bahwa kita tak hidup sendirian. Ada doa-doa yang mungkin tak terdengar tapi mengiringi. Ada roh-roh kebaikan yang menjaga. Ada sejarah yang hidup di setiap langkah kita.

Setelah acara selesai, aku dan para warga turun perlahan dari bukit. Senja mulai merambat. Udara tak lagi gerah. Dingin mulai merambat, seolah menyambut langkah kami yang baru saja selesai menunaikan janji kepada leluhur.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

A. Warits Rovi

A. Warits Rovi tinggal di Sumenep, Guru MTs Al-Huda II Gapura yang hobi menulis sastra, seni, dan budaya. Selain menulis di media massa, penyuka makanan "Pattola" ini menerbitkan beberapa buku: “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Kumpulan Cerpen, Basabasi, 2018), "Sepasang Cinta Orang Gila" (Kumpulan Cerpen, Hyang Pustaka, 2023). Buku puisinya adalah “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020), “Bertetangga Bulan” (Hyang Pustaka, 2022). Sedangkan buku puisinya yang berjudul “Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia berkesenian di Sanggar 7 Kejora dan Komunitas Damar Korong.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep