Jika kamu mengetik “Yogyakarta” atau “Jogja” di mesin pencari, barangkali yang paling pertama muncul adalah cerita soal Malioboro dan Beringharjo. Berikutnya, mungkin yang keluar adalah gunung, embung, air terjun, hutan pinus, pantai berpasir putih, atau aneka festival.

Nyatanya, selain atraksi wisata alam dan belanja, Yogyakarta juga punya tempat-tempat lain yang menarik untuk didatangi. Lokasi-lokasi itu takkan hanya menghibur matamu tapi juga akan menambah informasi dalam katalog pengetahuanmu.

gapura masjid gedhe mataram
Gapura Masjid Gedhe Mataram Kotagede/Azizah Nur Rahmah

Contohnya Kotagede. Kawasan yang berada di sebelah tenggara Kota Yogyakarta itu—yang sebagiannya secara administratif masuk dalam Kabupaten Bantul—adalah saksi sejarah. Jalan-jalan dan gang-gang kecil di sana, juga bangunan-bangunan tua yang sampai sekarang masih terpelihara, tahu betul masa lalu Yogyakarta.

Kalau tidak percaya, coba saja mampir ke Masjid Gedhe Mataram, salah satu bangunan tua di Kotagede. Sejarah masjid itu, jika ditarik-tarik, akan membawa cerita ke tahun 1556, ketika Ki Ageng Pemanahan dihadiahi Alas Mentaok oleh pendiri Kesultanan Pajang, Sultan Hadiwijaya, atas keberhasilannya menumpas pemberontakan Arya Penangsang. Kemudian, Ki Ageng Pemanahan bersama anak-anak serta para pengikutnya babat alas dan membangun sebuah desa di kawasan itu. Desa yang diberi nama Mataram itu pun kemudian berkembang menjadi Kerajaan Mataram Islam yang beribu kota di Kotagede.

Sepeninggal Ki Ageng Pemanahan, Kerajaan Mataram Islam pecah menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (juga Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman). Namun, meskipun Kerajaan Mataram Islam sudah lama hilang dari Pulau Jawa, jejak-jejaknya masih bisa ditelusuri di kawasan Kotagede.

kala di pagar masjid gedhe mataram kotagede
Salah satu relief Kala di “benteng” Masjid Gedhe Mataram Kotagede/Azizah Nur Rahmah

Salah satu jejak kerajaan kuno itu adalah Masjid Gedhe Mataram Kotagede. Masjid itu dibangun tahun 1640 semasa pemerintahan Sultan Agung. Menariknya, masyarakat setempat yang zaman dahulu menganut agama Hindu dan Buddha turut serta dalam proses pembangunan itu. Konon, “benteng” tinggi yang mengelilingi masjid itu sengaja dibangun untuk menghormati pemeluk Hindu dan Buddha.

Maka, tidak mengherankan jika ornamen-ornamen Hindu turut menghiasi kawasan masjid. Di gerbang (paduraksa) masjid yang terbuat dari bata merah itu, misalnya, kamu akan menemukan kepala Kala. Dalam cerita pewayangan, Kala adalah raksasa bermata besar dan bertaring yang memiliki sifat tamak. Suatu ketika, sang Kala dikisahkan mencuri air suci (tirta amerta) yang dipercaya bisa membuat hidup menjadi abadi. Namun, ketika sedang menenggak tirta amerta, Batara Guru melayangkan cakram yang memenggal kepala sang raksasa itu. Kepala Kala yang abadi itulah yang kemudian dianggap sebagai “pelahap” matahari saat gerhana.

Memasuki kawasan masjid itu, kamu akan merasakan nuansa Jawa Kuno yang kental. Kesan itu muncul dari bentuk bangunan yang menyerupai pendapa dan langit-langit berupa susunan kayu. Nuansa Jawa yang kental ini berkelindan dengan ornamen-ornamen Islam, seolah-olah menegaskan bahwa budaya dan agama sedari dulu sudah saling menghormati dan menghargai.

Fasad Masjid Gedhe Mataram Kotagede/Azizah Nur Rahmah

Meskipun sudah melewati banyak zaman, keaslian bangunan masjid terus terpelihara sejak dulu kala. Suatu ketika, tahun 1919, masjid ini pernah terbakar. Namun, alih-alih mengubahnya, renovasi yang berlangsung bertahun-tahun tetap mempertahankan keaslian Masjid Gedhe Mataram Kotagede.

Sejarah yang disimpannya membuat Masjid Gedhe Mataram Kotagede menjadi salah satu tujuan wisata religi yang bermakna, yang akan membuat siapa pun sadar bahwa toleransi bukanlah barang baru di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar