Melawat ke Masjid Agung Serang bareng “Wisata Sekolah”

Bis biru itu sudah terparkir di depan sebuah supermarket di daerah Lebak Bulus, Jakarta. Ojek online yang saya tumpangi segera menepi di depannya. Saya turun lalu menghampiri sekelompok perempuan berbaju merah bertuliskan “Wisata Sekolah.” Mereka adalah para pemandu jasa tur yang akan mengantar saya keliling berbagai masjid di Banten selama seharian penuh.

Sebenarnya saya sudah jarang sekali jalan-jalan bersama agen wisata. Soalnya, terkadang saya merasa kurang bebas, terlalu diatur. Saat berwisata, yang saya cari adalah perjalanannya bukan destinasi wisatanya. Saya betah lama-lama duduk di kereta ekonomi sambil ngobrol ngalor-ngidul dengan orang yang baru saya kenal ketimbang menghabiskan berhari-hari di destinasi wisata instagenik hanya untuk swafoto atau berburu foto yang akan panen likes nantinya.

masjid-agung-serang
Gerbang Masjid Agung Serang/Dewi Rachmanita Syiam

Namun, akhir pekan kemarin, Minggu, 26 Mei 2019, saya tertarik untuk ikut perjalanan Wisata Sekolah. Pasalnya paket yang mereka tawarkan lumayan menarik, yakni tur keliling beberapa masjid bersejarah dan ikonis di Banten, dimulai dari Masjid Agung Serang yang berada di Jalan Veteran.

Tak lama setelah tiba di titik kumpul, saya naik bis dan berangkat menuju Serang. Selama perjalanan, saya habiskan waktu dengan mengobrol sama kenalan baru, sambil menyaksikan pemandangan di jendela yang berubah dari hiruk pikuk khas Jakarta menjadi suasana khas Banten yang lebih bersahaja. Becak-becak mulai tampak lalu-lalang di jalanan yang tak begitu lebar, berebut jalan dengan kendaraan-kendaraan pribadi.

masjid agung serang
Masjid Agung Serang tampak dari depan/Dewi Rachmanita Syiam

Mulai dibangun tahun 1870

Dua jam kemudian bis itu berhenti dekat Masjid Agung Serang. Masjid yang juga dikenal sebagai Masjid Ats-Tsauroh (Masjid Perjuangan) ini berada di pusat kota. Letaknya berdekatan dengan pusat perbelanjaan.

Pak Edi, sang pemandu lokal, bercerita bahwa saat hari raya jalanan ini bisa macet total. Kendaraan-kendaraan bisa saling beradu dan arus lalu lintas tak bergerak sama sekali. Melihat jalanan yang tak terlalu besar itu saya jadi memakluminya.

masjid banten
Suasana beranda masjid/Dewi Rachmanita Syiam

Kami dibawa melihat menara masjid setinggi sekitar 50 meter yang dibangun tahun 1956. Bagian atapnya unik, seperti dua menara yang bertumpukan dengan bagian bawah berbentuk oktagon. Kapurnya putih, cukup kontras dengan langit yang hari itu sangat biru. Rasa-rasanya menyenangkan sekali kalau bisa naik ke puncak untuk merasakan sensasi yang dialami muazin zaman dahulu setiap kali mengumandangkan azan.

Dari menara, kami beranjak menuju bangunan utama berupa pendopo dan selasar. Saat mengamati tiang-tiang masjid, saya baru menyadari bahwa umpak alias alasnya menarik sekali. Bentuknya seperti labu.

masjid agung serang
Suasana bagian dalam Masjid Agung Serang/Dewi Rachmanita Syiam

Bagian-bagian lain dari masjid itu, misalnya mezanin dan ruang perpustakaan, juga bikin Masjid Agung Serang makin menawan.

Usut punya usut, rumah ibadah yang dulu bernama Masjid Pegantungan ini pertama kali dibangun tahun 1870 semasa pemerintahan Bupati Serang Raden Tumenggung Basudin Tjondronegoro. Arealnya yang seluas sekitar 2,6 Ha berada di tanah wakaf dari sang bupati. Meskipun sejak didirikan sampai sekarang masjid ini sudah mengalami renovasi berkali-kali, bentuk aslinya masih terpelihara di beberapa sudut.

Usai mengelilingi masjid, kami berhenti dekat pendopo. Hanya beberapa langkah dari tangga, sebuah tenda besar penuh logo sebuah vendor sepeda motor hadir. Rupa-rupanya sedang ada acara yang venue-nya memakan sebagian ruang di halaman masjid. Hening yang sejak tadi kami pelihara kini terasa jadi tak berarti lagi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar