Bertahun-tahun industri manufaktur serta eksplorasi minyak bumi dan gas menghidupi Siak, kabupaten terkaya kedua di Riau. Namun, generasi mudanya tidak mau terlena.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: TelusuRI dan Skelas
Sisa kejayaan Kesultanan Siak seolah masih terasa sampai sekarang. Penanda paling gampang adalah istana kesultanan di daerah Kampung Dalam, Kecamatan Siak, yang kini dibuka jadi museum untuk kunjungan wisata. Struktur bangunan dan koleksi sejarah di dalamnya masih terawat baik.
Tanda lain yang bisa dilihat jelas adalah ketika memasuki Siak Sri Indrapura, ibu kota Kabupaten Siak. Setelah Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah sepanjang 1,2 kilometer, pengendara mobil atau motor akan melewati jalan protokol yang mulus dan lebar. Banyak area publik terbuka di sekitarnya.
Meskipun relatif jauh dari Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau, Siak menawarkan kenyamanan bagi penghuninya. Sumber kenyamanan itu berasal dari industri manufaktur serta pertambangan dan penggalian minyak bumi dan gas (migas). Dua sektor ini menyumbang hampir 68% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Siak. Nilainya mencapai 70 triliun rupiah.
Namun, di balik berlimpahnya nilai ekonomi industri tersebut, tersimpan kekhawatiran dampak eksploitasi yang mengancam kelestarian alam. Mulai dari limbah, pencemaran lingkungan, hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menyisakan problem yang belum sepenuhnya terselesaikan.
Di sisi lain, suara-suara orang muda Siak dari berbagai komunitas bermunculan. Untuk membantu mengatasi masalah-masalah klasik itu, mereka menawarkan sebuah jalan baru bernama ekonomi kreatif. Salah satu ruang kreasi yang muncul adalah Skelas, Sentra Kreatif Lestari Siak.
Sekilas tentang Skelas
Bukan cuma faktor lingkungan. Skelas (baca: sekelas) juga lahir dari keresahan orang-orang muda terhadap perkembangan kepariwisataan Siak yang monoton. Pada 2015, ketika Instagram mulai populer digunakan sebagai media promosi pariwisata daerah, Siak relatif adem ayem. Tak ada sesuatu yang baru.
Noza Rahmad Alditya, komposer musik dan salah satu co-founder Skelas, memandang pemerintah daerah masih memakai gaya lama. Kurang memanfaatkan digitalisasi untuk promosi wisata. “Padahal Siak punya potensi wisata dan budaya yang cukup besar. Potensi generasi muda juga besar,” katanya.
Melihat pemerintah kurang responsif, Skelas berinisiatif ingin membuktikan diri dengan gebrakan kreatif. Termasuk menunjukkan cara mengemas produk pariwisata dan mempromosikannya lebih baik. Salah satunya melalui akun Instagram Explore Siak yang dibentuk Musrahmad alias Igun. Direktur PT Alam Siak Lestari sekaligus inisiator Skelas itu juga merupakan tokoh komunitas muda di Siak. Sejak 2012 ia sudah merangkul banyak komunitas lokal untuk berkolaborasi dalam wadah yang sama.
Noza dan Igun tidak sendiri. Ada tujuh orang muda lainnya dari latar belakang berbeda ikut bergabung menyokong Skelas, sembari tetap menjalankan bidang usaha atau komunitas masing-masing.
Ketujuh orang itu adalah Satria (aktivis milenial dan founder Tumbuh Anak Siak), Cindy Shandoval (arkeolog dan founder Heritage Hero), Adit (desainer grafis dan owner Tilas), Deni (pekerja seni dan owner Batik Zen). Lalu Cerli (ketua Skelas dan owner Suwai), Andrio (pekerja seni dan founder Visit Siak), dan Hendri (web developer dan owner Kakudoko).
Spektrum perjuangan Skelas kemudian berkembang. Kepariwisataan tidak bisa hanya bicara soal destinasi wisata. Banyak aspek multidisiplin di dalamnya dan saling berkaitan satu sama lain.
Semangat gotong royong menjadi motor utama komunitas. Inti gerakannya adalah menjembatani antara komunitas dengan pemerintah. Bukan rahasia umum jika orang-orang muda di komunitas memiliki ide dan kreativitas dalam banyak hal positif, tetapi tidak punya kekuatan, modal, dan fasilitas memadai. Sementara pemerintah berada di posisi sebaliknya. Igun dan kawan-kawan sepakat bahwa kerja sama yang bagus dari masing-masing pihak bisa berkontribusi positif untuk menghasilkan solusi kreatif atas sejumlah permasalahan di Siak.
Cindy (29), yang menjabat koordinator sumber daya manusia Skelas, menyebut saat ini ada tiga fokus utama Skelas, yaitu: (1) membuat pusat informasi dan data potensi ekonomi kreatif, budaya, maupun lingkungan; (2) mendata sumber daya manusia yang punya potensi besar, khususnya generasi muda; dan (3) menjalankan program inkubasi, akselerasi, dan agregator Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Skelas mendorong generasi muda Siak untuk tetap memerhatikan lingkungan dan kelestarian alam saat membuat produk-produk UMKM maupun ekonomi kreatif. Rambu-rambu lestari ini selaras dengan masuknya Kabupaten Siak sebagai salah satu pendiri sekaligus wakil ketua forum Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) pada tahun 2017. Langkah itu akhirnya ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Siak Kabupaten Hijau. Perbup tersebut kemudian ditingkatkan menjadi peraturan daerah (Perda) pada 2022.
Komitmen tersebut didasari oleh pengalaman sulit mengatasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) luar biasa selama 2011 sampai dengan 2015. Siak, yang hampir 58 persen wilayahnya merupakan tutupan lahan gambut, ingin pulih dan membuat program pembangunan dengan pendekatan ekologis. Generasi muda turut berkontribusi di dalamnya melalui diversifikasi karya kreatif atau produk ramah lingkungan.
Potensi produk ekonomi lestari dan tantangannya
Sebagai upaya berkelanjutan, Skelas menyediakan beberapa platform khusus untuk memperluas jangkauan pasar. Termasuk salah satu fokus yang sedang dikerjakan, yaitu program inkubasi, akselerasi, dan agregator Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Tujuannya membawa UMKM Siak naik kelas dan siap berdaya saing, dengan tetap berusaha memerhatikan dampak sosial dan lingkungan.
Pada Januari—Maret 2023, Skelas bekerja sama dengan Pemkab Siak menyelenggarakan program inkubasi UMKM, dengan prioritas utama inkubasi bisnis lestari. Di tahap awal ini, Skelas mendampingi generasi muda yang memiliki ide atau sudah memulai usaha kreatif, khususnya yang telah menggali dan memanfaatkan potensi komoditas ramah gambut. Salah satu yang terbesar adalah sektor pangan atau kuliner lokal.
Acara tersebut bertempat di basecamp atau Kantin Skelas, Mempura, yang berdiri dekat kawasan bekas Tangsi Belanda di tepi Sungai Siak. Cindy mengatakan ajang ini bertujuan untuk sosialisasi program Skelas dan pemerintah dalam pendampingan UMKM, mempertemukan berbagai stakeholder untuk melihat potensi produk UMKM lokal. Sampai dengan tahun ini, terdapat 57 produk dari 21 UMKM yang lolos kurasi selama program inkubasi.
Saat ditemui pagi itu di Siak (28/09/2023), kepada TelusuRI Cindy menunjukkan contoh-contoh produk ramah gambut yang telah berhasil diinkubasi.
“Ini adalah minuman nanas yang kami beri nama Puan Pina. ‘Puan’ artinya perempuan, ‘Pina” itu artinya pineapple (nanas),” terang Cindy. Nanas termasuk tanaman ramah gambut yang kini banyak dikembangkan di Siak, terutama Kecamatan Bunga Raya dan Sungai Apit. Ia menambahkan, “Biasanya nanas diolah oleh teman-teman UMKM sebagai sirup.”
Sebelumnya, produk sirup tersebut disajikan dalam bentuk botol biasa. Proses membuatnya terbilang merepotkan. Harus menuangkan dulu ke gelas dan ditambah air jika kurang manis. Karena kurang efisien, utamanya untuk hidangan saat rapat, dalam sebulan hanya diproduksi 10—20 botol. Itu pun belum tentu laku.
Melalui program inkubasi, teman-teman UMKM dilatih memperbaiki sistem produksi, mengubah bentuk pengemasan dan menyematkan informasi produk di kemasan, serta melengkapi legalitas produk. Akhirnya muncul kemasan baru sirup nanas dengan kemasan kaleng siap minum. Inovasi kemasan dan kemudahan cara minum berpengaruh ke drastisnya peningkatan penjualan drastis lebih dari 100 persen. Sepanjang April—September sudah terjual 5.000 kaleng.
Selanjutnya Cindy memperlihatkan kemojo, kue bolu tradisional khas Siak dengan rasa pandan. Selama diriset, ditemukan sejumlah kendala yang bisa berpengaruh pada kesehatan. “Kue ini untuk orang yang punya program diet kurang sehat, karena tepungnya mengandung santan dan tidak bebas gluten,” jelasnya.
Dulunya kue tersebut hanya dijual saat sudah matang saja dan tinggal makan. Namun, kekurangannya adalah kue menjadi tidak awet. Hanya bertahan tiga hari. Setelah proses inkubasi, dihasilkan perubahan bentuk produk menjadi tepung premix. Produk ini bisa dimasak oleh konsumen di tempatnya masing-masing. Rasanya tetap keluar dan daya tahannya bisa mencapai tiga bulan.
Kue kemojo versi baru tersebut menjadi produk paling inovatif saat inkubasi. Salah satu aspek inovasi paling menonjol adalah penggunaan bahan baku tepung dari bekatul, serbuk halus yang dihasilkan setelah padi ditumbuk. Perubahan bahan baku tersebut merupakan saran dari narasumber lokal maupun nasional selama pelatihan. UMKM produsen bolu kemojo mengambil bekatul itu dari petani padi sawah di Bunga Raya, lalu mengesktraksinya menjadi tepung premix.
“Ini jadi salah satu varian yang cukup recommended dan paling banyak disukai karena cukup sehat,” ujar Cindy.
Tak hanya olahan makanan atau minuman lokal. Di etalase basecamp Skelas juga dijual beberapa produk lainnya, seperti kaus, kerajinan tangan, hingga obat herbal. Untuk memperluas jangkauan penjualan, Skelas bekerja sama dengan toko oleh-oleh atau agen reseller di Pekanbaru. Katalog produk-produk tersebut dapat dilihat secara daring di laman situs kantin.skelas.org.
Cindy mengakui, tantangan besar yang dihadapi adalah memastikan seluruh proses pembuatan produk UMKM mitra Skelas sepenuhnya mempertimbangkan kaidah ramah lingkungan. “Sebenarnya produk kita pun sejauh ini belum bisa seratus persen klir dari hulu sampai hilir itu lestari,” ujarnya.
Sementara yang bisa dilakukan adalah memastikan ketersediaan bahan baku harus menggunakan bahan lokal dan terjangkau. Beberapa item produksi dalam rantai pasok, seperti bahan kemasan, juga masih menyesuaikan harga pasar. Cindy pun belum berani menggaransi, jika sebuah produk yang 100 persen memenuhi konsep ideal (lestari), harganya akan sama murahnya dengan produk biasa.
Adapun untuk mengakomodasi industri jasa sektor ekonomi kreatif, tersedia platform Kawan Skelas (kawan.skelas.org). Sebuah situs yang mempertemukan individu atau kelompok usaha kreatif. Tujuannya mendorong kemandirian ekonomi melalui kegiatan wirausaha. Dan diharapkan terjalin kolaborasi lintas sektor lainnya di Kabupaten Siak.
Kawan Skelas memberi ruang 17 subsektor ekonomi kreatif, yaitu fotografi, desain interior, seni rupa, musik, desain produk, mode (fesyen), film/video, animasi, dan kriya. Kemudian ada periklanan, seni pertunjukan, desain komunikasi visual, televisi dan radio, pengembangan game, arsitektur, penerbitan, aplikasi, dan kuliner.
Sejauh ini sudah ada 38 anggota yang terverifikasi, dan memiliki spesialisasinya masing-masing. Mereka dapat dihubungi melalui saluran komunikasi dan media sosial pribadi terlampir, jika diperlukan portofolio atau informasi lebih lanjut.
Menjawab tantangan dengan kolaborasi
Beragam potensi ekonomi kreatif yang disebut Cindy menguak sisi lain Siak. Banyak peluang lapangan kerja “hijau” yang memiliki prospek cerah. Ia percaya generasi muda lokal, dengan latar belakang beragam, tidak kekurangan ide dan memiliki kapasitas.
“Jika itu dikerjakan bareng-bareng, ide-ide itu akan muncul dan menciptakan inovasi yang lebih banyak lagi,” kata Cindy.
Alumni Arkeologi UGM itu memberi contoh produk pangan, menurutnya, menghasilkan sebuah produk pangan tidak bisa hanya diselesaikan oleh orang teknologi pangan saja. Pasti ada campur tangan dari desainer kemasan produk, fotografer produk, bahkan konsultan pemasaran. Kolaborasi bersama untuk membangun penjenamaan dan menciptakan pasar dari produk pangan tersebut.
Tantangan-tantangan yang dihadapi tidak bisa dianggap enteng. Salah satu yang terberat adalah mengubah pola pikir. Baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat. Penyebabnya antara lain sudah terlanjur nyaman dengan lingkungan yang ada. Noza memiliki analisis menarik soal kenyamanan hidup di Siak yang melenakan.
“Kota ini punya sungai. Habitat dan hutannya bagus. [Tempat tinggal] masyarakat Siak biasanya di depan adalah sungai, di belakang rumahnya adalah hutan. Jadi, kalau mau makan pergi ambil sayuran di belakang, terus mau makan ikan tinggal memancing di sungai,” terangnya, “itu yang bikin orang ini malas [berkembang] dan mindset seperti ini muncul turun-temurun.”
Meskipun orang-orang muda Siak merantau pun, entah untuk studi atau bekerja, orang tuanya tetap menyuruh pulang. Mereka telah menyiapkan rumah, tanah luas; semata melanjutkan “keteraturan” yang sudah mengakar. Di sisi lain, Noza yakin generasi muda itu memiliki mimpi-mimpi besar setelah melihat dunia luar. Akan tetapi, kadang-kadang mereka takut berkarya sesuai panggilan jiwanya.
Belum lagi soal kebijakan pembangunan daerah. Ia menilai pemerintah terlalu fokus pada infrastruktur fisik daripada meningkatkan kapasitas orang-orang muda. “Padahal investasi paling bagus adalah [membangun] sumber daya manusianya,” ujar Noza.
Maka alasan Skelas tercipta dari sembilan orang pendiri pun memiliki filosofi sendiri. Komunitas ini ingin menunjukkan pola gerakan yang dimulai dari langkah kecil, fokus, lalu melebar dan berdampak ke sekitarnya. Menurunkan ego, berkolaborasi demi
“Kita percaya dari 1.000 orang muda di Siak, pasti ada 10 orang yang mikirin Siak,” ucap Cindy yakin. Artinya, memikirkan cara-cara kreatif dan inovatif. Di luar dominasi industri manufaktur dan migas, terselip harapan baru untuk Siak yang tidak itu-itu saja. Lewat Skelas, semangat dan kreativitas generasi muda bisa terus meretas batas. Masa depan Siak lestari ada di tangan mereka. (*)
Foto sampul:
Musrahmad atau Igun (kanan), salah satu pendiri Skelas, memberi penjelasan sejumlah produk UMKM lokal yang telah lolos inkubasi di galeri Sentra Kreatif Lestari Siak/Explore Siak
Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.