“Ada lumba-lumba!” Della setengah berteriak saat melihat ada yang melompat keluar dari laut. Kami yang sebelumnya hanya duduk terdiam saat perjalanan dari Pulau Gorom menuju Pulau Koon di Seram Bagian Timur kaget mendengar celetukannya. Untuk memastikan kebenaran dari ucapan Della yang kadang tak bisa dipercaya, kami sontak mengitari pandangan ke sekeliling speedboat.
Kali ini Della benar. Ada lumba-lumba yang berenang di sisi kiri perahu kami. Jarak kami dengan mamalia laut itu tidak terlalu dekat. Punggungnya bermain-main di permukaan laut. Sesekali ia melakukan manuver memukulkan ekornya ke air.
Saya baru tahu ternyata ada alasan kenapa mereka suka berenang mengikuti speedboat. Kapal cepat yang melaju akan menciptakan ombak kecil. Hal inilah yang disukai lumba-lumba. Mereka lalu berenang di antara gelombang, mengikuti arus yang diciptakan perahu. Lumba-lumba pun tidak perlu mengeluarkan energi berlebih untuk berenang; mereka hanya perlu membonceng mengikuti arus. Cerdas!
Melihat kekaguman di mata kami, Michael Sjukrie yang seorang penyelam profesional dan sudah malang-melintang menjelajahi perairan Indonesia berkata, “Percaya atau tidak jika kita beruntung bisa memegang lumba-lumba, maka rasa bahagia dan senang akan berada di sekitar kita selama beberapa hari.” Kami percaya saja yang diomongkan Om Mike. Tapi mungkin benar juga; walaupun hanya melihat punggung mereka dari kejauhan saja saya sudah senang. Bagaimana jika dari dekat?
Ironi sebuah keindahan
Ada satu ucapan lain dari Om Mike yang sangat mengena mengenai bagaimana Indonesia memperlakukan alam bawah lautnya yang memukau: “Kita itu … diibaratkan punya mobil Ferrari. Punya mobil mewah tapi gak bisa memakainya.” Barangkali benar juga.
Napan Yaur berada di sebuah teluk mungil perbatasan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kampung ini hanya bisa dicapai melalui laut. Jarak antara Kwatisore, tempat kami melihat hiu paus kemarin, dan Napan Yaur bisa mencapai 4-5 jam perjalanan jika menggunakan perahu motor biasa. Saya ke Napan Yaur untuk melihat pos pemantauan WWF Indonesia dan rumah Balai Taman Nasional Teluk Cendrawasih. Bersama-sama dengan penduduk lokal, fokus mereka di sini adalah menjaga zona inti di Tanjung Mangguar yang ekosistem alaminya masih begitu asri.
Perjalanan selama beberapa hari dengan speedboat membuat kami tidak seantusias hari pertama. Manusia itu cepat bosan, bahkan untuk pemandangan laut seindah ini. Pergi-pulang, perahu yang saya naiki melalui rute yang sama, yakni zona inti Tanjung Mangguar. Cukup mudah mengenali Tanjung Mangguar dari kejauhan. Cari saja jejeran pulau karang yang membentuk garis. Dari permukaan barangkali kita memang tak bisa melihat apa-apa. Tapi bawah lautnya indah bukan buatan dan dihuni oleh aneka ragam ikan; kawasan ini juga merupakan lokasi favorit ikan untuk melakukan pemijahan.
Untungnya masyarakat mulai paham arti penting ekosistem Tanjung Mangguar. Sampai-sampai dibuat peraturan bahwa siapa pun yang berani mengambil ikan di sini—atau bahkan sekadar bermain—akan dikenai denda.
Tanjung Mangguar sudah mulai kelihatan. Namun perhatian saya tertuju pada sesuatu yang tampak tak asing. Punggung khas lumba-lumba muncul dari permukaan laut yang tenang. Kali ini tidak hanya satu atau dua, tapi sekawanan, lengkap dengan lumba-lumba yang masih kecil—saya melihat ada ekor kecil yang keluar dari dalam laut mencoba memamerkan kebolehannya bermanuver.
Menemani lumba-lumba bermain
Seperti mengerti bahwa perahu menuju arah mereka, lumba-lumba itu mengepung perahu yang saya tumpangi dari kiri-kanan dan depan. Laut yang begitu tenang dan jernih membuat saya leluasa melihat mereka meliuk-liuk di dalam air. Selama ini saya hanya melihat lumba-lumba di televisi. Senang sekali saya diberi kesempatan untuk melihat mereka dari jarak sedekat ini.
Saya bergerak ke sana kemari berharap tak ketinggalan sedikit pun momen yang entah kapan lagi bisa saya saksikan ini. Saya iri pada Evi. Kawan saya itu mendapat spot terbaik melihat lumba-lumba: di haluan kapal. Diterpa angin, ia duduk santai melihat tingkah polah mamalia laut yang kulitnya menjadi inspirasi untuk baju penyelam itu.
Saya tidak tahu persis jenis lumba-lumba yang kami temui. Mereka cepat sekali. Setelah beberapa saat meliuk-liuk di depan perahu kami, tiba-tiba saja mereka hilang dari pandangan. Mereka berenang menjauh.
Namun tak lama kemudian mereka kembali naik ke permukaan. Perahu menuju ke arah mereka sekali lagi. Kawanan lumba-lumba yang muncul hanya yang dewasa saja. Seperti mengajak kami bermain, sesekali mereka mengeluarkan suara seperti bersiul. Konon mereka memang berkomunikasi dengan siulan. (Mereka bahkan dapat saling mengenali hanya dengan siulan.) Tidak lama kami melihat mereka berakrobat. Lumba-lumba yang berada dekat perahu pun menghilang ke dalam lautan. Dari situ saya mulai sadar bahwa sepertinya kami dikadali lumba-lumba; lumba-lumba dewasa ini mengarahkan kami menjauh dari kelompoknya. Pintar sekali!
Namun kecerdasan mamalia ini adalah pisau bermata dua. Di satu sisi kepintarannyalah yang membuat lumba-lumba terus eksis dalam gerbong evolusi makhluk hidup. Namun di sisi lain kecerdasannyalah yang membuat lumba-lumba rentan untuk dieksploitasi manusia, untuk dijadikan hewan sirkus misalnya.