Lalab sudah menjadi bagian dari budaya kuliner masyarakat Indonesia. Menyantap nasi plus ayam goreng, misalnya, serasa kurang sedap bila tak dilengkapi dengan lalab dan sambal. Mentimun, selada, kubis, dan daun kemangi, merupakan contoh lalaban yang umum dijumpai sebagai pelengkap makan.
Meski melalab (mengonsumsi lalab) sudah menjadi budaya komunal masyarakat Indonesia, namun tatar Sunda merupakan daerah yang disebut-sebut sebagai wilayah dengan warga yang memiliki budaya lalab paling kental. Bahkan budaya lalab sangat identik dengan wilayah yang juga dikenal dengan nama Priangan atau Parahyangan itu.
Sebuah buku bertajuk Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték anggitan Dr. Riadi Darwis, M.Pd.—seorang dosen di Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung—sangat menarik untuk disimak karena (salah satunya) mengangkat budaya kuliner lalab di kalangan masyarakat Sunda. Buku ini diterbitkan oleh penerbit UPI Press, Bandung, cetakan pertama Maret 2022.
Sebelumnya, Riadi Darwis juga telah menerbitkan dua buku seri gastronomi tradisional Sunda, yaitu Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon (Selaksa Media, Agustus 2019) dan Khazanah Kuliner Kabuyutan Galuh Klasik (UPI Press, September 2020). Boleh dibilang, buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték ini adalah buku seri gastronomi tradisional Sunda ketiga karya Riadi Darwis.
Riadi Darwis, penganggit buku ini, menyusun buku ini dengan sangat serius. Ia mengaku melakukan riset untuk buku ini selama 31 tahun, baik riset lapangan maupun riset pustaka. Hasilnya sebuah buku yang sangat tebal, sehingga oleh penerbit “terpaksa” dibagi menjadi dua jilid. Jilid pertama setebal (xlix +) 734 halaman dan jilid kedua setebal (lvi +) 336 halaman.
Di buku jilid pertama ini, Riadi Darwis mengajak pembaca berkelana melakukan pelacakan jejak historis–arkeologis lalab pada masa lalu, yakni melalui pembacaan terhadap sejumlah prasasti dan naskah Sunda kuno yang dibagi ke dalam dua bab (bab III dan IV). Dua bab sebelumnya (bab I dan II) berisi pendahuluan dan pengenalan lalab, rujak, sambal, dan tékték dalam budaya kuliner Sunda.
Sejatinya buku ini memang membedah empat kelompok varian kuliner khas Sunda meliputi lalab, rujak, sambal, dan tékték. Namun nampaknya dari keempat varian itu, lalab-lah yang lebih populer di blantika kuliner Indonesia dan identik dengan masyarakat Sunda—dibanding varian lainnya.
Lalab sendiri, mengutip Kamoes Soenda–Indonesia anggitan R. Satjadibrata (1950) didefinisikan sebagai, “Lalab, sajoeran (doen-daoenan at. boeah-boeahan) jang dimakan mentah sambil makan nasi; dilalab: dimakan mentah (sajoeran); ngalalab: hanya makan lalab sadja (bertapa); lalab-roembah: dikatakan kepada barang-barang yang tidak berharga.”
Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya anggitan Ajib Rosidi (2000) mendefinisikan lalab sebagai “Tanaman yang dimakan sebagai teman nasi, disebut juga coel sambel, karena makan lalab hampir harus disertai sambal. Tanaman lalab ada beberapa jenis. Ada yang dipelihara, ada pula yang tumbuh liar; ada yang dimakan pucuknya, ada pula yang dimakan buahnya atau umbinya; ada yang tumbuh sebagai pohon, ada pula yang merupakan tanaman perdu; ada yang dimakan mentah-mentah, ada pula yang harus dimasak lebih dulu, biasanya direbus atau dikukus.”
Soal penulisan kelompok varian kuliner di buku ini, Riadi Darwis memilih mempertahankan penamaan atau ejaan dalam konteks asli budaya Sunda. Lalap (pakai p sebagaimana dalam KBBI V), ditulis lalab (pakai b) sesuai tata penulisan dalam bahasa Sunda. Alasannya adalah ingin lebih mengakrabkan hubungan emosional pada masyarakat Sunda sekaligus menandakan penciri asli yang melekat pada budaya Sunda.
12 Prasasti dan 18 Naskah Sunda Kuno
Ada 12 prasasti yang diriset oleh Riadi Darwis, meliputi Prasasti Panggumulan A dan B, Prasasti Gulung-gulung, Prasasti Taji, Prasasti Watukura I, Prasasti Mantyasih I, Prasasti Mantyasih II, Prasasti Rukam, Prasasti Lintakan, Prasasti Sangguran, Prasasti jeru-jeru, Prasasti Alasantan, dan Prasasti Paradah. Ke-12 prasasti itu, oleh Riadi Darwis, diriset lalu dipetakan sebaran kosakata yang terkait dengan kegastronomian yang menggambarkan budaya kuliner yang berkembang pada masa itu—sesuai zamannya.
Berdasarkan pemetaan kosa kata pada 12 prasasti itu, ditemukan 34 kosa kata atau frasa yang menandakan tradisi masyarakat Nusantara yang sudah sejak lama mengenal pengonsumsian lalab—mentah maupun matang, rujak, dan tékték.
Dan terkait sejumlah prasati yang diriset berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya Prasasti Taji ditemukan di daerah Ponorogo, Riadi Darwis menyebut ada kemungkinan silang budaya terjadi pada masa lalu, berdasarkan bukti adanya hubungan kekerabatan leluhur kerajaan besar di Jawa yang berasal dari wilayah kerajaan di Sunda. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila dalam naskah prasasti yang diriset, meskipun dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun memiliki sisi kesamaan pada kosakata-kosakata tertentu.
Adapun 18 naskah Sunda Kuno yang diriset oleh Riadi Darwis berasal dari naskah transkripsi wawacan dan naskah pantun Sunda. Antara lain naskah Sanghyang Swawarcinta, Para Putera Rama dan Rawana, Pendakian Sri Ajnyana, Kisah Bujanga Manik: Jejak Langkah Peziarah, Swaka Darma, Babad Panjalu, Babad Galuh Imbanagara, dan Pantun SriSadana dan Sulandjana.
Dari setiap naskah itu disigi dan diinventarisasi kosakata gastronomi, baik yang terkait dengan lalab, rujak, sambal, dan tékték, maupun kosakata dalam konteks dunia kuliner pada umumnya. Misalnya pada tilikan naskah Sanghyang Swawarcinta, Riadi Darwis memperoleh data, khususnya tanaman lalab, di antaranya ilalang, kelapa, rumput palias, dan rebung bambu.
Pada naskah itu juga, Riadi Darwis menemukan aneka kosakata terkait dengan konteks kuliner dalam kehidupan sosial maupun keagamaan kala itu. Kosakata itu dapat dikategorikan ke dalam bahan baku pangan, bahan baku papan, jenis sesajian untuk upacara keagamaan, teknik memasak, alat memasak, tempat, profesi, dan kata kerja lainnya.
“Kaya Data”, Antara Kelebihan dan Kekurangan
Sebagai buku hasil riset, buku ini tampil dengan nuansa akademis yang lekat. Sangat kaya data. Daftar kosakata gastronomi yang ditampilkan dari setiap prasasti atau teks naskah yang diriset, tidak hanya yang terkait dengan empat varian makanan yang menjadi tema sentral buku ini, melainkan juga kosa kata terkait dengan konteks kuliner secara umum.
Data yang sangat kaya di satu sisi memang merupakan kelebihan karena pembaca bisa mencecap lebih banyak “fakta-fakta kegastronomian” yang terjadi di masa lalu lewat buku ini. Namun, data yang “sangat kaya” itu sekaligus juga bisa menjadi kelemahan karena substansi dan pokok tema yang diangkat menjadi kurang bisa cepat diakses oleh pembaca.
Apalagi kekayaan data yang ditampilkan tidak diimbangi dengan analisa yang cukup memadai atas setiap prasasti dan naskah Sunda kuno yang diriset. Sehingga pembaca seringkali harus melakukan semacam “dialektika dan interpretasi sendiri” atas data-data yang ditampilkan “apa adanya” oleh penulis.
Bila merujuk pada dua buku seri gastronomi tradisional Sunda karya Riadi Darwis sebelumnya, buku ini pun sepertinya bukanlah sejenis “buku sejarah kuliner” yang disajikan secara populer dengan gaya bahasa yang juga populer—sehingga mudah dinikmati dan dipahami oleh pembaca umum. Alih-alih kekayaan data dan gaya penyajiannya lebih menunjukkan buku ini sebagai buku akademis dan referensial.
Terlepas dari itu, buku ini sangat menarik untuk dibaca dan didalami oleh siapapun yang meminati kajian (sejarah) kuliner tradisional Nusantara, terutama kuliner tradisional Sunda. Meski untuk membacanya, diperlukan kesabaran dan ketekunan tersendiri—sebagaimana penganggit buku ini yang sabar dan tekun melakukan riset dan menuliskannya menjadi buku tebal ini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia