Kuda bendi yang saya tumpangi melaju menembus jalanan utama kota. Embusan angin yang sedikit menusuk kulit membuat Azzahra sesekali memeluk lengannya. Seperti turis baru saja rasanya. Melalui telepon genggam, saya melihat temperatur udara sore itu sekitar 23°C. Cukup dingin bagi kami yang biasa merasakan suhu sore di atas 30°C. Tak mengapa. Tetap menyenangkan. 

Son memberikan nomor telepon genggamnya pada saya. Sebelum menurunkan kami, ia berujar, “Beko kalo nio naiak bendi baliak, a talepon sajo awak, buliah wak japuik sajo ka rumah, jadi indak payah na beko jalan ka pasa mancari bendi, a bia kaliliang-kaliang adiak baliak (nanti kalo mau naik bendi lagi, bisa telepon saya saja, saya bisa jemput ke rumah, jadi tidak perlu susah jalan ke pasar buat cari bendi, nanti bisa keliling-keliling lagi).”

“A jadih pak, beko kalo nio naiak bendi liak, wak talepon apak yo, jan maha-maha ongkosnyo dak, Pak! (Baik, Pak, nanti kalau saya naik bendi lagi, saya akan telepon Bapak, tetapi ongkosnya jangan mahal-mahal ya, Pak!),” jawab saya sembari turun dan memberikan sejumlah uang. 

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2)
Melintasi jalanan dengan menaiki kuda bendi/Atika Amalia

Strategi Kusir Bendi Menarik Penumpang

Semenjak banyaknya transportasi modern yang semakin bertambah, sejalan dengan kepentingan individu yang berbeda, peminat kuda bendi cenderung menurun drastis. Setiap kusir bendi harus memiliki strategi baru untuk memikat penumpang agar memanfaatkan jasa mereka sebagai sarana transportasi. Seperti Son, yang mempunyai trik dengan memberikan nomor telepon pada penumpang bendinya. Ia berharap penumpang tersebut dapat lebih mudah mencari Son ketika ingin kembali berjalan-jalan dengan bendi.

Tarif kuda bendi yang kita bayarkan adalah tarif yang lebih dahulu disepakati di awal. Penentuan penghitungan tarif berdasarkan tujuan dan jarak tempuh. Son harus berpacu dengan penyedia jasa transportasi lainnya, agar kebutuhan rumah tangga dan perawatan kuda dapat terpenuhi.

“Samanjak urang-urang banyak nan mambali onda kredit, lah jarang bana ado nan nio naiak bendi (semenjak orang-orang banyak yang membeli motor secara kredit, jadinya jarang yang mau naik bendi lagi),” tutur Son.

Menurut dia, masyarakat yang tadinya menggunakan jasa bendi, sekarang beralih ke transportasi modern, seperti sepeda motor. Apalagi kendaraan roda dua sangat mudah untuk mendapatkannya. Jika tidak punya uang untuk membeli sepeda motor secara tunai, dealer akan menawarkan kredit kepada calon pembeli. Hal ini semakin memengaruhi minat masyarakat terhadap kuda bendi. 

“Yo kini bendi ko masih ado, tapi indak sabanyak dulu lai, nan banyak naiak bendi ko kini you urang-urang wisata, parantau nan pulang kampuang atau anak-anak ketek (ya, bendi ini sekarang masih ada, tetapi tidak sebanyak dulu, peminat bendi itu sekarang adalah orang-orang wisata, perantau yang pulang kampung, atau anak-anak kecil),” Son berbicara pergeseran segmen penumpang kuda bendi.

Bagi Son, jasa bendi yang ia tawarkan bukan lagi mata pencaharian utama. Pagi hingga siang hari, Son melakukan pekerjaan lain. Baru sorenya mencari penumpang dengan kuda bendi. 

Dalam kesempatan berbeda, Riko, kusir bendi yang pernah saya temui, menceritakan hal serupa. Terjadi penurunan jumlah peminat dan penumpang kuda bendi, sehingga berpengaruh pada jumlah pemasukan harian para kusir. Perawatan dan pemberian pakan untuk kuda-kuda harus terus berjalan, sementara uang masuk para kusir bendi tidak sebanyak dahulu. 

Riko yang berprofesi sebagai kusir bendi lebih dari 20 tahun ini punya strategi pemasaran yang berbeda dengan Son. Setiap penumpang yang naik bendinya akan ia tawarkan untuk perjalanan pulang dan pergi. Jadi, Riko akan mengantarkan penumpang ke tujuan kemudian menunggu penumpangnya selesai. Selanjutnya ia membawa penumpang itu kembali ke tempat awal sehingga bisa menambah pemasukan. 

“Dari pado baliak kosong, jadi ancak tungguan se penumpang ko, rato-rato kan urang-urang ko balanjo sabanta jadi beko pulang baliak baok balanjonyo (Daripada balik harus kosong, mending penumpangnya ditungguin saja, rata-rata mereka belanja kan sebentar jadi nanti pulang kembali bawa penumpang itu lagi dan barang belanjaannya),” ujar Riko.

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2)
Riko memperlihatkan jambul yang terpasang di kepala kuda/Atika Amalia

Tantangan Besar untuk tetap Bertahan

Pada kesempatan lain, saya juga pernah menumpang salah satu bendi─saya lupa nama kusirnya─beliau menuturkan bahwa perawatan kuda juga harus optimal. Sama seperti manusia, ada makanan utamanya, yaitu sagu dan rumput, kemudian camilan macam pisang dan sayur-sayuran, juga vitamin.

Kuda juga memiliki waktu istirahat siang. Untuk memenuhi kebutuhan kuda, beliau memiliki cara sendiri untuk menarik pelanggan. Jadi, siang hari kuda beroperasi seperti biasa sesuai jalur permintaan penumpang. Kemudian malam harinya, beliau akan memasangkan kuda yang berbeda pada bendi yang sama dan menghiasinya dengan lampu kelip-kelip. Sang kusir juga menyalakan musik sehingga penumpang merasakan perbedaan suasana saat menaiki kuda bendi.

“Awak ado duo kuda, jadi kuda iko siang beko kuda yang ciek lai malam. Tapi bendi yang dipakai samo, tingga di bukak tu pasang ka kuda cieklai, iduikan lampunyo (saya punya dua kuda, jadi siang saya pakai kuda yang ini, kalau malam pakai kuda satunya lagi. Tapi, bendi yang dipakai sama, nanti dibuka kudanya terus dipasangkan ke kuda yang satunya lagi, lampu hiasan bendi dinyalakan),” tuturnya. 

“Jadi, kita harus kreatif, ya, Pak?” saya menyahut.

“Iyo harus bapikia wak, kalo indak tu dak ado nan nio naiak bendi lai (iya, kita harus berpikir, jika tidak, gak ada lagi yang mau naik bendi),” jawab beliau sembari menarik tali pengikat kuda.

“Tapi bendi ko terlalu maha tarifnyo Pak daripado wak naiak ojek (tetapi bendi ini tarifnya terlalu mahal, Pak, daripada naik ojek),” kelakar saya.

“iyo batua, baa dak kamaha, makan kuda ko se banyak, pisang tu untuk sneknyo se sasikek tu ha, pisang bara kini, alun lo biaya lain-lainnyo, ditambah yang naiak dak banyak lai (iya, betul, bagaimana tidak mahal, kuda itu makannya banyak, pisang untuk camilan saja sekali makan itu habis satu sisir, sementara harga pisang juga mahal, belum lagi biaya lainnya yang juga semakin tinggi),” jelas beliau sambil tertawa.

Saya menyadari, bendi sebagai alat angkut tradisional yang masih bertahan hingga saat ini, adalah sesuatu yang cukup istimewa di tengah gempuran berbagai jenis transportasi modern. Persaingan kuda bendi pun cukup ketat. Tarif jasanya yang bisa dua kali lipat lebih mahal daripada ojek daring membuat peminatnya semakin menurun.

Para kusir bendi harus lebih kreatif dan berinovasi untuk menarik pelanggan kembali menggunakan jasanya. Selain itu, sebagai pengguna, saya berpendapat bahwa tarif yang sedikit lebih mahal sama halnya dengan membeli kenangan dan merawat budaya. Saya tidak merasa rugi terhadap harga yang saya bayarkan.

Melalui tulisan ini, saya mengajak masyarakat agar terus melestarikan kendaraan tradisional, seperti kuda bendi dengan pelbagai cara. Baik itu menumpang maupun mempromosikan kuda bendi melalui media apa pun dalam bentuk tulisan dan gambar. Tujuannya merawat salah satu warisan budaya Indonesia agar tidak punah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar