Tahun ini adalah kedua kalinya saya pulang ke tanah kelahiran, Payakumbuh. Kota yang menjadi saksi perjalanan hidup hingga remaja. Raut wajah lelah ibunda dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih menyambut kepulangan saya. Betapa tidak, saya pulang untuk melihat ayahanda yang sedang dalam masa pemulihan pasca kecelakaan lalu lintas beberapa bulan sebelumnya.
Langit biru menyapa saya sore itu. Angin segar pepohonan seolah mengusap lembut wajah. Gerombolan burung-burung kecil sesekali melintas melewati atap rumah. Kambing-kambing yang akan pulang ke kandang mengembik kegirangan tanda perut sudah kenyang. Dan penjaja makanan malam sudah mulai mempersiapkan lapak dagangan.
“Damai dan nyaman sekali,” gumam saya dalam hati.
Saya mengajak putri kecil saya, Azzahra, melihat salah satu sungai yang berada tak jauh dari rumah ibunda. Ia bernyanyi kecil dan sekali-sekali meloncat kegirangan. Itulah yang saya lihat darinya. Senang sekali tampaknya. Hari-hari sore yang biasanya penuh dengan hiruk pikuk suara kendaraan ibu kota, tetapi kali ini berbeda. Sebuah pemandangan baru baginya.
“Seru, ya?” ucapku.
“Ada sungai di sana,” jawab Azzahra dengan wajah yang masih berbinar. Kadang-kadang ia gosokkan sandal jepit merah yang baru saya beli di warung ke rerumputan. Mencari bunga putri malu untuk ia sentuh.
“Gak ada putri malu, Bunda,” ujarnya.
“Belum kelihatan, ya, dari tadi.” Saya sambil menunduk untuk melihat sekitar.
Kami berjalan kaki menyusuri pinggir sungai hingga tiba di Jembatan Batang Agam. Sebuah jembatan yang penuh sejarah. Letaknya berada tepat di antara Monumen Ratapan Ibu dan rumah potong hewan. Masyarakat kota lalu-lalang, beberapa kudo bendi (kuda bendi) tampak memacu kecepatannya menuju pusat kota. Seketika ada ide di kepala saya untuk mengajak Azzahra berkeliling kota dengan kendaraan tradisional tersebut. Sembari menunggu waktu magrib tiba.
Asal Usul Kuda Bendi
Sekilas kuda bendi tampak seperti kendaraan tradisional lain yang ada di beberapa kota di Indonesia, seperti Yogyakarta, Lombok, Manado, dan Jakarta. Kereta roda dua yang ditarik kuda tersebut memiliki peran vital dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di masa lampau. Pada akhir abad ke-19, transportasi di Sumatra Barat adalah yang paling maju di antara daerah-daerah di luar Jawa.
Mula-mula kereta api menjadi angkutan umum sejak 1893. Hal ini distimulasi oleh penemuan deposit batubara di Ombilin pada tahun 1868. Lalu 19 tahun kemudian Parlemen Belanda memutuskan membangun jalur kereta api untuk sarana transportasi batubara dari Sawahlunto ke Pelabuhan Emmahaven Padang. Menurut Colombijn (dalam Sufwan, 2017), kota-kota di pedalaman semakin terbuka dari isolasi, sebab jalan trem meluas ke daerah-daerah yang terpencil sekalipun.
Tidak lama berselang, angkutan mobil didatangkan dari Singapura sejak 1904. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada awal 1920-an terdapat lebih dari 3.000 angkutan mobil di Sumatra Barat. Di akhir dasawarsa yang sama, jumlah mobil telah mencapai angka 7.000. Asnan (dalam Sufwan, 2017) menyebut angkutan mobil terus tumbuh seiring terus tumbuhnya jalan raya.
Sejak akhir abad ke-19, dapat dikatakan bahwa modernisasi transportasi telah berhasil dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Angkutan massal modern menggantikan angkutan tradisional, seperti pedati, bendi, atau kuda beban. Bahkan hingga pertengahan abad ke-20, nyaris hanya bendi yang bertahan sebagai alat angkut manusia, meskipun dalam skala terbatas.
Perubahan Jenis dan Fungsi Bendi dari Masa ke Masa
Masa kolonial Belanda, menurut Ishakawi (dalam Vivindra dkk, 2015), menjelaskan bahwa bendi mengalami beberapa perubahan. Pertama adalah kereta kuda yang dibawa oleh petinggi bangsa Belanda dan beroda empat. Selanjutnya berubah lagi menjadi kereta kuda beroda dua dengan sebutan “sado”. Jenis kereta kuda ini yang jadi awal dari bendi tradisional di Sumatra Barat.
Pada masa itu kendaraan atau transportasi belum begitu banyak, sehingga bendi merupakan barang mewah. Hanya golongan tertentu saja yang memiliki bendi itu, seperti orang-orang kaya, penguasa, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat. Kemudian fungsi bendi saat itu adalah sebagai kendaraan petinggi dan pejabat dalam melaksanakan tugas. Sehingga bendi lebih memiliki makna sebagai kendaraan pribadi yang dapat melambangkan kekuasaan, kekuatan, penguasa, dan status sosial. Lalu setelahnya bendi menjadi transportasi umum hingga saat ini.
Bendi memiliki beberapa jenis. Pertama, terem atau terent. Kata “terem” berasal dari “trem”, yaitu kereta yang berjalan dengan tenaga listrik atau lokomotif kecil dan merupakan salah satu angkutan kota di Eropa. Kemungkinan berasal dari bahasa Inggris “train” (kereta), yang karena mendapat pengaruh oleh dialek bahasa Minangkabau, masyarakat menyebutnya terem. Namun, maksud terem di sini adalah bendi yang memiliki empat roda dan ditarik oleh dua ekor kuda. Orang Belanda menyebutnya dengan terem atau terent atau bendi Balando.
Kedua adalah sado, sejenis bendi yang ditarik oleh kuda. Bentuknya hampir sama dengan bendi. Sado memiliki dua macam, yaitu sado tetap dan sado bersambung. Ketiga, bogi, berbentuk lebih kecil dari bendi. Ciri-ciri bogi antara lain memiliki bak berukuran kecil dan satu buah tempat duduk, tidak memiliki tenda, dan ditarik oleh seekor kuda.
Bogi oleh sebagian orang disebut bugih. Fungsinya selain sebagai kendaraan pribadi orang-orang ternama masa lalu, juga merupakan salah satu bentuk permainan rakyat yang dikenal dengan nama pacu bogi atau pacu darap. Muhammad Hatta atau Bung Hatta pernah diantarkan menggunakan bogi dari kediamannya di Bukittinggi menuju Kota Padang untuk melanjutkan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Sekolah menengah pertama (SMP) pada zaman pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Bogi yang digunakan untuk mengantar Bung Hatta adalah kendaraan milik keluarga.
Keempat, bendi yang masih terpakai hingga saat ini, memiliki bentuk yang lebih sempurna dari pendahulunya. Satu kuda menarik kereta yang beroda dua, mempunyai atap penutup dan berhias pelbagai aksesoris dan hiasan menarik.
Berkeliling Kota Payakumbuh Naik Kuda Bendi
Saya dan Azzahra berjalan kaki sekitar 150 meter dari Monumen Ratapan Ibu menuju gapura bertuliskan “Pasar Tradisional Ibuh”, Payakumbuh. Tampak ada dua kuda bendi yang masih menunggu penumpang. Hari-hari biasa kuda bendi lebih banyak jumlahnya. Mungkin karena waktu itu sudah sore dan juga masa Ramadhan, sehingga sebagian telah kembali ke kandang.
Seorang kusir bendi menyapa ketika saya mendekat. Saya memintanya untuk mengantar kami berkeliling melewati beberapa ruas jalan. Di kesempatan ini saya juga tidak ingin kena pakuak, istilah yang sering masyarakat Sumatra Barat gunakan jika harga barang atau jasa melebihi harga normal. Salah satu caranya adalah dengan membuat kesepakatan harga di awal sebelum berangkat. Tidak ada harga yang pasti jika menggunakan kuda bendi, jadi pengguna harus menawarnya terlebih dahulu.
Son, kusir bendi pertama yang Azzahra temui, adalah orang yang ramah pada anak-anak. Saat menaiki bendi kami melihat berbagai aksesoris dan hiasan yang sangat menarik perhatian orang, terutama anak-anak. Pada kepala kuda terpasang sebuah aksesoris berupa jambul merah. Son menganalogikannya seperti manusia memakai bando (bendo). Melalui penjelasan Son, Azzahra semakin antusias.
Hal menarik lainnya dari kuda bendi adalah terdapat bantal kecil berwarna merah untuk sandaran penumpang. Ada juga dekorasi seng dan ukiran motif bunga-bunga di beberapa bagian luar dinding bendi. Selain itu, masyarakat juga berkelakar bahwa bendi adalah kendaraan mahal dengan menyebut inisial BMW, yaitu Bendi Merah Warnanya.
“Azza seru gak naik bendi?” saya menggodanya
“Naik bendi itu seru, bendinya lucu,” sahutnya sembari tertawa girang.
Kami mengelilingi beberapa jalanan, yang akhirnya kembali menghidupkan memori masa kecil saya. Orang tua saya dulu pernah mempunyai tiga kuda bendi yang menjadi alat jasa transportasi. Seorang kusir membawa kuda bendi dengan sistem bagi hasil, lalu kusir tersebut akan merawat kuda. Selang beberapa tahun kemudian, orang tua menjual bendinya setelah seekor kudanya mati karena kecelakaan di salah satu kandang tempat penitipan kuda.
Sore itu, saya dan Azzahra mendapat kesenangan berbeda. Saya mengingat kembali memori-memori manis masa kanak-kanak setelah melintasi berbagai tempat, di antaranya Jalan Arisun, tugu Adipura, melihat Masjid Muhammadiyah, dan menatap Gunung Sago dari kejauhan. Azzahra sedang membangun memori dengan pengalaman barunya menumpangi kudo bendi.
Referensi
Asnan, Gusti. 2003. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam Minangkabau.
Colombijn, Freek. 2006. Paco-paco Kota Padang. Yogyakarta: Ombak.
Ishakawi. 2010. Ranah Seni. Jurnal Seni dan Desain, Vol 03(02), 1-13.
Sufwan, F. H. (2017). Kuda Bendi di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat Hingga Akhir Abad Ke-20. Mozaik Humaniora, 17 (1), 53.
Vivindra, R. D., Syamsir, S., & Nurman, N. (2015). Eksistensi Bendi dalam Perspektif Budaya di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Humanus. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Humaniora, 14(1), 71-79.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Atika Amalia yang kini tinggal di Jakarta. Disela-sela kesibukannya sebagai Ibu Rumah Tangga, Atika juga menekuni hobi fotografi.