Arah SinggahInterval

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya


Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Seekor gajah sumatra sedang makan ranting kecil dan semak liar yang tumbuh di sekitar Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan, Langkat/Mauren Fitri

“Theo!”

Yang dipanggil bergeming. Menoleh saja tidak. 

“Theo!”

Sekali lagi. Si empunya suara menyapa keras. Namun, ia tak bisa berbuat banyak selain menunggu.

Sang pemilik nama masih tak acuh. Kakinya tetap kokoh berdiri sekalipun terendam air selutut. Pandangan kedua matanya fokus pada sasaran empuk di bagian atas kepala. Di pinggir tebing cadas, ia terus asyik menarik batang-batang dan daun rotan sampai hampir rontok dari akar. Berbeda dengan manusia, ia meraih itu dengan belalai.

Ya, Theo adalah nama seekor gajah sumatra berusia 37 tahun. Gajah dewasa jantan satu-satunya di Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Gajah Sumatra, Tangkahan, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Ia punya ciri yang sangat mudah dilihat, yaitu rantai baja di pergelangan kaki kiri bagian depan. Sebagai gajah jantan, pada fase-fase tertentu akan mengalami berahi dan berpotensi ngamuk, sehingga harus diikat agar tidak membahayakan gajah lain dan orang-orang di sekitarnya. 

Pagi itu (23/09/2023) memang jadwal Theo mandi di sungai bersama delapan gajah penghuni PLSK lainnya. Joni Rahman (40), pawang gajah atau mahout khusus untuk Theo, terus menyebut nama “anak asuhnya” yang masih sibuk mengunyah rotan. Butuh kesabaran untuk menggiring fokus gajah dari satu kegiatan ke kegiatan berikutnya. Tidak mudah menyamakan persepsi dalam interaksi antara manusia dan gajah. Setiap mahout memiliki bahasa maupun metode pendekatannya tersendiri agar bisa memahami gajah. 

“Setiap gajah yang kita pegang itu, [kita] harus mengerti karakter gajah itu seperti apa. Gajah ini karakternya seperti ini,” kata Joni, sapaan akrabnya, “gajah [juga] tidak boleh dikerasi.”

Nama Joni Rahman dikenal luas sejak muncul di video pendek Save Our Forest Giants produksi Nicholas Saputra dan Mandy Marahimin, Juni 2016. Ia menjadi narasumber yang mewakili mahout Tangkahan. Kini sebagai mahout Joni—sapaan akrabnya—sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS), yang ditetapkan langsung dengan surat keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Pria asal Lhokseumawe itu tidak bekerja sendiri. Ada mahout-mahout lain yang mencurahkan jalan hidupnya untuk mamalia darat terbesar di Indonesia itu.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Joni Rahman, mahout PNS termuda di PLSK Tangkahan, ketika ditemui di penginapan Tangkahan Lodges milik Seh Ukur Depari (Bolang Okor)/Mauren Fitri

Harmoni dua dunia

Para mahout menghuni sekitar 4—5 petak rumah sederhana sebagai tempat tinggal sehari-hari. Fasilitas yang dibuat Conservation Rescue Unit (CRU) tersebut seukuran tipe 21 dengan dinding kombinasi bata dan anyaman bambu. Letaknya memang didesain dekat dengan pintu masuk menuju PLSK. Terpisah dengan Sei Batang Serangan selebar 50 meter. Para mahout dan wisatawan memanfaatkan akses satu-satunya menyeberang sungai, yaitu jembatan gantung Nini Galang sepanjang 150 meter. 

Di PLSK Tangkahan, para mahout melakukan rutinitas mengasuh gajah setidaknya dua kali dalam satu hari. Pukul 08.00 dan 16.00 WIB. Selain memandikan dan memberi makan, secara berkala mahout mengangon gajah untuk cari makan di dalam hutan. Dari pagi sampai petang. 

Meskipun sudah ada jadwal rutin dalam satu hari, sesungguhnya pekerjaan mengurus gajah menuntut waktu dan tenaga untuk bersiaga penuh 24 jam. Mereka tidak pernah bisa memprediksi hal-hal yang menimpa gajah, sehingga satu detik pun berharga. Kondisi itu acap kali menimbulkan rasa jenuh; yang mau tidak mau harus diabaikan karena menjaga profesionalitas.

Begitu pula jatah libur. Sebagaimana PNS yang memiliki waktu bebas Sabtu dan Minggu, para mahout tersebut nyaris tidak pernah mengambilnya. Apalagi akhir pekan adalah momen puncak keramaian wisatawan—domestik maupun mancanegara—yang berkunjung ke Tangkahan untuk melihat gajah. Tanpa mahout, ekowisata gajah-gajah jinak itu tidak akan berjalan.

Seorang mahout bertanggung jawab pada dua dunia yang sangat bertolak belakang, yakni keluarga sendiri dan gajah sumatra. Bukan tugas mudah mengharmonikan keduanya secara seimbang. Seperti dialami sendiri oleh Budiman alias Pakde, seorang mahout senior yang kami temui saat bekerja (24/09/2023).

“Sebenarnya [oleh] keluarga di rumah sudah dikomplain, [katanya lebih] banyak waktu untuk ngurus gajah daripada untuk [mengurus keluarga] di rumah,” seloroh Budiman sambil mengelus belalai Christopher atau Chris, gajah sumatra jantan berusia sembilan tahun yang hendak dimandikan di sungai, “walau [Chris] ‘anak’ keempat saya, tapi saya lebih banyak waktu sama dia.”

Christopher adalah anak dari Agustin (51), gajah betina dewasa yang didatangkan TNGL dari Lhokseumawe, Aceh, ke Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan. Namanya diambil dari seorang veterinarian asal Jerman, Dr. Christopher Stremme, yang ikut merawat gajah bersama para mahout. Sejak 2015, ia bekerja di dua tempat. Sebagai konsultan medis gajah sumatra di organisasi nirlaba International Elephant Project, serta dosen tamu di kelas internasional Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Kehadiran Chris mewarnai dunia Pakde, yang secara biologis sudah dikaruniai tiga orang anak. Dari total 32 tahun bekerja merawat gajah, 21 tahun terakhir ia curahkan hidupnya di Tangkahan. Pakde merupakan salah satu dari empat mahout senior yang sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Tiga orang lainnya adalah Sudiono, Katio, dan Cece Supriatna. Joni jelas mahout PNS termuda. Sekalipun begitu, ia terhitung memiliki jam terbang tinggi untuk berurusan dengan gajah. Hanya terpaut satu dekade di belakang Pakde. Untuk meringankan tugas, kelima mahout ini dibantu oleh empat orang lokal yang direkrut sebagai elephant keeper.

Meskipun belum ada riset spesifik, profesi mahout tampaknya bisa digariskan secara turun-temurun. Ada perasaan kinasih yang mewaris dalam darah mahout. Semacam panggilan hati yang merasuk. Melebur sebagai jiwa yang tak bisa dikesampingkan begitu saja. Garis hidup Joni atau biasa disapa Bang Jon, seperti membuktikan itu. Sedari kecil ayah dua anak itu sudah sangat dekat dengan lingkungan gajah. 

“Bapak saya dulu juga kerja sebagai mahout. Bapak saya orang pertama [di keluarga] yang menjadi mahout. Saya orang kedua,” kenang Joni menceritakan regenerasi mahout di keluarganya. Saat tragedi Krueng Geukueh melanda Aceh Utara pada 1999, bapak Joni adalah koordinator evakuasi gajah liar dari kabupaten tersebut ke dua tempat baru, yaitu Banda Aceh dan Sekolah Pelatihan Gajah Saree. 

Sebelum digaji sebagai mahout, Joni mulanya menjadi relawan elephant keeper selama 2001—2004. Ketika tsunami menerjang Aceh pada Desember 2004, ia dan rekan-rekan mahout lainnya membawa kawanan gajah untuk membantu pembersihan puing-puing setelah bencana mereda.

Kemudian pada 2005—2012 ia diangkat sebagai tenaga honorer di bawah BKSDA Aceh. Salah satu tugas terbesarnya di BKSDA antara lain membawa 11 ekor gajah dari Tangkahan, Kabupaten Langkat ke Saree, Aceh Besar; tempat gajah-gajah liar yang dievakuasi dari konflik untuk dilatih. Bersama gajah ia juga merasakan berkelana lintas kota dan pulau. Sepanjang Sumatra, Jawa, dan Kalimantan pernah disinggahi. Umumnya bekerja mengawal gajah-gajah jinak untuk keperluan atraksi maupun edukasi di sejumlah kebun binatang.

Perjalanan hidup Joni dengan subspesies gajah asia itu kiranya serupa yang dirasakan senior-seniornya. Hubungan mahout dan gajah layaknya bapak dan anak. “Sebenarnya [menjadi mahout] bukan hanya sekadar profesi, [tetapi] juga harus menjiwai dia [gajah],” kata Joni, yang meyakini mahout sebagai pekerjaan mulia.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Pakde bersama Christopher atau Chris, jelang sesi rutin memandikan gajah di Sungai Batang Serangan, Tangkahan/Deta Widyananda

Dari patroli ke fungsi edukasi

Sebelum benar-benar diberdayakan sebagai subjek edukasi dan konservasi, gajah-gajah dewasa yang ada di PLSK Tangkahan dulunya terlibat aktif dalam pengamanan hutan.  Program tersebut diinisiasi oleh Fauna & Flora International (FFI) yang membentuk Conservation Rescue Unit (CRU) dan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK.

CRU atau Unit Tanggap Konservasi merupakan organisasi berbadan hukum yang terpisah dengan Lembaga Pariwisata Tangkahan. Tugas khusus CRU antara lain melakukan respon cepat terhadap konflik antara satwa dengan masyarakat, memberikan edukasi tentang pentingnya konservasi, dan merawat gajah jinak untuk kepentingan konservasi dan patroli hutan.

Di awal, fokus area kerjanya mencakup Aceh, Sekoci, dan Tangkahan. Gajah digunakan sebagai transportasi untuk mendukung petugas saat melakukan patroli hutan. Sebutannya saat itu adalah Elephant Jungle Patrol. Menurut Joni, program di Aceh sebenarnya terhitung berhasil. Namun, selanjutnya kacau karena konflik di Aceh Utara pada 1999. 

Patroli dengan gajah juga sempat dilakukan di Sekoci, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat dalam kurun waktu antara 2000—2001. Para mahout menemani polisi hutan maupun ranger melakukan pengamanan ke hutan. Namun, seiring masifnya perambahan liar dan tingginya risiko keracunan pada gajah di Sekoci, Elephant Jungle Patrol dihentikan. Petugas patroli beralih menggunakan mobil.

Joni menambahkan, gajah-gajah asal Aceh—belakangan diketahui bernama Agustin dan Medang (meninggal beberapa tahun kemudian)—yang sempat dipakai di Sekoci tersebut selanjutnya dipindahkan ke Tangkahan. Saat itu, Tangkahan sedang dalam masa transisi sejak terbentuknya Lembaga Pariwisata Tangkahan dua tahun sebelumnya. Berbenah besar-besaran dari yang awalnya pusat pembalakan liar menuju kawasan ekowisata.

Kedatangan gajah pertama kalinya di Tangkahan digunakan untuk melakukan pengawasan dan pengamanan mencegah aksi pembalak liar. Warga setempat juga direkrut untuk ikut berpatroli ke hutan. Selain itu gajah bisa menjadi nilai tambah untuk daya tarik ekowisata.

Keberadaan dua gajah dewasa tersebut selanjutnya disusul gajah-gajah penghuni baru PLSK Tangkahan. “Ada tiga gajah yang ditangkap dari Bohorok. Si Theo, Yuni, sama Olive,” terang Joni. Ketiga gajah itu dievakuasi dari lahan warga karena dalam kondisi terisolasi dan tidak bisa bergerak ke mana-mana.

Gajah-gajah tersebut kemudian beranak pinak sampai sekarang. Setelah tak lagi sibuk membantu patroli hutan, LPT dan mahout kemudian menjadikan para gajah itu sebagai subjek edukasi untuk ekowisata dan konservasi. Salah satu topik edukasi terpenting adalah tentang daya jelajah dan jalur gajah.

Selama ini banyak orang menganggap gajah adalah hama yang merusak perkebunan atau permukiman mereka. Padahal menurut Joni, gajah akan selalu kembali melewati jalur yang sama dan tidak akan berpindah bahkan sampai 40 tahun. “Dalam 40 tahun perubahan manusia sangat cepat. Begitu gajah masuk ke lahan warga, [gajah akan bilang] ‘loh, ini dulu rumahku, sekarang kok sudah ada kebun rambung, kebun durian, juga sawit’,” jelas Joni. Ketika gajah sudah merangsek ke perkebunan atau permukiman warga, maka timbullah konflik. Gajah tersingkir dari rumahnya sendiri.

  • Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
  • Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya

Sadar ekowisata, sadar batas

Di pinggiran sungai berair jernih saat kemarau itulah sentra aktivitas ekowisata berlangsung. Segala paket ekowisata harus melalui satu pintu, yaitu Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT).

Sejak 2001, ekowisata menjadi denyut nadi yang menghidupkan Tangkahan. Sebuah hidup baru yang ditempuh hampir seluruh warga Tangkahan, setelah satu dekade sebelumnya bergantung pada pembalakan liar. 

Jarak yang jauh dari Kota Medan, sekitar 3—3,5 jam perjalanan sejauh 100 kilometer, seolah tidak jadi soal. Seiring waktu berjalan, Tangkahan menjelma menjadi destinasi ekowisata dunia. Beberapa fasilitas untuk tamu, seperti penginapan dan kuliner yang dikelola berbasis masyarakat, terus bertambah dan berbenah. Dalam satu tahun, pusaran uang yang berputar di masyarakat dapat mencapai 10—20 miliar rupiah.

Pandemi COVID-19 lalu memang berdampak signifikan pada aktivitas wisata di Tangkahan. Pelbagai pembatasan menghambat laju perekonomian masyarakat. Ekowisata adalah kegiatan lintas sektor, sehingga terganggunya satu aspek akan berdampak pada aspek lainnya. 

Selepas pandemi, tahun ini perlahan menunjukkan progres menggembirakan. Ratusan turis mulai kembali mengunjungi Tangkahan setiap bulannya. Menurut Jony Salman, koordinator perencanaan strategis LPT, total sudah ada 5.084 wisatawan yang datang melihat gajah selama periode Februari—Agustus 2023. Puncak kunjungan terjadi pada Juli dan Agustus sebanyak 2.649 orang. Secara keseluruhan wisatawan mancanegara mendominasi sebanyak 55 persen, mayoritas dari Prancis, Belanda, dan Jerman.

Dalam satu hari tur, LPT bekerja sama dengan CRU menjadikan atraksi memandikan dan memberi makan gajah sebagai daya tarik utama. Alternatif lain tersedia aktivitas camping atau tubing. Mereka mengetahui Tangkahan dari buku-buku panduan perjalanan—misalnya, Lonely Planet—maupun informasi di internet. Selain Bukit Lawang, biasanya Tangkahan sepaket dengan pelesir ke Danau Toba.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Bang Ica, elephant keeper muda dari Tangkahan, sedang memandikan Sari dan anaknya, Boni (kiri) saat sore hari di Sei Batang Serangan. Sungai ini menjadi batas antara kampung (kiri) dan kawasan hutan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser/Deta Widyananda

Namun, di balik kesadaran tinggi terhadap legitnya ekowisata, tetap harus diiringi pula dengan kesadaran akan batasan-batasan yang berlaku. Sebagai antitesis dari mass tourism atau pariwisata massal, ekowisata sejatinya memiliki rambu-rambu yang lebih ketat. Salah satunya soal pengaturan jumlah kunjungan wisatawan. Rutkita Sembiring, mantan pengurus LPT yang kini fokus bekerja sebagai humas CRU, mengingatkan soal itu.

“Kalau ada yang datang 2.000 orang pengunjung per hari, [pasti] enggak bisa dikontrol. Karena memang kapasitas atau daya tampung kawasan kami kecil,” Rutkita mewanti-wanti. 

Rutkita tak bisa menyebut angka pasti. Ia coba memberi perkiraan batas maksimal. “Kami enggak perlu banyak. Wisata domestik itu per tahun cukup 100.000 [orang]. Mancanegara itu 10.000 [orang] sudah cukup per tahun,” hitungnya, “enggak banyak, [tetapi] cukup. Dari angka itu, sudah [dapat] 17 miliar per tahun kami [dapatkan].”

Dalam catatan BPS Sumatra Utara (2021), Tangkahan pernah mencatat angka kunjungan wisata tertinggi pada 2016, yaitu sebanyak 72.900 orang. Masih di bawah batas aman sesuai perkiraan Rutkita. Meskipun demikian, ia berharap tidak mendekati atau melampaui angka maksimal yang disebutkan.

Sejauh ini LPT menerapkan beberapa strategi untuk membatasi kunjungan berlebih ke Tangkahan. Di antaranya kewajiban reservasi jauh hari, mematok harga paket lebih tinggi, hingga penerapan zonasi hulu (ekowisata) dan hilir (mass tourism). 

Tantangan terdekat di depan mata adalah proses pengaspalan jalan dari pusat Desa Namo Sialang menuju Tangkahan. Baik dari arah Stabat maupun Bukit Lawang. Tahun ini proyek besar dari pemerintah provinsi itu akan rampung. Artinya, aksesibilitas akan lebih mudah dan berpotensi menarik kunjungan wisata lebih banyak. 

Perlu komitmen bersama untuk mencegah ledakan turis. Tak terbayangkan betapa stresnya sembilan gajah bertemu manusia yang bermacam-macam setiap saat. Mahout pun akan bekerja ekstra dan bisa-bisa makin lupa kapan terakhir kali libur.

Bahaya besar mengintai gajah sumatra

Dari foto udara, lebatnya vegetasi tropis TNGL tampak kontras dengan perkebunan sawit di barat Sei Batang Serangan. Hutan belantara nan asri di seberang timur merupakan harta karun terbesar Tangkahan. Gemericik sungai menjadi penanda batas alami yang memisahkan area publik dan kawasan konservasi.

Jika telinga kita tajam, akan terdengar suara burung-burung bersahutan. Mata yang jeli bisa melihat mereka terbang di kanopi pepohonan. Saat berbincang dengan Joni di penginapan milik Seh Ukur Depari (Bolang Okor), dari gelapnya hutan terdengar tiga kali suara kuau raja memekakkan keheningan malam. Nuansa tersebut sesaat membuat kami lupa dengan ratusan hektare sawit yang mengepung jalan menuju Tangkahan.

Di tengah geliat ekowisata, sepintas situasi tersebut cukup kondusif bagi hajat hidup sembilan ekor gajah sumatra di Tangkahan. Masyarakat setempat maupun pengunjung masih bisa melihat polah lucu anak-anak gajah, seperti Carlos (anak Olive, 33) dan Boni (anak Sari, 37).

Namun, jika membuka sudut pandang lebih lebar, kita patut khawatir. Sampai saat ini belum ada data yang pasti dan sinkron tentang populasi gajah di Indonesia.

Berdasarkan data-data terbaru yang diolah dari KLHK dan sejumlah organisasi nirlaba, Yayasan Auriga Nusantara menyodorkan fakta memprihatinkan. Pada tahun 2021 populasi gajah sumatra liar berkisar antara 924—1.359 ekor. Merosot tajam sekitar 33—45 persen dari tahun 2017. Hanya dalam rentang empat tahun, keberadaan gajah liar menyusut drastis. Sementara kurang dari 500 ekor gajah jinak tersebar di pusat latihan gajah, taman safari, kebun binatang, dan lain-lain.

Surutnya populasi gajah selaras dengan penurunan kantung habitat alami gajah. Selama 2017—2021, 14 titik kantung gajah menghilang. Kini tersisa setidaknya 22 kantung gajah dengan total 4.642.824 hektare; 80 persen di antaranya berada di luar kawasan konservasi. Puluhan kantung gajah itu tersebar di Aceh, Sumatra Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung.

Dalam evaluasi yang disampaikan KLHK—sebelumnya Departemen Kehutanan—dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera Dan Gajah Kalimantan 2007-2017, penurunan populasi gajah in-situ (habitat alami) disebabkan konversi lahan akibat tata ruang wilayah yang belum sepenuhnya mendukung upaya konservasi gajah. Lalu meningkatnya kebutuhan akan ruang untuk pembangunan wilayah permukiman dan perkebunan—yang menyebabkan seringnya konflik gajah dengan manusia, serta konsesi perkebunan yang tumpang tindih merupakan ancaman serius terhadap gajah sumatra.

Belum cukup sampai di situ. Perburuan liar kerap menempati daftar teratas kasus kematian berat gajah sumatra. Kepala Balai Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Sumatra, Eduward Hutapea, seperti dikutip dari Kompas.id (30/03/2021) saat menggagalkan perdagangan sepasang gading gajah di Kabupaten Bungo, Jambi, menyebut gading sebagai komoditas ekonomi tertinggi yang bisa diambil oleh pemburu dan pedagang ilegal. Harganya menyentuh setidaknya 60 juta rupiah untuk sepasang gading sepanjang 37—48 senti. 

Joni memberi kalkulasi angka lebih gamblang. Untuk sepasang gading dengan panjang sedikitnya dua meter—dari ujung ke pangkal—dari satu ekor gajah jantan dewasa, harga jualnya di pasar gelap senilai dua Fortuner atau tiga Innova Reborn. Akan tetapi, jelas nilai kerugian ekologisnya jauh lebih besar. Eduward mengestimasi kerugian ekologis sebesar 3,5 miliar rupiah setiap kematian seekor gajah. 

Bisa dibayangkan betapa menggiurkannya bisnis haram ini. Aksi-aksi perburuan liar yang terus berlangsung menunjukkan masih banyaknya permintaan kolektor atau orang-orang kaya yang tak tahu urat malu. Padahal jeratan hukum pidana berat sudah menanti sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Selain terdesak ancaman konversi lahan dan perburuan liar, gajah sumatra rentan terhadap penyakit Elephant endotheliotropic herpesvirus (EEHV). Virus ini berisiko tinggi terutama pada kelompok anak gajah berusia 1 sampai 10 tahun. Sebelum kelahiran Christopher (9), Albertina (8), Carlos (2), dan Boni (2), sudah ada tiga anak gajah yang lahir di Tangkahan lalu akhirnya mati karena terinfeksi EEHV. Mengutip dari Save Our Forest Giants, ketiga anak gajah itu adalah Tangka (September 2009—April 2011), Namo (Desember 2010—April 2012), dan Amelia (Februari 2012—April 2015).

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Joni menunjukkan foto dirinya bersama Eropa yang baru lahir pada September 2015. Foto ini masih tersimpan di galeri ponselnya/Mauren Fitri

Kasus terbaru tahun ini dialami Eropa (8), anak gajah adopsi delegasi Uni Eropa. Akhir April, Eropa mati setelah 20 hari dirawat intensif. Ia lumpuh karena terperosok ke celah batang pohon dekat blok kandang rusa di area Resor Tangkahan. Insiden tersebut diduga akibat disorientasi jalur. Keterbatasan gerak anak gajah dari induk betina Olive itu disebabkan virus EEHV yang pernah menginfeksinya saat bayi.

Sampai sekarang para pegiat konservasi gajah masih resah, karena belum ada obat khusus untuk memerangi EEHV pada gajah. Christopher Stremme, salah satu narasumber utama di Save Our Forest Giants, mengungkapkan kekhawatirannya. Menurut Stremme, sampai saat ini belum ada vaksin khusus untuk menangkal virus tersebut. Belum tercatat keberhasilan mengisolasi virus karena kendala pendanaan laboratorium. Virus pada gajah dianggap tidak memiliki nilai komersial bagi perusahaan-perusahaan farmasi, bahkan kelas internasional sekalipun.

Kasus EEHV tidak hanya menjangkit gajah-gajah yang ada di penangkaran maupun pusat latihan satwa. Berdasarkan hasil riset Drh. Diah Esti Anggraini dan Drh. Dedi Candra yang ditulis di situs resmi Taman Nasional Way Kambas (06/05/2017), yang menjabarkan analisis kematian empat ekor anak gajah—semuanya di bawah sembilan tahun—di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Way Kambas, gajah liar pun berpotensi tertular. Penyebabnya tidak ada barrier atau pembatas antara tempat penangkaran dengan habitat alami gajah. Ini tentu meresahkan karena EEHV dapat mencapai tingkat kematian 80—90% sejak gejala klinisnya diketahui—itu pun sudah stadium akut.

Begitu banyaknya rentetan bahaya yang mengintai kehidupan gajah sumatra—baik gajah liar maupun jinak. Padahal ibu gajah butuh 22 bulan untuk mengandung sampai melahirkan. Setelah lahir, perlu 8—10 tahun untuk bisa beranak lagi. Seorang mahout harus jeli memerhatikan tanda-tanda tersebut, karena—seperti halnya badak—setiap kelahiran bayi gajah adalah peristiwa yang patut dirayakan dengan sukacita.

Bisa dibayangkan tantangan dan kesulitan yang dihadapi, demi menjamin gajah tetap hidup aman dan terus bermain dengan nyaman di hutan.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Olive-Carlos (depan) dan Sari-Boni (belakang). Pasangan ibu dan anak gajah ini kompak merendam kaki di sungai sebelum dimandikan oleh mahout. Anak gajah selalu menempel dan bergantung pada induknya hingga usia 2-3 tahun/Mauren Fitri

Jalan keabadian

Saya jadi teringat film The Jungle Book rilisan Disney tahun 2016. Ada sebuah adegan yang menurut saya sangat berkesan. Pada suatu momen Mowgli (Neel Sethi) sedang berjalan bersama Bagheera, seekor macan kumbang (disuarakan Ben Kingsley) di dalam hutan. Tiba-tiba muncul kawanan gajah dewasa dan seekor anak gajah mendekat.

Melihat itu Bagheera lekas meminta Mowgli menundukkan kepala, “Bow your head.”

Why?” Mowgli bertanya alasannya. 

Show them respect. The elephant’s created this jungle. Where they’ve made furrows with their tusks the rivers around, where they blew with their trunks the leaves fell. They made all the belong, the mountains, the trees, the birds in the tree; but they did not make you. That is why you must go.”

Bagheera meminta Mowgli menunjukkan rasa hormat kepada kawanan gajah. Mamalia besar yang menciptakan hutan; tempat mereka menggali parit dengan gading untuk sumber air dari sungai-sungai di sekitarnya; tempat mereka mengambil makanan—daun, biji, buah—dengan belalai, lalu menyebarkannya ke tanah agar tumbuh kembali.

Gajah membuat segala makhluk hidup di hutan bergantung padanya. Tak terkecuali predator, seperti harimau atau macan sekalipun. Bahkan mungkin gajah adalah raja rimba sebenarnya.

Terlepas banyaknya penafsiran terhadap adegan tersebut, pesan yang disampaikan Bagheera tidak mengada-ada. Meskipun sekilas polah gajah tampak menggemaskan, perannya jauh lebih besar dari itu. Gajah seolah ditugaskan meniti jalan keabadian. Seumur hidup gajah digunakan untuk memastikan siklus ekosistem berjalan serasi. Lebih-lebih di tengah masifnya pendidihan global yang diderita bumi saat ini.

WildAid, lembaga nonprofit yang berfokus pada proteksi satwa dan habitat liar, mencatat peran krusial gajah untuk menghadapi perubahan iklim. Seekor gajah dapat meningkatkan penangkapan karbon di hutan hujan sekitar 9.500 ton per kilometer persegi. Angka ini hampir setara dengan jumlah karbon yang dihasilkan 2.000 mobil dalam satu tahun. 

Namun, fakta-fakta tersebut belum cukup mampu membuka mata semua orang. Gajah di seluruh dunia berpacu dengan waktu. Termasuk gajah sumatra. Manusia adalah ancaman nomor satu dan satu-satunya, yang bisa menghalalkan segala cara untuk melenyapkan gajah dari bumi pertiwi. Entah secara sengaja maupun tidak. Meracuni, membunuh untuk mengambil gadingnya, atau mempersempit ruang hidup dengan merambah hutan untuk perkebunan.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Joni Rahman (kiri) dan Theo dalam sesi wawancara dengan TelusuRI di pulau berbatu di pinggiran Sungai Batang Serangan/Mauren Fitri

“Paling sedih, ya, kenapa masyarakat tega [membunuh gajah]. [Walau] sebenarnya tidak mesti [hanya] gajah saja. Ke semua satwa itu, kalau orang membunuh tanpa alasan, saya sebenarnya tidak terima. Sedih juga, gitu,” ujar Joni. Lidahnya seperti tercekat.

Ia mengibaratkan anjing, yang dalam beberapa mazhab di agama Islam, akan najis bila terkena tubuh atau liurnya. Namun, bukan berarti ketentuan tersebut dijadikan alasan untuk memukul atau membunuh anjing. Apalagi tanpa sebab yang jelas. Terlebih gajah yang berstatus satwa dilindungi negara dan kritis.

Itu akan terjadi jika manusia tidak segera campur tangan. Mulai dari tingkat pemerintahan selaku pemangku kebijakan hingga level terbawah, harus melakukan intervensi besar-besaran. Segala kebijakan untuk gajah semestinya tidak berasas populisme semata, tetapi berdasarkan kajian kritis dan kepedulian pada masa depan anak cucu.

Akan tetapi, Joni dan rekan-rekan mahout bukan manusia super yang bisa memenangkan pertarungan setiap saat. Dengan rendah hati Joni menyebut, mahout bukanlah bintang film India yang akan mengantar cerita menuju akhir bahagia (happy ending).

Kenyataannya merekalah yang berdiri di garis terdepan pelestarian gajah sumatra dan hutan hujan Leuser. Mahout adalah orang-orang terpilih. Dedikasi dan pengabdian mahout amat penting untuk menjaga jejak gergasi rimba tetap dalam keabadian. Perlu dukungan lintas sektor, pemangku kawasan, masyarakat, penegak hukum, hingga pegiat ekowisata. 

Lihatlah keluarga besar itu. Agustin, Theo, Sari, Olive, dan Yuni; Christopher, Albertina, Carlos, dan Boni. Lekukan belalai yang lentur, sepasang kuping lebar yang suka dikibas-kibas, ekor mungil yang sering bergoyang, dan guratan kulit keras dengan bulu-bulu di atasnya terasa menggemaskan. Apalagi jika melihat lebih dalam bola matanya yang bulat. Terasa membius dan misterius.

Banyak alasan untuk mencintai gajah sumatra dan hutan Leuser. Banyak alasan untuk menghormati separuh hati mereka, para mahout yang setia. (*)


Foto sampul:
Yuni, gajah sumatra betina dewasa di Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan, Sumatra Utara/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Lontar, Kacang Hijau, dan Gula Sabu