Beberapa waktu yang lalu di ujung musim hujan, banyak beredar berita soal pendaki yang mendaki gunung dan tersambar petir. Nggak cuma satu kasus, ada beberapa kejadian yang memakan lebih dari dua korban. Bikin sedih, kan?
Sekarang musim hujan sudah berakhir dan digantikan kemarau. Dibanding musim hujan, jumlah pendaki akan semakin membludak di musim kemarau. Nah, 7 keuntungan naik gunung di musim kemarau ini mungkin jadi alasan kenapa gunung semakin ramai di musim kering:
1. Kecil kemungkinan untuk kehujanan saat mendaki gunung
Nggak ada yang lebih ngeselin daripada kehujanan di gunung. Oke, kamu sudah pakai jas hujan. Kamu juga sudah pakai sepatu anti-air. Ransel gunungmu juga sudah dilapisi cover. Tapi tetap saja langkah kamu akan terasa berat dan kamu harus mengeluarkan usaha ekstra agar tidak terpeleset di jalan setapak yang licin. Nah, kalau di musim kemarau kemungkinan untuk kehujanan saat mendaki gunung lebih kecil. Mungkin ada yang protes: “Lho, musim kemarau ‘kan jadi banyak debu?” ‘Kan ada slayer atau buff.
2. Memperkecil ancaman tersambar petir
Akhir-akhir ini banyak berita tentang para pendaki yang terkena petir di gunung. Tapi apa mau dikata: musim hujan memang musimnya petir. Ingat-ingat lagi pelajaran sekolah bahwa kilat dan petir itu terjadi karena loncatan ion-ion di awan. Musim hujan, langit penuh awan. Musim kemarau awannya lebih sedikit dan karena itu petir lebih jarang terjadi dibanding musim hujan. Tapi tetap waspada, guys!
3. Kamu nggak akan “rafting” di gunung
Anak gunung pasti paham kalau sebagian besar jalur di gunung yang kamu lewati itu aslinya adalah jalur-jalur air. Mungkin akan terlalu berlebihan kalau menyebut jalur itu sebagai sungai intermittent atau episodik, tapi yang jelas di puncak musim hujan jalur itu akan kembali menjadi aliran air yang mengalir lumayan deras. Nggak enak banget naik-turun saat mendaki gunung lewat jalur-jalur “sungai” seperti itu. Kamu akan lebih cepat capek dan kakimu juga akan terus-terusan lembab. Kalau kamu naik gunung musim kemarau, kecil kemungkinannya kamu akan rafting di gunung. Rafting di sungai, coy!
4. Kamu bisa menghemat tembakau karena nggak ada pacet
Punya pengalaman buruk dengan pacet waktu mendaki gunung? Mungkin bukan pacetnya yang salah, kamu saja barangkali yang keliru memilih waktu untuk naik gunung. Musim hujan membuat kawasan gunung menjadi lembab sehingga pacet berkembang biak dengan baik. Di musim kemarau yang lebih kering, populasi pacet tidak akan sebanyak di musim hujan.
5. Nggak perlu membawa baju ganti terlalu banyak
Kamu sudah susah payah mengumpulkan duit untuk beli peralatan ultra-light. Tapi di musim hujan, semua gear ultra-light kamu itu seperti tidak ada artinya sebab kamu juga harus membawa baju ganti ekstra—kedinginan di gunung bisa bahaya. Ultra-light bisa berubah jadi ultra-heavy karena kamu harus membawa baju atau jaket atau kaos kaki yang basah terkena air hujan. Sabarlah sedikit. Tunggu sampai musim benar-benar kering sebelum memulai musim pendakian gunungmu tahun ini.
6. Nasib kamera atau ponselmu lebih terjamin
Kalau disurvey, barangkali hampir semua pendaki masa kini membawa gawai saat nanjak, entah kamera atau ponsel. Tapi belum banyak juga yang membawa gawai-gawai anti-air. Naik gunung di musim hujan membuatmu harus ekstra hati-hati saat membawa ponsel atau kameramu. Ponsel mungkin bisa kamu lindungi dengan memasukkannya ke dalam plastik kecil. Kamera lain lagi; perlu perlakuan ekstra. Membawa DSLR berarti membawa kontainter hampa udara yang makan tempat di ransel. Selain itu kamu juga akan ragu mengeluarkannya sewaktu-waktu karena cuaca yang tidak menentu. Repot, ‘kan? Nah, di musim kemarau kamu bisa lebih santai karena cuaca tidak seekstrem musim hujan.
7. Kamu bisa lebih leluasa menikmati pemandangan
Capek-capek ke puncak ketemunya kabut? Mungkin kamu salah musim. Di musim kemarau, kabut yang kamu keluhkan itu akan tersibak, memamerkan lukisan alam yang tiada duanya—padang sabana luas, kawah-kawah belerang yang misterius, awan putih, dan langit biru tanpa batas. Malam hari saat keluar tenda, cahaya jutaan bintang akan menari-nari menghiburmu, saingan dengan kelap-kelip lampu yang dipancarkan oleh peradaban manusia di bawah sana. Bagaimana menurutmu?
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.