Dengan pencahayaan seperti itu, dibingkai oleh cat hijau loket tiket, Mak Kamek seolah-olah menjelma dari lukisan van Gogh. Barangkali dalam hatinya Mak Kamek malam itu bergembira, sebab penonton lumayan ramai. Sampai jam setengah sembilan, lima belas kali sudah ia menyobek tiket.
Joglo sederhana di Cangkringan, Sleman, sekira 20 km sebelah utara Kota Yogyakarta, itu sudah dua tahun menjadi panggung kelompok ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya. (Selama 15 tahun eksis di dunia pertunjukan, grup itu sudah 27 kali pindah markas.)
Bagi mereka, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah panggung istimewa yang mampu memuaskan rasa lapar terhadap proses berkarya. Lagipula, ketoprak bukan sekadar ketoprak buat mereka. Ketoprak harus bisa hidup dan menghidupi, “urip lan nguripi.”
Karena itulah “mengeluh” tidak masuk dalam kamus mereka, juga menangis maupun meratap. Mereka masih bisa melihat terang dalam gelap, masih bisa bersyukur, sebab mereka melanjutkan tradisi itu karena cinta. Bagi mereka, ketoprak tobong adalah rumah, keluarga, serta warisan hidup.
Memoles wajah dengan pupur setiap Jumat
Tujuh tahun yang lalu, kelompok ketoprak tobong ini sempat vakum. Barangkali tak perlu lagi berpanjang-panjang mencari tahu dan menjelaskan alasannya. Namun, mati suri tujuh tahun lalu seperti sudah dilupakan. Sekarang, mereka sudah menanam asa yang baru.
Setiap Jumat, awak Kelana Bhakti Budaya berbondong-bondong ke Cangkringan untuk penampilan mingguan. Pemandangannya, barangkali, selalu sama seperti malam itu.
Sebelum manggung, para penampil sibuk memoles wajahnya dengan pupur. Setiap orang punya lokasi favorit masing-masing untuk mempersiapkan diri. Ada yang memilih sendirian di pojok-pojok joglo, banyak juga yang lebih senang berkumpul bersama di belakang panggung.
Sang sutradara, dengan naskah pertunjukan di tangan, kemudian memanggil mereka untuk berkumpul dan duduk bersila di sekitar panggung. Pengarah itu benar-benar hanya akan mengarahkan cerita. Ia mempercayakan soal dialog pada pengalaman para awak ketoprak tobong itu.
Lakon kisah sisa-sisa kejayaan Majapahit
Alunan gamelan pun mulai mengayun pelan. Jari-jari musisi menari-nari memainkan bonang, gong, siter, dan kenong. Malam itu mereka akan membawakan lakon Prabu Nala yang mengangkat sisa-sisa kejayaan Majapahit.
Layar berwarna merah tersingkap. Seorang wanita keluar menampilkan tarian tunggal. Cerita bergulir. Semakin ke tengah, kisahnya semakin seru. Intrik dan fitnah bermunculan. Suasana makin meriah oleh teriakan, umpatan, pukulan, dan tendangan. Penonton juga dibuat terpingkal-pingkal oleh guyonan-guyonan lakon ketoprak tobong, terlebih ketika mereka lupa dialog.
Diiringi siulan dan teriakan penonton, protagonis menang di akhir cerita. Pertunjukan malam itu selesai. Lelah namun bahagia, satu per satu seniman itu turun panggung. Alih-alih nasi kotak atau meja prasmanan, yang menyambut di belakang panggung adalah teko aluminium tua berisi teh hangat serta beberapa gelas kosong yang disumbangkan warung.
Penghasilan malam itu pun dibagi. Masing-masing pemain dapat bagian rata. Memang tidak banyak, hanya cukup untuk membeli seliter bensin untuk pulang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Ilustrator, desainer grafis, “logo maker”, fotografer makanan dan esai amatir yang berbasis di Yogyakarta.