Kamis, 19 November 2020, aku sedang berbaring sambil memainkan ponsel pintar ketika tiba-tiba saja ada pesan masuk dari kawan-kawan. Semuanya, Aksa, Nisa, dan Amelia, mengirimkan pesan yang sama: “Mau ko pergi camp sama ana-ana?”
Selang beberapa detik setelah aku membaca pesan itu, Aksa menelepon. Kawan-kawan rupanya mau kemping di Bukit Mare-mare yang berada di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep. Lokasi itu sebenarnya tak jauh dari tempat kami sehingga kami tak perlu berlama-lama di jalan. Tapi, karena merasa ajakan itu terlalu tiba-tiba dan minus perencanaan, aku belum yakin untuk ikut. Kepada Aksa kubilang, “Nanti saya lihat kalau ada waktu (saya ikut).”
Setelah ditelepon Aksa, pesan-pesan mulai berdatangan di grup kami yang bernama Kamvretos. Ujung-ujungnya mereka sepakat untuk kemping.
Jam 5.40 sore WITA, hujan turun deras sekali. “Batalkan saja karena hujan,” tulis Amelia di grup. Tapi Aksa membalas itu dengan menulis, “Kalau begitu kita berangkat malam saja.”
Malam pun tiba. Aku masih berbaring di karpet menikmati fitur-fitur ponsel pintar. Hujan deras begini, sudah malam lagi, kemping pasti batal, pikirku. Tapi kemudian Aksa tiba-tiba datang. “Jadikah? Malam mi juga ini,” ujarnya.
Saat aku keluar melihat situasi, Nisa dan Amelia rupanya sudah tiba di kos kawan kami yang bernama Isnawati. Ah, berangkat juga ini sepertinya. Aku dan Aksa pun menghampiri mereka untuk mendiskusikan rencana keberangkatan kami malam itu. Semua setuju untuk berangkat malam itu juga, kecuali Isnawati. Dibujuk seperti apa pun dia tetap tak ingin ikut. Sejuta alasan konyol dan tak masuk akal keluar darinya untuk menangkis bujukan kami.
Akhirnya kami pun berangkat naik motor sekitar pukul 19.30 WITA. Kami berenam, yakni Aksa, Amel, Nisa, Arfina, Lukman, dan aku. Meskipun awalnya enggan, aku bahagia juga dalam perjalanan, apalagi waktu melihat kelap-kelip lampu kota yang bersinar warna-warni dalam latar belakang malam itu.
Di sebuah toko kami berhenti untuk membeli bekal kemping, sekalian menunggu kawan kami lainnya, Ian, yang juga ikut ke Bukit Mare-mare malam itu. Ketika bekal sudah dibeli dan Ian sudah datang, kami bergegas melanjutkan perjalanan.
Semakin jauh dari kota, semakin sering terdengar gonggongan anjing dan suara hewan liar. Sekali waktu gonggongan anjing itu terlalu kencang sampai-sampai aku bisa melihat ekspresi takut di muka beberapa orang kawan. Tapi perjalanan mesti terus dilanjutkan.
Tanpa terasa kami memasuki kawasan pegunungan. Hawa gunung mulai terasa. Angin dingin mulai membelai kulit, membuatku sedikit kedinginan. Kiri-kanan hanya kegelapan. Tak ada cahaya lain di sekitar selain yang berasal dari lampu kendaraan. Tentu itu tak cukup untuk menerangi jalan berliku penuh lubang yang membuat pantat dan tangan terasa pegal itu.
Mendekati ujung, jalan itu makin tak bersahabat. Aspal berlubang sudah lewat dan kini digantikan oleh jalan dengan campuran pasir dan kerikil tajam. Jalan itu makin menanjak, membuat mesin bekerja semakin keras untuk mengantarkan kami ke atas. Lalu hidungku menangkap aroma gosong. Rupanya bau itu berasal dari asap hitam hasil pembakaran tak sempurna yang keluar dari knalpot motor. Lalu motor Ian mengalami kelebihan panas alias overheating. Akhirnya kami memilih istirahat sejenak demi menurunkan panas mesin kendaraan sekaligus melepas penat.
Udara terasa begitu sejuk dan segar karena jauh dari polusi udara perkotaan.
“Sudah tidak jauh mi,” ujar Aksa.
Setelah panas motor sedikit berkurang, kami kembali menelusuri jalanan yang kini sudah berubah jadi tanah merah basah nan licin. Makin sulit rasanya melajukan motor. Supaya lebih cepat sampai, kami turunkan semua barang bawaan lalu kami dorong motor—yang digas tipis-tipis—itu di jalanan terjal dan licin.
Sekitar setengah kilometer dari lokasi kemping, jalanan jadi makin sempit dan diapit jurang di kanan-kiri. Karena rasanya tak mungkin lagi melanjutkan perjalanan dengan si roda dua, akhirnya kami parkir sepeda motor kami di tempat itu. Sisa perjalanan kami lewati dengan berjalan kaki.
Di lokasi kemping, angin sejuk dan lampu kota menari-nari seolah berusaha membantu menghilangkan rasa penat yang kami alami dalam perjalanan tadi.
Aksa dan Lukman mulai memasang tenda, sementara aku dan Ian bergegas mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api unggun. Nisa, Arfina, dan Amelia menata barang-barang dan mulai memanaskan air untuk menyeduh kopi dan mi instan.
Api sebagai sumber kehangatan telah berhasil dinyalakan, tenda untuk istirahat sudah siap untuk digunakan, mi instan dan kopi pun sudah menunggu untuk disantap. Saat kami sudah duduk melingkar di sekitar api unggun, bersiap-siap untuk makan, sebuah pesan dari Asrul masuk ke grup WhatsApp Kamvretos.
“Di man mi semua?” begitu bunyinya.
“Di lokasi kamp mi ini,” balas Amelia.
“Tunggu mi. Saya akan menyusul bersama Isnawati,” balas Asrul lagi.
Mulanya kami tak percaya Asrul dan Isnawati akan benar-benar datang. Sudah pukul 21.30 WITA soalnya. Kami pun lanjut menikmati malam. Lukman memainkan gitar dan kami bernyanyi bersama sambil menikmati lampu kota yang begitu indah. Sedang asyik bernyanyi bersama, tiba-tiba kami melihat cahaya putih dari belakang tenda. Awalnya kami kira itu penduduk Mare-mare, rupanya itu adalah Asrul dan Isnawati.
Senang rasanya mereka berdua bisa ikut kemping bersama kami. Artinya, semua yang ada di grup Kamvretos ada di sekitar api unggun. Kami pun menghabiskan malam yang panjang itu dengan bernyanyi, tertawa, dan bercerita hingga tak terasa waktu Subuh telah tiba.
Rasa kantuk mulai menyerang dan satu per satu dari kami mulai tumbang. Lalu kami semua tidur lelap menyambut mimpi indah.