Perayaan Tahun Baru Imlek pada 22 Januari 2023 lalu merupakan pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Kelenteng Eng An Kiong, Kota Malang. Kelenteng tersebut merupakan bangunan tua yang berdiri sejak 1825 atas inisiasi dari Letnan Kwee Sam Hway. Konon Letnan Kwee Sam Hway merupakan keturunan ketujuh dari seorang jenderal pada masa Dinasti Ming, di Tiongkok. Dan, menjadi tempat beribadah untuk tiga umat beragama atau Tri Dharma, yakni Khonghucu, Tao, dan Buddha.
Saya datang pagi hari, ketika pertunjukkan barongsai sudah meramaikan halaman depan kelenteng. Saat itu banyak warga yang juga berkunjung untuk menyaksikan pertunjukkan tersebut. Pasalnya, pada saat perayaan Imlek, tak hanya umat Tri Dharma saja yang dapat mengunjungi Kelenteng Eng An Kiong, namun juga masyarakat umum.
Saya sempat dibuat penasaran terkait barongsai yang sangat identik dengan perayaan Imlek. Beruntungnya, saya mendapatkan kesempatan untuk bercengkrama dengan Ketua Umum Yayasan Kelenteng Eng An Kiong yakni Pak Rudy Phan. Beliau menjelaskan bahwa barongsai sudah menjadi tradisi yang diwariskan oleh para leluhur. Masyarakat dahulu percaya bahwa barongsai dapat mengusir roh-roh jahat, dan saat ini roh-roh tersebut diibaratkan juga sebagai aura jahat. Maka dari itu barongsai identik dengan perayaan Imlek dan tetap dipertahankan hingga saat ini.
Usai pertunjukan barongsai, perayaan berlanjut dengan pertunjukan liang-liong atau tari naga. Para penari membawa tiang-tiang untuk menyangga badan naga. Mereka dengan terampil dan cekatan membentuk liukan yang sangat indah pada badan naga. Tak heran pertunjukkan tersebut berhasil memukau masyarakat yang berkerumun.
Saat pertunjukkan sudah berakhir, umat Tri Dharma terlihat semakin banyak yang berdatangan. Dengan langkah yang sedikit ragu, saya akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kelenteng. Meskipun dibuka untuk umum, namun saya khawatir keberadaan saya justru akan mengganggu kenyamanan para umat yang beribadah.
Asap dan semerbak bau dupa menyambut kedatangan saya. Dupa tersebut berasal dari umat Tri Dharma yang tengah berkeliling dari satu altar menuju altar lainnya yang menggenggam beberapa dupa di tangannya. Ada banyak sekali patung dewa dan dewi di sini. Ada sekitar 18 altar untuk memuja mereka. Sementara itu, patung dewa-dewi yang ada di sana kurang lebih berjumlah 28, dan satu di antaranya merupakan patung tertua yakni patung Dewa Bumi, Hok Tek Ceng Shin, yang berusia lebih dari 3.000 tahun.
Saat itu saya hanya memperhatikan patung-patung tersebut dari balik pintu masing-masing altar. Saya tidak ingin dengan memasuki altar yang ada, karena tidak mau mengganggu peribadatan umat Tri Dharma di Kelenteng Eng An Kiong.
Kendati tak memasuki altar, namun beragam ornamen yang ada di Kelenteng Eng An Kiong sudah dapat membuat saya takjub. Nuansa budaya Tionghoa sangat kental sekali di Kelenteng yang telah menjadi bangunan cagar budaya di Kota Malang tersebut. Mulai dari warna bangunan, dupa, hingga tempat untuk meletakkan dupa, didominasi dengan warna merah dan kuning keemasan. Bahkan di bagian dalam kelenteng juga terdapat ornamen kolam ikan koi dengan patung biksu yang tengah bermeditasi.
Pak Rudy Phan juga menjelaskan bahwa di Kelenteng Eng An Kiong ini tak hanya sebagai sarana umat untuk beribadah. Mereka juga mengusung misi untuk melestarikan kebudayaan Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya sanggar tari dan karawitan, pertunjukan barongsai yang menerima permintaan untuk tampil di acara besar, hingga olahraga pingpong maupun wushu. Pak Rudy juga menuturkan, di bagian belakang kelenteng juga terdapat Puskesmas kecil yang digunakan untuk melayani masyarakat sekitar.
Berdirinya kelenteng bermula saat kaum Tionghoa yang bermukim di Kota Malang semakin banyak, lebih dari 600 tahun lalu. Mereka memiliki kecenderungan untuk membuat rumah secara terpusat. Hingga akhirnya membangun permukiman yang berada di Jalan R.E. Martadinata nomor 1, Kotalama, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.
“Mereka biasanya kumpul di suatu tempat, makanya di daerah sini dinamakan Pecinan. Orang China di Indonesia sudah ratusan tahun, mereka di sini dagang. Mereka ingin berdoa, sembahyang, ya akhirnya mendirikan kelenteng,” sambung Pak Rudy.
Berkunjung ke Kelenteng Eng An Kiong membuat saya semakin merasa indahnya toleransi umat beragama di Indonesia. Bukan hanya perihal satu bangunan kelenteng yang menampung tiga umat beragama saja. Namun pada saat perayaan Imlek pun masyarakat umum dapat turut serta memeriahkannya, bahkan dipersilakan memasuki bagian dalam kelenteng.
Bentuk kebersamaan lainnya juga ditunjukkan pada rangkaian terakhir perayaan Imlek, yakni saat Cap Go Meh. Ketika perayaan Cap Go Meh, Kelenteng Eng An Kiong menyiapkan ribuan porsi lontong Cap Go Meh yang dihidangkan kepada masyarakat umum.
Rupanya menghabiskan akhir pekan saya untuk menyambangi Kelenteng Eng An Kiong menjadi hal catatan hari yang menyenangkan. Bangunan tersebut bukan hanya menjadi tempat peribadatan umat Tri Dharma, namun juga salah satu bukti sejarah berbaurnya berbagai kebudayaan yang ada di Kota Malang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.