Mungkin perjalanan ini sudah agak usang. Namun, sayang rasanya apabila memori ini tidak saya abadikan.
Yogyakarta, 29 Juni 2019, adalah awal perjalanan saya menuju Pulau Dewata. Mulanya, perjalanan itu saya kira bakal melelahkan, membosankan, dan penuh drama, sampai-sampai saya berharap agar itu cepat berakhir saja. Kenyataannya, saya menikmatinya.
Tapi perjalanan saya ke Bali itu sebenarnya bukan untuk liburan atau hura-hura, meskipun memang tak bisa dipungkiri ada niat terselubung untuk hal itu. Saya ke sana dalam rangka menunaikan salah satu program kuliah autentik dari kampus saya, universitas yang warna jas almamaternya mirip karung goni itu. Jelas saya tidak ke sana sendiri. Ada 29 orang lain—dengan tingkah polah masing-masing—yang menemani saya. Dari sekadar “teman” atau “kenalan,” status mereka berubah jadi “sohib” di mata saya.
Tapi saya menulis ini bukan untuk bercerita tentang mereka. Bukan juga untuk berkisah tentang keindahan Pulau Dewata, sebab pastilah akan klise. Yang hendak saya ceritakan adalah pelajaran soal toleransi beragama yang saya dapat dari warga lokasi KKN saya, saudara-saudara baru saya di Bali.
Kami diterjunkan ke Desa Kedisan dan Desa Buahan. Kalau kamu tahu Danau Batur alias Danau Kintamani, bayangkan tepiannya. Kedua desa itu tepat berada di tepian danau itu. Mudahnya, kalau ada yang bertanya “Kemarin kau KKN di mana?” saya akan bilang: “Di daerah Kintamani.” Nama Kintamani, kecamatan di mana kedua desa lokasi KKN kami berada, memang lebih tenar. Selain kopi, nama Kintamani juga identik dengan salah satu jenis anjing. Pasti kamu pernah dengar lagu “Anjing Kintamani” yang bikin nama Shaggydog tenar ke penjuru Indonesia.
Kami tiba di Kintamani siang hari tanggal 30 Juni 2019. Meskipun masih terang, hawa dingin, karena tempat itu memang berada di pegunungan. Dingin tentunya bisa diobati oleh sesuatu yang hangat. Kehangatan itu saya dapat dari sambutan warga setempat. Tapi, rupanya tak hanya warga setempat yang bersuka cita menyambut kedatangan kami, hewan-hewan peliharaan juga. Baru saja sampai di depan gerbang pondokan, kami sudah disambut gonggongan selamat datang anjing peliharaan Pak Broto. Beliau bersama sang istri, Bu Komang, adalah pemilik rumah yang jadi pondokan kami selama masa KKN.
Setiba di lokasi, kami langsung melebur dengan warga setempat. Karena akan menjadi warga Kedisan dan Buahan selama beberapa waktu, sudah jadi keharusan bagi kami untuk srawung-srawung lucu.
Saya masih ingat sekali, orang pertama yang saya kenal di lokasi KKN adalah seorang pemuda asli Kedisan, namanya Bli Dodi. Dialah yang mengenalkan kami kepada warga Kedisan lainnya, berkat bantuannya mengadakan “perjamuan.” Slogan Bli Dodi: “pesta selalu.”
Selain ikut “perjamuan,” cara kami berkenalan dengan lokasi KKN adalah ikut ke ladang, babat hutan, main futsal di dermaga, dan—ini yang takkan pernah saya lupakan—ikut upacara adat.
Kenyataan bahwa saya tidak berasal dari sana dan tidak memeluk Hindu tidak menjadi masalah bagi warga desa yang melaksanakan upacara adat. Dan bagaimana mereka menyikapi perbedaan itu membuat mata saya terbuka—sekaligus bikin saya terharu.
Upacara adat yang pertama kali saya ikuti adalah purnama kasa di Desa Buahan. Uniknya, waktu saya ikut upacara itu, di desa sebelah, Kedisan, tidak ada upacara serupa. Tentu saya bertanya, kenapa demikian? Ternyata di Kedisan ada bayi kembar yang baru lahir. Selama 40 hari setelah bayi lahir tidak boleh ada upacara adat.
Purnama kasa itu berlangsung beberapa hari. Salah satu kegiatannya ialah berkeliling Pura Ulun Danu Batur, seperti tawaf. Usai upacara, kami diajak makan bersama. Sudah jadi tradisi di sana bahwa setiap kegiatan akan diakhiri dengan makan bersama.
Saya suka makan, apalagi kalau gratis dan enak. Tapi, waktu itu, bukannya senang saya malah takut. Kenapa begitu? Alasannya sederhana, saya tidak bisa makan babi atau olahan yang menurut kepercayaan saya tak boleh dimakan. Mungkin, kalau dipaksakan makan babi, diri saya bisa gemetar hebat dan takut. Entahlah, saya juga bingung, padahal saya juga tak suci-suci amat. Dari sekian larangan yang saya langgar, salah satu yang tak pernah bisa saya lakukan adalah mengonsumsi makanan atau minuman yang dilarang. Mau tidak makan, tentu saya akan merasa tidak enak dengan tuan rumah. Sebaliknya, kalau ikut makan, saya juga khawatir.
Meskipun sudah berpikir keras untuk menghindar, akhirnya saya memutuskan ikut makan. Ketika saya mau mengambil makanan dengan perasaan yang campur aduk, tiba-tiba salah seorang tokoh adat menunjuk ke arah beberapa lauk sambil berkata dengan logat khas Bali, “Ini jangan dimakan, ya. Ini olahan babi—tapi kalau mau makan juga tidak apa. Ini ada lauk yang barusan dimasak buat yang tidak bisa makan babi.”
Saya lega.
Setelah saya telusuri, rupanya semula juru masak tidak tahu ada rombongan dari luar desa yang ikut upacara adat, rombongan yang kebanyakan tidak beragama Hindu dan tidak bisa makan olahan tertentu. Tahu bahwa mereka kedatangan tamu, dengan sigap juru masak dibantu tokoh adat setempat mempersiapkan lauk agar kami tetap bisa mengikuti makan-makan usai upacara adat kala itu. Hari itu tampaknya saya tak cuma ditakdirkan untuk menikmati makanan melainkan juga menikmati toleransi beragama.
Di beberapa kesempatan makan bersama atau “perjamuan” pun kami sering diingatkan, “Kalau nggak bisa makan dan minum jangan dipaksa, ya. (Yang) penting kita ngobrol-ngobrol bareng aja. Tapi kalau mau, ya, ini coba aja.”
Namanya juga anak muda, apalagi kami sedang jadi warga lokal alias akamsi, banyak dari sohib saya yang minum arak dan makan babi. Kata mereka, sih, enak sekali. Bahkan lebih enak daripada olahan di kota atau restoran mahal. Saking takjubnya dengan mahakarya masakan babi, sohib-sohib bahkan sampai bikin kolase foto yang diberi judul: “Babi Adalah Sumber Kehidupan.”
Cerita ini mungkin sederhana sekali, tapi sangat bermakna bagi saya. Saya yang terbiasa menjadi mayoritas seperti ditampar rasanya. Saya jadi membayangkan bagaimana rasanya teman-teman minoritas yang terkadang sampai mesti mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan [di tengah-tengah mayoritas].
Seharusnya perbedaan apa pun tak dijadikan permasalahan, terlebih masalah agama. Jika ada gesekan, semua bisa diselesaikan dengan cara yang indah tanpa harus mengakibatkan timbulnya perpecahan. Terpenting dari itu, semua terletak bukan pada keberbedaannya tapi kebersamaannya.
Seorang pelamun dan penagih utang bank berdomisili di Jakarta, suka bercerita pengalaman manis bersama yang termanis