Sejarah bukan mata pelajaran favorit sewaktu aku sekolah dulu. Apa itu candi? Buat apa mempelajari perang? Tidak ada gunanya menghafal nama-nama yang susah dilafalkan ataupun angka-angka yang merujuk pada tahun yang bahkan kakekku pun belum dilahirkan.
Ketika sekolah mengadakan karya wisata ke tempat-tempat seperti: museum, candi atau situs bersejarah lainnya, aku hanya menganggap itu tamasya–jalan-jalan sambil bersenang-senang bersama teman-teman. Tidak satupun materi sejarah dari perjalanan karya wisata tersebut yang masuk ke kepalaku.
Kesenangan jalan-jalan berlanjut ketika aku beranjak dewasa. Pantai, gunung dan tempat tempat yang menawarkan keindahan untuk dilihat dan difoto menjadi tujuan utama pada saat itu, termasuk museum, candi dan bangunan bangunan bernilai estetik. Tetapi nilai sejarah atau cerita dibalik tempat-tempat yang dikunjungi belum menjadi perhatianku pada saat itu.
Seiring waktu, pemaknaanku akan perjalanan mulai berubah. Akhirnya, aku mulai menyukai berjalan-jalan di ruang dalam kota dengan segala produk budayanya: arsitektur, sosial, kuliner, bahkan nilai sejarah dan mulai berpaling dari keindahan pasir putih pantai dan dinginnya pegunungan nun hijau.
Aku jadi banyak membaca, mencari informasi tentang tempat atau bangunan yang ku kunjungi. Kebanyakan bahan bacaan yang kudapat dan kubaca adalah tentang sejarah, sesuatu yang tidak kusuka pada waktu dulu.
Angka di jam tangan menunjukkan 11.56 ketika aku turun dari KA. Kahuripan. Setelah salat Zuhur, aku bergegas keluar dari stasiun menuju ke sebuah warung yang menjual pecel tumpang, menurut aplikasi Google Maps, jaraknya hanya 450 meter dan waktu tempuh sekitar 5 menit berjalan kaki dari Stasiun Kediri.
Di awal minggu bulan terakhir di tahun 2022 kemarin, aku melakukan perjalanan ke Kediri. Setelah melakukan sedikit riset, daerah sekitaran alun-alun, wilayah Pecinan di Pakelan dan wilayah sekitaran Jembatan Lama dulu merupakan wilayah orang Eropa tinggal di masa kolonial Belanda, dan daerah tersebut masuk ke daftar tempat-tempat yang akan ku jelajahi di Kediri.
Aku menemukan fakta lain tentang Kediri. Di buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1762 – 1962 yang ditulis TH. Stevens menyebutkan Kediri adalah salah satu wilayah dimana gerakan Mason Bebas (Freemason) berkegiatan dan ternyata gedung atau loji tempat berkumpulnya anggota Freemason di Karesidenan Kediri dan sekitarnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda masih ada sampai sekarang.
Kemudian di Kediri juga ada juga makam Tan Malaka. Beliau adalah seorang pejuang yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 53 tahun 1963.
Kehidupannya dan perjuangan Tan Malaka sangat misterius. Bahkan di buku sejarah SD sampai SMA pun tidak tertulis sejarah tentang beliau, padahal di namanya tersemat gelar Pahlawan Nasional. Beliau juga yang mengonsepkan negara Republik Indonesia melalui tulisannya di buku Naar de Republiek Indonesia yang ditulis tahun 1925. Tulisan beliau ini mengilhami tulisan lainnya dari Moh. Hatta, Indonesia Vrije tahun 1928 dan Soekarno ketika menulis Mencapai Indonesia Merdeka di tahun 1933.
Sangat sedikit buku dan tulisan berbahasa Indonesia yang membahas tentang Tan Malaka. Salah satunya adalah Harry A. Poeze, seorang sejarawan, penulis dan peneliti berkebangsaan Belanda yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti secara mendalam tentang Tan Malaka.
Di buku beliau inilah, aku akhirnya mengetahui Tan Malaka bernama asli Sutan Ibrahim. Lahir di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada tahun 1894. Dalam tubuhnya mengalir darah kebangsawanan dari pihak ibunya, sehingga ia mendapatkan gelar Datuk Sutan Malaka. Kehidupan politiknya berkembang semenjak beliau melanjutkan pendidikan di Belanda. Kepedulian akan sesama beliau peroleh ketika kembali ke Hindia Belanda dan melihat kenyataan yang tidak menyenangkan terjadi akibat dari penjajahan kolonial Belanda.
Kemudian ia bergabung dengan Sarekat Islam pimpinan H.O.S. Cokroaminoto, juga kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia bersama Muso, Alimin, Darsono dan Semaun, bahkan di kemudian hari beliau menjadi agen Komintern (Komunis Internasional yang berpusat di Moskow) untuk Asia Tenggara.
Pandangan radikal Tan Malaka terhadap penjajahan membuat beliau menjadi buronan politik. Nama samaran pun sering digunakan ketika beliau bersembunyi atau bergerak untuk mengelabui intel pemerintahan kolonial Belanda dan antek anteknya. Elias Fuentes, Ong Soong Lee, Ramli Husein, Ilyas Husein, Cheng Kun, Tat, Eliseo Rivera dan Howard Law alias alias yang sering digunakan ia ketika berada di Filipina, Hongkong, Canton, Shanghai, Singapura dan Indonesia.
Tan Malaka juga menulis tentang hidupnya, Dari Penjara ke Penjara, ditulis ketika dia ketika berada di dalam penjara di Magelang dan Ponorogo. Terdiri dari 2 jilid, jilid pertama bukunya menuturkan tentang pergulatannya di penjara Hindia-Belanda dan Filipina. Sedangkan jilid kedua menceritakan tentang “perjalanannya” dari Shanghai, Hong Kong, hingga kembali ke tanah air.
Ada juga novel yang bercerita tentang Tan Malaka, berjudul Pacar Merah Indonesia. Di novel berlatar roman sejarah ini Motu Mona sang pengarang, mencampuradukkan fakta dan fiksi tentang gerakan komunis dan gerakan kiri radikal. Tokoh utamanya adalah Tan Malaka yang di novel ini disebut Pacar Merah, Muso sebagai Paul Musotte, Alimin sebagai Ivan Alminsky, Darsono sebagai Darsonof dan Semaun sebagai Semaunoff. Dan yang menarik, novel ini terbit di tahun 1938, dimana ketika Tan Malaka masih hidup. Sekarang, Pacar (Patjar, dengan ejaan lama) Merah dijadikan nama oleh komunitas gerakan literasi yang sering mengadakan festival kecil literasi dan pasar buku keliling.
Ojek daring yang kupesan pun datang. Aku bertanya seberapa jauh perjalanan kali ini. Si bapak menjawab, “Lumayan jauh mas, soalnya makamnya ada di atas gunung.”
Aku beruntung mendapatkan pengendara ojek daring yang akhirnya ku tahu ia bernama Pak Agus. Rumah beliau ada di bawah Desa Selopanggung. Walaupun dia belum pernah ke makam Tan Malaka tetapi dia tahu persis lokasinya.
Makam Tan Malaka terletak di lereng Gunung Wilis, Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Sepanjang perjalanan yang menanjak, aku disuguhi oleh pemandangan yang indah: jalan berkelok di bukit bukit yang hijau, sungai yang bergemericik, dan hamparan sawah berbentuk terasering.
Setelah 30 menit lebih, kami melihat penanda dari kayu di pinggir jalan bertuliskan “Bapak Republik Indonesia, Ibrahim Datuk Tan Malaka, Tidak Pernah Mati’, rupanya kami telah sampai di lokasi makam.
Aku mengajak Pak Agus untuk turun ke bawah, menuruni anak tangga yang bersudut 45 derajat di lereng bukit. Letak makam ada di tengah area persawahan, kurang lebih 30 meter dari pinggir jalan.
Suasana sejuk pegunungan menyambut di area pemakaman yang tidak terlalu luas. Hanya ada beberapa makam yang kulihat disini–kebanyakan makam tua—termasuk makam Mbah Selopanggung, tokoh yang pertama tinggal di Desa Selopanggung.
Jirat berbentuk persegi panjang di tanah yang terbuat batu bata, dilapisi semen dan nisan yang bertuliskan nama Tan Malaka serta keppres pengangkatan beliau sebagai Pahlawan Nasional, makam yang sangat sederhana berbanding terbalik dengan kebesaran nama beliau di gerakan revolusi Indonesia.
Di buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia – Jilid 4: September 1948 – Desember 1949, Harry A. Poeze menuliskan kisah tewasnya Tan Malaka sampai proses penemuan makam Tan Malaka.
Keadaan politik pada saat itu menyebabkan Tan Malaka berseberangan sikap dengan pemerintahan Republik Indonesia yang masih seumur jagung. Kepemimpinan Soekarno-Hatta yang lebih memilih cara diplomasi terhadap Belanda yang masih ingin berkuasa di Indonesia ditentang habis oleh Tan Malaka, karena itu dia dianggap berbahaya bagi keutuhan negara dan harus segera ditangkap.
Dalam pelariannya di Jawa Timur, beliau ditangkap di Desa Selopanggung oleh pasukan dari Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek atas perintah Letda Soekotjo yang kemudian hari menjadi Walikota Surabaya tahun 1972-1974. Ketika makamnya dibongkar untuk kepentingan forensik, kerangka yang ditemukan dalam keadaan tangan terikat ke belakang.
Setelah berdoa dan membersihkan makam dari sampah daun dan tanaman, aku kembali ke tengah Kota Kediri.
Di perjalanan pulang, Pak Agus mengajak ke Gereja Puhsarang yang masih berada di lereng Gunung Wilis. Di tengah kesyahduan menikmati bangunan gereja indah yang dibangun tahun 1936 ini, aku membuka galeri foto di telepon genggam, melihat kembali foto makam Tan Malaka yang ku foto dari kejauhan. Kisah hidupnya memang penuh gejolak dan misteri, namun di peristirahatan terakhirnya, ia berbaring dengan tenang; ditemani gemericik air Sungai Brantas dan semilir angin sejuk di sepi lereng Gunung Wilis.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Lahir bulan September di Jakarta dan suka baca.