Satu minggu sebelum Hari Orang Utan Sedunia, saya dan sahabat saya mengikuti walking tour di area Kayutangan Malang. Sejak saat itu saya tidak bisa melupakan nyala orkes dari pelantang tua yang digendong pengemis jalanan. Regu musisi entah apa dan siapa mendendangkan rentetan simfoni yang asing di telinga, berpadu dengan gebuk penjual nasi goreng dan tabuhan penjual jasuke—kudapan jagung susu keju. Kesan Kayutangan begitu kuat sehingga tidak mungkin tempat ini jadi endapan dalam ingatan jangka pendek.
Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Kayutangan bermodal nekat, tetapi tidak sendirian. Tentu saja, seperti Roronoa Zoro saya buta arah juga linglung tak tertolong menghadapi rute. Jadi, Nami atau Robin harus ada bersama saya. Sayang, saya hanya punya satu sahabat, Rifana, bukan Robin atau Nami. Dia berwatak Sanji. Alhasil, kami tersesat di enam titik berbeda dan bertengkar hebat bak Subali dan Sugriwa. Setelah berhasil melintasi lorong sungai yang tak asing, kami akhirnya tiba di Kedai Sebastien.
Sebelumnya kami mengunjungi Kedai Sebastien melalui arahan dan rute walking tour Pak Akbar dari Malang Walk Heritage. Kami datang lagi kemudian karena Minse (Admin media sosial Kedai Sebastien) menjanjikan saya kidung rahasia di balik pembangunan Kedai Sebastien—ini termasuk kisah babad Rumah Jengki. Ditambah akan ada dua awicarita yang bakal hadir menemani kami, yaitu Pak Sebastien (pemilik kedai) dan Pak Dhidiek (sahabat Pak Sebastien).
Pembahasan kami dimulai dengan mukadimah yang tidak sedap sama sekali. Awalnya Pak Sebastien menceritakan ulang secara kronologis kapan tempat itu dibeli kakeknya pada 1960. Itu adalah penjelasan yang sama sebagaimana Pak Akbar sampaikan. Saya juga sempat bertanya apakah beliau adalah tukang tafsir mimpi nyambi tukang cukur, mengingat di lantai satu digelar sobekan kitab tafsir mimpi dan di lantai dua ada tempat potong rambut. Beliau menjawab dengan gelak tawa, keduanya adalah barang-barang koleksi yang dipajang.
Namun, saya tak menyangka bahwa pembahasan ini mengalir lalu terempas di tengah samudra badai. Ocean Vuong memang legit betul saat menjelaskan sebuah kenangan―pernah kau mengatakan padaku bahwa kenangan adalah sebuah pilihan, tapi kalau kau adalah Tuhan, kau tahu bahwa kenangan adalah sebuah banjir bandang.
Kasih Sayang untuk Si Sulung
Pak Sebastien adalah cucu kesayangan dari kakek yang membeli Rumah Jengki yang kini menjadi kedai. Semesta kita dibangun untuk melimpahkan kasih sayang pada anak-anak bungsu—ini sudah jadi legitimasi—dimeriahkan dalam beribu legenda. Setiap pangeran menghendaki si bungsu yang jelita, setiap guru menggelontorkan aji-aji dan pusaka pada si bungsu, dan si bungsu Klenting Kuning (Dewi Candrakirana) berhasil menyatukan Jenggala dan Kediri. Kakek dan nenek yang lebih mencintai cucu bungsu adalah kelumrahan. Di sinilah dekonstruksi terjadi, kakek Pak Sebastien lebih menyayanginya karena ia putra sulung.
Sebagai anak sulung, kewajiban atas seluruh silsilah dan kelayakan hidup saudara-saudara yang lebih muda otomatis menjadi tanggung jawab dan buah pikirnya. Menjadi anak sulung berarti menjadi lubang penampungan keluh kesah kedua orang tua, keluh kesah yang tidak diceritakan pada anak yang lebih muda.
Maka tidak heran bila Pak Sebastien tidak bisa melepaskan kalimat yang dahulu kerap diucapkan kakeknya saat panen avokad, “Buah-buah ini untuk Sebastien.” Sebagai seorang petani, kakek Pak Sebastien selalu menyisakan hasil panen terbanyak khusus untuk Pak Sebastien. Saya yakin untuk hal lainnya selain panen avokad, Pak Sebastien menjadi prioritas utama dari atensi kakeknya.
Tahun 1960, yang saat itu kakek Pak Sebastien adalah petani miskin, berhasil mendapatkan rumah impiannya. Namun, kakeknya harus pindah dan rumah itu diserahkan pada mama Pak Sebastien. Kisah-kisah masa kecil melatari perjumpaan saya dengan Pak Sebastien kemudian. Misalnya, betapa dahulu arang begitu berharga, terasi adalah lauk utama, hingga permen jahe dan telur ayam. Utang kerap menunggak pada penjual sayur dan arang karena papa Pak Sebastien adalah sopir luar kota yang jarang pulang.
Indonesia yang saat itu masih muda dan ekonomi yang jauh dari kata pulih berimbas pada siapa saja. Saya cukup terkesan dengan kisah seekor ayam yang diceritakan Pak Sebastien. Pada suatu hari, mama Pak Sebastien membeli seekor ayam betina demi menghemat agar tidak beli telur. Namun, sebelum ayam tersebut bertelur, teman-teman sekolah Pak Sebastien berkunjung ke rumah. Mau tak mau ayam itu disembelih untuk makan bersama mengingat tidak ada yang tersisa di dapur untuk disuguhkan. Pak Sebastien berkata, “Mama saya itu, justru dalam keadaan tidak punya, ia selalu mengusahakan untuk berbagi atau memberi.”
Pak Sebastien tertawa saat menceritakan satu-satunya ayam betina yang pernah ia miliki. Akan tetapi, beberapa detik kemudian ingatannya merambak pada sebuah kursi panjang lawas berwarna merah kecokelatan seperti darah kerbau, yang sekarang terletak di tempat kami berbincang. Dahulu kursi ini berada di ruang tamu.
Kursi ini memang betul hanya kursi biasa. Kayu biasa, sandaran, dan busanya biasa saja, tetapi bagi Pak Sebastien kursi itu benda pusaka. Semasa Pak Sebastien berjuang mencari nafkah, mama Pak Sebastien tak pernah alpa untuk menunggunya di ruang tamu. Ia duduk di atas kursi itu sambil menanti kepulangan Pak Sebastien.
Tanpa disadari Pak Sebastien menitikkan air mata. Tidak ada lagi yang menunggunya kini. Mama Pak Sebastien meninggal tahun 2016 lalu karena kanker. Air mata makin tumpah tak terkendali saat Pak Sebastien mengatakan kalimat terakhir yang diucapkan padanya, “Bas, kalau Mama meninggal, adik-adikmu bagaimana?”
Persembahan untuk Mama
Saya banyak membaca kisah orang-orang yang akan menghadapi kematian, misalnya seorang pendeta yang dipenjara di Château d’If semasa Napoleon dibuang ke Elba. Pendeta tersebut malah memikirkan sahabatnya, Joseph Conrad. Sebelum meninggal, seluruh pikirannya terpusat pada putranya yang menderita post-traumatic stress disorder (PTSD) atau trauma pascaperang. Akhir-akhir ini Afrizal Malna juga membuat puisi perihal kematian, yang menurut saya tidak terfokus pada dirinya melainkan kehancuran jagat raya. Intinya, saya kira mereka yang akan meninggal akan sibuk memikirkan donat macam apa yang belum dicoba atau tempat seperti apa yang ingin dikunjungi. Kebanyakan dari mereka yang akan meninggal, justru tidak sedang memikirkan kepentingan dan kebahagiaan sendiri.
Jadi, apa yang mendasari Rumah Jengki ini jadi kedai kopi, Kedai Sebastien? Kebanyakan pemilik dalam wawancara di media menggunakan template yang sama: ini passion saya atau dari dulu suka kopi. Namun, jawaban Pak Sebastien berbeda, “Kedai Sebastien ini ada untuk mengenang mama. Mama bahagia bila ada orang berkunjung ke rumah. Saya kira semua ini tentang mama. Meski tidak punya banyak makanan untuk dibagi, wajah mama bersinar bila banyak orang berkunjung ke rumahnya.”
Apabila Rumah Jengki ini dijual, tentu semuanya akan lebih mudah. Tegelnya saja jenis yang tidak biasa dan ada beberapa orang yang mendekati Pak Sebastien untuk membeli tempat itu dengan harga berapa pun. Tak peduli semahal apa.
Akan tetapi, Pak Sebastien menolak. Ia ingin merawat kenangannya. Ia tak mau kenangannya berpindah tangan apalagi bisa dibeli orang. Saat kedai buka dan banyak orang berkunjung, wajah mama Pak Sebastien kian segar di ingatan. “Kira-kira, bagaimana senyum mama saat ini bila melihat rumahnya ramai begini?” ungkapnya.
Pertama kali saya mengunjungi Kedai Sebastien, saya menyematkan satu kata yang saya kira bisa mewakili identitas tempat ini: “Rumah Jengki, sebuah resistensi”. Setelah perjumpaan saya dengan Pak Sebastien, kata-kata baru muncul di kepala saya. Kebebasan, karena Pak Sebastien memiliki kendali sepenuhnya atas kenangan yang ia miliki. Satu-satunya yang paling berharga baginya dan ini tidak jatuh di tangan orang asing. Kehidupan, karena meskipun mama Pak Sebastien telah tiada, jiwanya terus hidup bersama dengan benderangnya Kedai Sebastien.
Dalam perjalanan pulang, saya menyadari satu hal penting lainnya. Tentang gemerlap Kayutangan yang saya pandang sebelah mata, komersialisasi sejarah dan peninggalan. Memandang Kayutangan dengan lebih dalam bisa membuat saya berpikir jernih. Mengunjungi Kayutangan berbeda dengan mengunjungi museum. Di museum kita ditunjukkan rentetan peninggalan dalam berbagai rupa dan bentuk. Di sana ada angka tahun dan secarik penjelasan singkat. Saya selalu merasa, dengan penjelasan sesingkat itu benda-benda sejarah justru terlihat mati dan tidak pernah hidup sama sekali. Mereka seperti remahan barang masa lalu yang tidak punya kisah. Saya selalu kesulitan menjiwai benda-benda kolektif di museum.
Namun, di Kayutangan, di Kedai Sebastien, benda-benda di sana memiliki kisah, dirawat dengan baik oleh pemiliknya, lalu diceritakan kembali pada para pengunjung. Saya berkhayal, andai museum di Indonesia memiliki konsep seperti Kayutangan, betapa banyak kisah menarik yang bisa dipelajari. Betapa kita semua kemudian bisa bersambung dengan para pendahulu melalui cerita generasi setelahnya. Ini mengingatkan saya pada serial Anne with an E, yang kalau tidak salah seperti ini alih bahasanya: “Kurasa setiap barang usang adalah kesenian yang tengah merana, ia melalui banyak hal dalam kehidupan: duka, lara, dan bahagia, kurasa ia lebih berharga dibandingkan dengan barang-barang baru yang hanya dipajang belum melewati satu kehidupan sama sekali.”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Putriyana Asmarani adalah penulis konten kreatif di salah satu perusahaan pemasaran digital di Malang. Salah satu risetnya Identitas Politik Raja-raja Melayu mendapatkan beasiswa riset di National University of Singapore. Cerpen dan resensi bukunya pernah terbit di The Jakarta Post, Indian Periodical, Djavatimes, SuaraNet.id dan lain-lain.